Kamis, 26 Maret 2020

e-Antologi Puisi Sebuku Bersama Sapardi Djoko Damono

Journal Apero Fublic.- e-Antologi puisi sebuku adalah kumpulan puisi-puisi dari penyair terpilih pada buku antologi puisi Menenun Rinai Hujan. Terdapat sepuluh puisi yang terdiri dari berbagai tema. Berikut ini kumpulan puisi elektronik sebuku.

(1)
Daur

Kulit ialah jaring laba-laba
memeluk janji yang kau lupa sebab dewasa
atua juga, tembok-tembok besar dermaga
menahan ombak sebelum menjilat tambak
ialah rumah yang terasa asing
sebab tiap inci jiwa terpasung

II
Dan mata hanyalah jendela
Menatap luar namun tak mampu menyentuhnya
Dunia terlihat semu dan apa-apa menjadi kelabu
Kecuali jika kau memilih pulang
Dan mengubur inkarnasi dalam-dalam
Kepada rumah sendiri kau mengetuk pintu
Menjadi debu

III
Masih hening saat kau datang
Juga ketika melepas pakaian dan debu dari jalanan
Duduk di ruang tamu dan menatap keluar
Sebab rumah adalah apa-apa yang kau bawa
Saat tak ada yang benar-benar tersisa
“Aku pulang”
Kau akan selalu mampu mengatakannya

IV
Tadi pagi hujan namun kau telah dirumah
Seperti gelombang yang kembali ke peraduan
Tiap kehidupan adalah daur lingkaran
Mandala dari jiwa-jiwa yang turun dari kereta
Terjaga di balik kulit dan matamu
Kau telah pulang
Dan kupikir kau telah menghilang.

Oleh. Nur Annisa Kusumawardani


(2) 
Kepada Puisi Dan Segala Yang Dirahasiakannya

1
Mencintaimu
Pohon-pohon tumabang dari dadaku
Daun-daun rontok menyalakan api
Pagi-pagi sekali. Orang-orang kehilangan diri.
Perlahan, waktu memahat ingatanku
Menandai hari dengan kepulan asap
Dengan gerakan-gerakannya yang teramat liat.

Di wajahmu kelaparan dan kelahiran tumpah
Membasahi ranjang bumi dengan darah
Lalu kau menggeliat dan melingkarkan sepi
Pada doa malam dan tidur bayi

Kini ku melihat ke dalam pagi yang pucat
Malaikat sibuk berulang-ulang
Memenuhi jalan raya
Menuruni jembatan-jembatan layang
Tempat kematian menghentikan laju kendaraan

2
Kekasih
Menandai jejakmu digurun yang tuli
Telah meghilangkan bola mataku sendiri
Hanya udara yang panas mengepungku
Membangun peradaban dengan sejarah yang patah-patah

Hari demi hari
Kusaksikan tulang belulang
Bangkit dan berjalan
Menuju pusar keramaian
Di mana kelaparan dan peperangan
Mengabadikan diri di potret-potret iklan
Tapi mereka tidak sadarkan diri
Sukma dari jiwanya
Tergantung disudut kamar

Kekasih
Diam-diam cahaya matahari memisahkan kita,
Aku terjebak pada kecemasan sendiri
Sedang kau tetap berada di udara
Dan menyaksikan semua

3
Kepada puisi
Bawalah aku bersama kata-katamu
Mengendarai huruf-hurufmu
Memasuki lorong-lorong waktu
Dan menyelami segala yang rahasia

Oleh. Huda Agsefpawan

(3)
Mata Hutan Hujan

Gelayut langit menyandera mendung kehitaman
Embus laut mendarat di bibir pantai

Matanya menatap pohon-pohon tumbang
Kerontang dahan tanggal
Daun-daun terpingkal


Matanya memejam pada lubang-lubang
Gersang tanah-tanah dikebumikan
Asap-asap berkeliaran

Retina menyerupa gerimis kebasahan, kemarau membayangi musim-musim.
Kornea membias rintik temaram, muram dan karam.
Bulu mata sayu menopang ragu, manusia-manusia membisu.
Sesekali berkedip menerka pertanda, menunggu reda.

Matanya memerah
Dilampiaskannya masygul embunan awan pada angin
Angin pada rintik, rintik pada rinai
rinai khatulistiwa.

Akar-akar kehilangan tambat, ranting tanggal dahan patah
Terapung batu-batu hutan
Saling hantam menikam keruh air kecoklatan
Hanyut tanpa dermaga mengasing jauh
Jauh benar-benar jauh.

Melaut sauh dikedalam
Kedalaman air mata
Air mata hujan

Oleh. Aan Setiawan.
Banjarbaru, 20 Maret 2019.

(4)
Goa Api

Ada rasa yang telah mati
Tanggal 20 Juli 2016
Dunia seketika sunyi
Tubuh itu terbaring sepi
Badan membeku merobek halusinasi

Tangisan, amarah, dan kutukan
Mair yang terasah
Memburu setiap yang fana
Tek menyapa
Hanya menyiksa raga

Rindu itu racun
Lara menanarkanku
Kala menghancurkanku
Pusaramu membisukanku
Tak ada sepatah kata pun
Ingatan tentang dirimu
Hangatnya pelukmu
Restu dan petuah sucimu
Pangkuanmu adalah pengobat pilu
Ragamu memang pergi, tetapi hatimu masih bernadi

Oleh. Achmad Khoiruddin

(5)
Sunyi

Di tengah hujan
Tanganku gemetar
Dingin mencekam
Aku terbungkam

Dibawah langit malam
Aku sendiri
Menahan perih hati
Menangis tanpa henti

Aku adalah sunyi
Berkawan pada sepi

Oleh. Adam Duta Dwiguna

(6)
Lonceng Tua

Aku ingin desau sajak-sajakku kau dengar tanpa perlu kuteriakkan
Tak perlu riuh bergemuruh
Biar sesamar denting lonceng tua dirayu angin sore yang tak mengenal gaduh
Biar selirih pamitnya dedaunan musim gugur yang memilih ruluh
Untuk menyambut sang salju bergantian mendekap ranting-ranting tak utuh

Ketahuilah, tuan
Yang tak lantang bukan berarti tak sangguh
Dan dalam diam, aku mencoba untuk teguh

Oleh. Adista Putri

(7)
Sederhanaya Cinta

Takdir mempertemukan kita bersama menjalani hari
Perkenalan singkat membuatku jatuh hati
Cinta bukan butuh janji, tetapi bukti

Hari ini wajah cantikmu terbayang-bayang
Tersenyum manis menatap engakau yang tersayang
Hatiku tak pernah bimbang
Pilihanku Cuma engkau seorang

Dulu engkau sangatlah ceria
Kumenangis mengingatnya, seakan-akan bernostalgia
Kau yang seindah bunga dahlia
Tuhanku terima kasih mempertemukan aku dan dia.

Oleh. Aditya Zadira

(8)
Sebening Mata Yang Kutatap

Ini malam
Di terpal biru trotoar kota
Kita berdua saja
Memesan sepiring penuh asa dan luka

Tiap menyendok asa, katamu,
“Jangan lupa kau tambahkan acara itu. Esok lusa, kau lihat mereka berpendar serupa kuning kunang-kunang yang kini mengangkasa”
“Tapi aku ingin menyendok luka!”
“Tapi tetap, kau harus bubuhkan acar!”
“Agar sekuning pendar kunang-kunang yang kini mengangkasa?”
“Bukan, agar hatimu tetap sebening mata yang kutatap sekarang.”

Oleh. Adristi Shafa Widyasari
Pada 9 Maret 2019.

(9)
Sepi Kala

Lentik titik hujan memantik
Bibir kelu yang layu
Dalam lamunan berayun
Bercanda dengan waktu

Majnun membisu diam tanpa bahasa
Lari menjauh tak ingin patuh
Pada mata yang berpeluh
Laila menangis dalam tanda tanya
Yakin kepada keyakinan cinta
Tulus tanpa bersapa
Hingga...
Batu nisan terukir nama “Laila”

Air mengalir di balik semilir
Menerpa muka menerka
Pilu pula pipi pecinta
Pasrah bersimbah pada tanah
Di atas pusaran pembatas perasaan

Dalam diam ini banyak bercerita
Sendiri sepi kala semua berbicara

Oleh. Agus Fikri N.A.

 (10)
Kemerdekaan Cinta

Sebuah retorika:
Tergambar sebuah jagat raya
Di dalam sebuah negeri berkuasa
Segalanya mereka punya,
Mereka punya segala yang belum ada
Hingga mengada-ada yang tak pernah ada

Semuanya ada terkecuali cinta
Kemerdekaan cinta miliki setiap jiwa, tepatnya.
Apa gunanya berkuasa?
Jika membiarkan yang lain mencinta saja, kita tidak bisa.
Dan mengapa cinta harus ada?
Inikah retorika cinta?
Atau inikah kemerdekaan rasa?

Retorika dihasilkan oleh cinta
Yang tak ingin, yang dicinta gunda gulana
Sebab keniscayaan cinta yang entah seperti apa

Inilah retorika...
Selamat bersua,
Semoga tetap dalam irama bahagia

Oleh. @Afdhlq


Rewrite: Apero Fublic
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 27 Maret 2020.
Sumber:
Sebuku Sapardi Djoko Damono dan Para Penulis Terpilih Indonesia. Menenun Rinai Hujan Jilid 8. Surakarta: Oase Group, 2019.

Sy. Apero Fublic

0 comments:

Posting Komentar