WIJI: Yang Lantang dan Yang Hilang
I
Di sela-sela
gang gelita
dan diinding
beku kota Sola
Saya bertemu
Wiji saat ia
nyerumput kopi
sambil ngobarkan rokok
Isapannya
dalam, nir-resah.
Mumpung tidak
ada tentara ngejar
atau aparat
yang marah-marah.
II
Wiji memetik
kata-kata
lalu membarakan
dengan puntung rokoknya.
Kata menjelma
arang sekam;
Ditabur di
bunga-bunga yang ia tebar
di sekeliling
tembok, tahun-tahun silam
III
Wiji tidak
lari.
Ia berkelana.
Ia
menyelamatkan bait-bait puisi
dari sepatu
baja dan popor senjata
Sebab Wiji
tahu
negeri ini
berani memproduksi
pentung,
porgol
peluru
dan begil.
Tapi ciut-takut
pada kata-kata
Yang mengagungkan,
“adil!”
Sebab Wiji
mengerti,
martabat penguasa
dan para abdinya
musti dijunjung
tinggi-tinggi.
Disembah-hormati
meski tangannya
berlumuran darah
dan hati
terlanjur mati.
IV
Wiji murung
termenung,
lulu merabai
tubuhnya sendiri yang terbuat dari
tinta dan
ruang:
Badan yang
lapuk karena gebuk,
mata yang
remuk karena aparat ngamuk.
Ia tercenung.
Namun Wiji
mengutip Pram,
“Menulis
adalah sebuah keberanian,”
lalu ditambahkan,
“Dan melawan
adalah kehormatan”
V
Ketika lampu
mencuri bintang
buat menerangi
kampung dan jalan raya,
Wiji
menyambangi sudut-sudut kota:
Rumah-rumah
buru dan tukang becak,
bengkel karatan
dan jalan setapak.
Juga rumahnya.
Ia coba kenang
kembali
Anak-anaknya
yang berbakti,
Yang menggemakan
suaranya
Di sekujur
tubuh alam raya.
Seperti
harapannya pada satu puisi
VI
Wiji menanti 5
menit
Supaya malam
benar paripurna.
Dilihatnya
arloji:
menunggu dentangan
tiga.
Riuh-redah
kendaraan berbaur
dengkur negeri
yang tidur penuh syukur,
semua naik ke
angkasa;
didengarkannya
sebagai orkesta.
Ia meratapi
Ia berdoa
Ia meresapi
Ia berdoa
Ia berdoa
lewat ramai dan sepi, malam dan pagi, pidato dan puisi, agar sudah cukup yang
lantang dan yang hilang, dan tidak lagi
VII
Wiji pulang
Ketika detik
genap.
Meluruh
penuh-seluruh
menjadi kalimat
yang utuh.
Terhilir
bersama bait-bait
yang membaiatnya
jadi martir.
Wiji pulang
Tapi di
simpang antara
fajar yang
memulai baris
dan malam yang
melukis titik, masih tersisi
harum kopi,
rokok separuh
hangus, dan
gurat di
kertas tua,
“Ya, aku masih
hidup dan kata-kataku belum binasa”
Oleh. Fandy Ahmad Salim.
Teruntuk Wiji
Thukul, di mana pun, bagaimanapun.
Rewrite: Apero
Fublic
Editor.
Selita. S. Pd.
Sumber:
Sebuku.
Sapardi Djoko Damono dan Para Penulis Terpilih Indonesoa. Menenun Rinai Hujan
Jilid 8. Surakarta: Oase Group, 2019.
Sy. Apero
Fublic
0 comments:
Posting Komentar