Selasa, 24 Maret 2020

Fandy Ahmad Salim. WIJI: Yang Lantang dan Yang Hilang


WIJI: Yang Lantang dan Yang Hilang

I
Di sela-sela gang gelita
dan diinding beku kota Sola
Saya bertemu Wiji saat ia
nyerumput kopi sambil ngobarkan rokok

Isapannya dalam, nir-resah.
Mumpung tidak ada tentara ngejar
atau aparat yang marah-marah.

II
Wiji memetik kata-kata
lalu membarakan dengan puntung rokoknya.
Kata menjelma arang sekam;
Ditabur di bunga-bunga yang ia tebar
di sekeliling tembok, tahun-tahun silam

III
Wiji tidak lari.
Ia berkelana.
Ia menyelamatkan bait-bait puisi
dari sepatu baja dan popor senjata
Sebab Wiji tahu
negeri ini berani memproduksi
pentung,
porgol
peluru
dan begil.
Tapi ciut-takut pada kata-kata
Yang mengagungkan, “adil!”

Sebab Wiji mengerti,
martabat penguasa dan para abdinya
musti dijunjung tinggi-tinggi.
Disembah-hormati
meski tangannya berlumuran darah
dan hati terlanjur mati.

IV
Wiji murung termenung,
lulu merabai tubuhnya sendiri yang terbuat dari
tinta dan ruang:
Badan yang lapuk karena gebuk,
mata yang remuk karena aparat ngamuk.
Ia tercenung.

Namun Wiji mengutip Pram,
“Menulis adalah sebuah keberanian,”
lalu ditambahkan,
“Dan melawan adalah kehormatan”

V
Ketika lampu mencuri bintang
buat menerangi kampung dan jalan raya,
Wiji menyambangi sudut-sudut kota:
Rumah-rumah buru dan tukang becak,
bengkel karatan dan jalan setapak.
Juga rumahnya.

Ia coba kenang kembali
Anak-anaknya yang berbakti,
Yang menggemakan suaranya
Di sekujur tubuh alam raya.
Seperti harapannya pada satu puisi

VI
Wiji menanti 5 menit
Supaya malam benar paripurna.
Dilihatnya arloji:
menunggu dentangan tiga.

Riuh-redah kendaraan berbaur
dengkur negeri yang tidur penuh syukur,
semua naik ke angkasa;
didengarkannya sebagai orkesta.

Ia meratapi
Ia berdoa
Ia meresapi
Ia berdoa
Ia berdoa lewat ramai dan sepi, malam dan pagi, pidato dan puisi, agar sudah cukup yang lantang dan yang hilang, dan tidak lagi

VII
Wiji pulang
Ketika detik genap.
Meluruh penuh-seluruh
menjadi kalimat yang utuh.
Terhilir bersama bait-bait
yang membaiatnya jadi martir.

Wiji pulang
Tapi di simpang antara
fajar yang memulai baris
dan malam yang melukis titik, masih tersisi
harum kopi,
rokok separuh hangus, dan
gurat di kertas tua,
“Ya, aku masih hidup dan kata-kataku belum binasa”

Oleh. Fandy Ahmad Salim.
Teruntuk Wiji Thukul, di mana pun, bagaimanapun.

Rewrite: Apero Fublic
Editor. Selita. S. Pd.

Sumber:
Sebuku. Sapardi Djoko Damono dan Para Penulis Terpilih Indonesoa. Menenun Rinai Hujan Jilid 8. Surakarta: Oase Group, 2019.

Sy. Apero Fublic

0 comments:

Posting Komentar