Jumat, 15 Mei 2020

e-Antologi Puisi. Matahari Berkabut.

Jurnal Apero Fublic.- Berikut ini kumpulan puisi karya dari penyair tahun 80-an bernama Soni Farid Maulana. Di kutif dari antologi puisi Matahari Berkabut yang di terbitkan oleh penerbit Pustaka dari Bandung. Buku terbit di tahun 1989 atau 1410 hijriah.

Puisi ini jenis puisi yang sulit di ketahui maknanya. Sebagaimana ciri khas puisi-puisi zaman tersebut. Kritik sosila dan juga terdapat pada beberapa puisi. Sesuai dengan zaman sewaktu kehidupan penulisnya. Berikut ini sebelas buah puisi karya Soni Farid Maulana.


PENGEMBARA

Malam: Gurun tandus kesepian.
Dikekalkan gerimis dan desau angin.
Masihkah kau kenang ihwal kepergianku ke Selatan?.

Sebelum hujan turun.
Sebelum bunga-bunga mekar di halaman.
Semuanya serba lengang disepuh cahaya bulan.
Selembut ciuman yang kau berikan: membuat iri
Sang ajal memandangku dengan mata merah!

Masihkah kau kenang cara minum teh.
Pagi hari? Seraya kupandang langit pekat.
Dan hitam. Aku mengenang kau dari jauh,
Dari sebuah kota.

Yang pengap oleh bau busuk dan bengisnya.
Harapan. Berkobar bagai bara api:
Membakar selembar daun – jasad tua ini, O,
Masihkah kau seperti semula memahami adaku:
Setelah bahasa, metode pakaian, real-estate.
Kendaraan juga kedudukan: meungubah
Gaya hidupmu. Pikiran dan perasaanmu?

1985.


ODE HARI KIAMAT

O lonceng-lonceng negeri langit
Dengan sayap yang luka.
Malaikat mendarat di kuntum mawar.
Menyeretku terbang ke daerah gelap hutan lambang.
Memperdengarkan nyanyian cemas binatang-binatang.
Yang menaungi rumah-rumah peribadatan.
Sepi dan sendiri. Bagai seorang janda tua.
Ditinggal pergi anak-anaknya.
Ditelan gairah malam metropolitan.
Rebah di sungai arak. Tersungkur di ranjang birahi.
Di mana keberadaan kalbunya berkilau sudah.
Oleh nafsu duniawi yang meluruhkan akal sehat.
Memberangus kebijakan dan kebijakan. Menyamakan.
Kebaikan dan keburukan sebagai hukum kehidupan.
O lonceng-lonceng negeri langit
Bumi yang sakit kepala sempoyongan ke masaq depan.
Beribu abad berdebur tanpa jemu – menampung luka bulan.
Hingga kalbuku mengaduh pedih menatap sinarnya.
Pucat gemetar menaungi bumi:
Nasib hitam yang sunyi dan sendiri!

1986-1987.


DARI DAERAH KEASINGAN

Lembaran daun gemerincing bagai lonceng Katedral
Menyentuh mulut kuburmu. Sunyi menimbunmu.
Pun kerikil dan tanah yang hitam oleh darah bulan

Aku cium dengan perasaan tergetar terakhir kali.
Sisa bau rumputan yang menempel pada bajumu. O,
Tanah lapang tempat kau bermain tinggal kenangan.
Ditumbuhi lalang beton baja. Dihuni ular berbisa.
Mengembalakan ketentraman ke pembantaian.

Masih nyaring dalam pendengaran: suara pedang.
Pun derap serdadu: menghardikmu.
Di bawah jembatan kehidupan tanpa bintang.

1986.


SURAT DUNIA MATI

Telah kau sebar isyarat ghaib.
Lewat seekor kucing mengeong di gelap malam.
Matanya begitu dingin, tajam memandangku.
Menggetarkan bulu kudukku. Dan aku.
Sepanjang jalan menghayati keasingan.
Mengalir sendirian di sungai deras waktu.

Sinar Alam Semesta berkobar.
Mempersaksikan pemberontakan tauhidku.
Pada selingkar ibadah jam kerja.
Mengkondisikan pikiran dan perasaanku.
Pada target produksi yang pasar.
Ya, kunyatakan pemberontakan tauhidku.
Agar kehidupan terjaga menghayatiNya.
Dalam siklus peradaban, mengalir.
Urat-urat darahku. O dunia!

1987.


GAMELAN MATI

Negeriku tempat matahari muncul dan terbenam.
Di mana kadal dan kerbau bermandikan lumpur sawah.
Ternoda darahku terpancong cangkul.
Dibanting traktor yang dendam. Gemuruh mesin pabrik.
Melindas alu dan lesung di gudangmu.
Membuat kau hilang jam kerja: sumber hidupmu. O,
Negeriku tempat matahari muncul dan terbenam.
Mencat hutan tropis. Hutan yang habis terbakar.
Kebuasan kota yang menggerogoti ampela kehidupan!

O sapi perahan bergoyang dengan dahsyat. Seirama.
Lecut peradaban. Seirama lecut jam kerja.
Menyeret gerobak kapitalisme. Hingga gedung-gedung.
Melindas pekuburan. Dengar,
Kota yang buas mencuri perawan di dasar malam.
Membuat bulan terluka dan pingsan di jalan raya.
Kini udara yang kau hirup tak kau kenal lagi aromanya.
Tak kau mengerti lagi jerit si miskin yang tetap tinggal.
Dipinggir sejarah. Dibakar matahari, ditampar hujan.
Dilumat kegelapan, berumah kesepian dan keasingan.
Metropolitan. Kelam dan dalam. O negeriku!

1986-1987.


GALAYA PUB, 1

Telah ia teguk segala minuman.
Yang ditawarkan pikiran hitam. Dari pusat kegelapan.
Ia dengar suara kubur.
Mendengung dalam pendengaran!

Akankah ia sedih atau gembira.
Saat mendapatkan dirinya sendiri:
Rebah dan tersungkur
Diatas meja peradaban?

1988.

GALAYA PUB, 2

Lihat, betapa kurang ajar asap ganja.
Menyusup kedalam otaknya.
Dalam mabuk – ia bagai hiu gila.
Membenturkan kepala kedinding batu.

Malam larut itulah pikiran kusut.
Dalam rawa kehidupan menjelma ular.
Mendesis dan menjalar.
Menawarkan khuldi yang biru!.

1988.


BULAN KALIURANG

Maukah kau berumah dalam hatiku?.
Setelah bergenggam tangan.
             Melengkapkan makna kelahiran. O,
     Betapa gemerincing lonceng cintamu. Betapa.
                        Bulam mencurahkan anggur kehidupan.
                                Pada gelas kita, hingga berdentingan.
                Sukmaku dan sukmamu.
                        Melambung, mengembara jauh sekali.

Rumput hijau berkilauan.
        Angin dan daun gugur memberikan warna.
                Di mana hidup begitu lembut.
                        Menyalakan sinar yang kekenal!.

                                1989.


DI BAWAH HUJAN

-         Untuk Heni Hendrayani.
        Musim hujan dengan payung merah jambu.
Kita menyisir jalan setapak.
                Begitu licin
        Begitu senyap hutan lambang.
                        Dan angin semilir. O cintaku.
                Ambunglah harum lumpur agar segar roh kita.
        Akrab dengan maut dan ia bukan hantu buruk.
                        Yang kelam dan dalam. Luas bagai malam.
                                Tapi semata tangga cahaya.

Dan dengan tangan saling genggam.
        Kita ketuk gerbang langit yang baru.
                Di mana sekuntum hidup mekar sudah.
                Kau dan aku semerbak karenanya.

                                1989.


MALAM BRAGA

Aku akan pergi, itu pasti.
        Meninggalkan kabut dan cuaca yang kelam.
                Bersama malaikat berwajah segar.
        Bersama cina yang tumbuh ramah di dada.

Kuambung harum mawar.
        Yang semerbak dari kedalam kalbumu.
                Dalam keheningan Braga.
        Dalam kesendirianku. Aku kenangkan.
                        Semua itu.
        Meski aku harus pergi bersama malaikat.
Berwajah segar. Bersama cinta.
                Yang tumbuh ramah di dada.

                        1989.


LANGGAM BULAN

        Maut terbaring murung di sudut.
Tapi kegembiraan cerah bagai bulan, bagai.
                Jam berdentang.
        Malam datang dan pergi. O dalam wangian nafasmu.
Yang cempaka.
                Sukmaku menyebrang hutan lambang.
                        Menyebrang padang cahaya.
                                Kedalaman matamu.

Sungguh kau pelita kalbuku.
        Yang sinarnya kukenal, meski maut.
                Terbaring murung.
Memandangku di sudut.

1989.

Oleh. Soni Farid Maulana.
Rewrite. Apero Fublic.
Editor. Desti. S.Sos.
Fotografer. Dadang Saputra.
Palembang, 15 Mei 2020.
Sumber: Soni Farid Maulana. Matahari Berkabut. Bandung: Pustaka, 1989. (1410 H).
Buat sahabat semuanya terima kasih sudah berkunjung ke halaman ini. Bagi semuanya yang ingin mempublikasikan hasil karya tulisnya dapat mengirimkan ke Apero Fublic atau Jurnal Apero Fublic melalui email redaksi fublicapero@gmail.com atau duniasastra54@gmail.com.

Jangan hanya di simpan di dalam buku catatan atau komputer Anda. Publikasikan dan berikan inspirasi buat semua orang. Tapi sebuah karya tulis haruslah karya asli dan tidak melanggar hak cipta orang lain. PT. Media Apero Fublic tidak bertanggung jawab atas hasil karya hanya sebagai wadah publikasi.

Sy. Apero Fublic.

0 comments:

Posting Komentar