Jurnal Apero Fublic.- Berikut ini
kumpulan puisi karya dari penyair tahun 80-an bernama Soni Farid Maulana. Di
kutif dari antologi puisi Matahari Berkabut yang di terbitkan oleh penerbit
Pustaka dari Bandung. Buku terbit di tahun 1989 atau 1410 hijriah.
Puisi ini
jenis puisi yang sulit di ketahui maknanya. Sebagaimana ciri khas puisi-puisi
zaman tersebut. Kritik sosila dan juga terdapat pada beberapa puisi. Sesuai
dengan zaman sewaktu kehidupan penulisnya. Berikut ini sebelas buah puisi karya
Soni Farid Maulana.
PENGEMBARA
Malam: Gurun
tandus kesepian.
Dikekalkan gerimis
dan desau angin.
Masihkah kau
kenang ihwal kepergianku ke Selatan?.
Sebelum hujan
turun.
Sebelum bunga-bunga
mekar di halaman.
Semuanya serba
lengang disepuh cahaya bulan.
Selembut ciuman
yang kau berikan: membuat iri
Sang ajal
memandangku dengan mata merah!
Masihkah kau
kenang cara minum teh.
Pagi hari?
Seraya kupandang langit pekat.
Dan hitam. Aku
mengenang kau dari jauh,
Dari sebuah
kota.
Yang pengap
oleh bau busuk dan bengisnya.
Harapan. Berkobar
bagai bara api:
Membakar selembar
daun – jasad tua ini, O,
Masihkah kau
seperti semula memahami adaku:
Setelah bahasa,
metode pakaian, real-estate.
Kendaraan juga
kedudukan: meungubah
Gaya hidupmu. Pikiran
dan perasaanmu?
1985.
ODE HARI
KIAMAT
O
lonceng-lonceng negeri langit
Dengan sayap
yang luka.
Malaikat mendarat
di kuntum mawar.
Menyeretku terbang
ke daerah gelap hutan lambang.
Memperdengarkan
nyanyian cemas binatang-binatang.
Yang menaungi
rumah-rumah peribadatan.
Sepi dan
sendiri. Bagai seorang janda tua.
Ditinggal pergi
anak-anaknya.
Ditelan gairah
malam metropolitan.
Rebah di
sungai arak. Tersungkur di ranjang birahi.
Di mana
keberadaan kalbunya berkilau sudah.
Oleh nafsu
duniawi yang meluruhkan akal sehat.
Memberangus kebijakan
dan kebijakan. Menyamakan.
Kebaikan dan
keburukan sebagai hukum kehidupan.
O
lonceng-lonceng negeri langit
Bumi yang
sakit kepala sempoyongan ke masaq depan.
Beribu abad
berdebur tanpa jemu – menampung luka bulan.
Hingga kalbuku
mengaduh pedih menatap sinarnya.
Pucat gemetar
menaungi bumi:
Nasib hitam
yang sunyi dan sendiri!
1986-1987.
DARI DAERAH
KEASINGAN
Lembaran daun
gemerincing bagai lonceng Katedral
Menyentuh mulut
kuburmu. Sunyi menimbunmu.
Pun kerikil
dan tanah yang hitam oleh darah bulan
Aku cium
dengan perasaan tergetar terakhir kali.
Sisa bau
rumputan yang menempel pada bajumu. O,
Tanah lapang
tempat kau bermain tinggal kenangan.
Ditumbuhi lalang
beton baja. Dihuni ular berbisa.
Mengembalakan ketentraman
ke pembantaian.
Masih nyaring
dalam pendengaran: suara pedang.
Pun derap
serdadu: menghardikmu.
Di bawah jembatan
kehidupan tanpa bintang.
1986.
SURAT DUNIA
MATI
Telah kau
sebar isyarat ghaib.
Lewat seekor
kucing mengeong di gelap malam.
Matanya begitu
dingin, tajam memandangku.
Menggetarkan bulu
kudukku. Dan aku.
Sepanjang jalan
menghayati keasingan.
Mengalir sendirian
di sungai deras waktu.
Sinar Alam
Semesta berkobar.
Mempersaksikan
pemberontakan tauhidku.
Pada selingkar
ibadah jam kerja.
Mengkondisikan
pikiran dan perasaanku.
Pada target
produksi yang pasar.
Ya, kunyatakan
pemberontakan tauhidku.
Agar kehidupan
terjaga menghayatiNya.
Dalam siklus
peradaban, mengalir.
Urat-urat
darahku. O dunia!
1987.
GAMELAN MATI
Negeriku tempat
matahari muncul dan terbenam.
Di mana kadal
dan kerbau bermandikan lumpur sawah.
Ternoda darahku
terpancong cangkul.
Dibanting traktor
yang dendam. Gemuruh mesin pabrik.
Melindas alu
dan lesung di gudangmu.
Membuat kau
hilang jam kerja: sumber hidupmu. O,
Negeriku tempat
matahari muncul dan terbenam.
Mencat hutan
tropis. Hutan yang habis terbakar.
Kebuasan kota
yang menggerogoti ampela kehidupan!
O sapi perahan
bergoyang dengan dahsyat. Seirama.
Lecut peradaban.
Seirama lecut jam kerja.
Menyeret gerobak
kapitalisme. Hingga gedung-gedung.
Melindas pekuburan.
Dengar,
Kota yang buas
mencuri perawan di dasar malam.
Membuat bulan
terluka dan pingsan di jalan raya.
Kini udara
yang kau hirup tak kau kenal lagi aromanya.
Tak kau
mengerti lagi jerit si miskin yang tetap tinggal.
Dipinggir sejarah.
Dibakar matahari, ditampar hujan.
Dilumat kegelapan,
berumah kesepian dan keasingan.
Metropolitan. Kelam
dan dalam. O negeriku!
1986-1987.
GALAYA PUB, 1
Telah ia teguk
segala minuman.
Yang ditawarkan
pikiran hitam. Dari pusat kegelapan.
Ia dengar
suara kubur.
Mendengung dalam
pendengaran!
Akankah ia
sedih atau gembira.
Saat mendapatkan
dirinya sendiri:
Rebah dan
tersungkur
Diatas meja
peradaban?
1988.
GALAYA PUB, 2
Lihat, betapa
kurang ajar asap ganja.
Menyusup kedalam
otaknya.
Dalam mabuk –
ia bagai hiu gila.
Membenturkan kepala
kedinding batu.
Malam larut
itulah pikiran kusut.
Dalam rawa
kehidupan menjelma ular.
Mendesis dan
menjalar.
Menawarkan khuldi
yang biru!.
1988.
BULAN
KALIURANG
Maukah kau
berumah dalam hatiku?.
Setelah bergenggam tangan.
Melengkapkan
makna kelahiran. O,
Betapa
gemerincing lonceng cintamu. Betapa.
Bulam mencurahkan anggur
kehidupan.
Pada gelas kita,
hingga berdentingan.
Sukmaku dan sukmamu.
Melambung, mengembara
jauh sekali.
Rumput hijau
berkilauan.
Angin dan daun gugur memberikan warna.
Di mana hidup begitu lembut.
Menyalakan sinar yang
kekenal!.
1989.
DI BAWAH HUJAN
-
Untuk
Heni Hendrayani.
Musim hujan dengan payung merah jambu.
Kita menyisir
jalan setapak.
Begitu licin
Begitu senyap hutan lambang.
Dan angin semilir. O cintaku.
Ambunglah harum lumpur agar
segar roh kita.
Akrab dengan maut dan ia bukan hantu
buruk.
Yang kelam dan dalam. Luas
bagai malam.
Tapi semata
tangga cahaya.
Dan dengan
tangan saling genggam.
Kita ketuk gerbang langit yang baru.
Di mana sekuntum hidup mekar
sudah.
Kau dan aku semerbak karenanya.
1989.
MALAM BRAGA
Aku akan
pergi, itu pasti.
Meninggalkan kabut dan cuaca yang kelam.
Bersama malaikat berwajah segar.
Bersama cina yang tumbuh ramah di dada.
Kuambung harum
mawar.
Yang semerbak dari kedalam kalbumu.
Dalam keheningan Braga.
Dalam kesendirianku. Aku kenangkan.
Semua itu.
Meski aku harus pergi bersama malaikat.
Berwajah segar.
Bersama cinta.
Yang tumbuh ramah di dada.
1989.
LANGGAM BULAN
Maut terbaring murung di sudut.
Tapi kegembiraan
cerah bagai bulan, bagai.
Jam berdentang.
Malam datang dan pergi. O dalam wangian
nafasmu.
Yang cempaka.
Sukmaku menyebrang hutan
lambang.
Menyebrang padang
cahaya.
Kedalaman matamu.
Sungguh kau
pelita kalbuku.
Yang sinarnya kukenal, meski maut.
Terbaring murung.
Memandangku di
sudut.
1989.
Oleh. Soni
Farid Maulana.
Rewrite. Apero Fublic.
Editor. Desti.
S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang, 15
Mei 2020.
Sumber: Soni
Farid Maulana. Matahari Berkabut. Bandung: Pustaka, 1989. (1410 H).
Buat sahabat semuanya terima kasih sudah berkunjung ke halaman ini. Bagi semuanya yang ingin mempublikasikan hasil karya tulisnya dapat mengirimkan ke Apero Fublic atau Jurnal Apero Fublic melalui email redaksi fublicapero@gmail.com atau duniasastra54@gmail.com.
Jangan hanya di simpan di dalam buku catatan atau komputer Anda. Publikasikan dan berikan inspirasi buat semua orang. Tapi sebuah karya tulis haruslah karya asli dan tidak melanggar hak cipta orang lain. PT. Media Apero Fublic tidak bertanggung jawab atas hasil karya hanya sebagai wadah publikasi.
Sy. Apero
Fublic.
0 comments:
Posting Komentar