Jurnal Apero Fublic.- Kisah Hikayat
Umar Maya adalah jenis karya sastra klasik Nusantara. Hikayat ini ditulis
sekitar abad ke 14 Masehi. Telah disalin kedalam berbagai bahasa pada masanya,
bahasa Melayu, Jawa dan Sunda dan bahasa lainnya di Nusantara. Sastra ini
adalah jenis sastra Islam yang berkaitan dengan masa-masa penyebaran Islam di
Asia Tenggara.
Sudah umum
kalau sastra klasik nusantara ditulis dengan cara bait-bait. Berupa pantun,
tembang atau syair lama. Semua itu menjadi ciri khas sastra klasik. Tema
keajaiban dan suverioritas seorang tokoh menjadi ide dasar dari jalan cerita.
Penggunaan senjata sakti, jimat sakti, dan bercerita tentang raja atau
bangsawan. Berikut ini, adalah ringkasan dari naskah Hikayat Umar Maya.
Hikayat Umar Maya
Alkisah di
negeri Arab, memerintah seorang Maharaja bernama Amir Hamzah. Baginda Sultan
Amir Hamzah telah menaklukkan beratus-ratus negara, sehingga dia memiliki
sekutu yang sangat banyak. Senjata pusaka Sulatan Amir Hamzah berupa sebilah
pedang yang bernama Pedang Kangkam. Permaisuri beliau bernama Siti Munigar.
Sultan Amir
Hamzah memiliki seorang kakak bernama Umar Maya. Sakti dan memiliki jimat
bernama Endong dan Kantong. Keunggulan jimat Endong dimana semua perkataan Umar
Maya dapat terkabulkan. Istri Umar Maya bernama, Dewi Bastari, dua anaknya Umar
Sahad dan Umar Sahid.
Jauh dari
negeri Arab ada sebuah negeri bernama Kerajaan Ayaban. Raja bernama Selaweji,
dan patinya bernama Wajesi. Raja Selaweji memerintahkan pati untuk mencuri
jimat Umar Maya dan Pedang Sultan Amir Hamzah. Saat kehilangan senjata pusaka
Pedang Kangkam. Sultan memanggil sang kakak Umar Maya. Umar Maya berkeberatan
melaksanakan tugas tersebut. Karena dia juga kehilangan jimat saktinya.
Mendengar itu,
Sultan mengusir Umar Maya dari negeri Arab. Umar Maya terpaksa pergi dari
negeri Arab. Dia mengembara kesana kemari bersama anak dan istrinya. Suatu
hari, istrinya Dewi Bastari diculik seorang nahkoda. Lalu di bawa ke negeri
Ayaban dan diserahkan ke Raja Selaweji. Permasalahan datang kembali, dua
anaknya dilarikan siluman buaya putih ke tengah lautan. Umar Maya berusaha menyelamatkan
anak-anaknya. Tapi dia akhirnya hanyut dan tenggelam terbawa ombak lautan.
Umar Sahad dan
Umar Sahid yang dilarikan siluman Buaya Putih. Tanpa sengaja tertangkap jala seorang nelayan tua. Si Kakek itu kemudian menyerahkan Umar Sahad dan Umar Sahid
kepada Raja Selaweji. Mereka bertemu dengan ibunya Dewi Bastari. Suatu hari
Umar Sahad dan Umar Said melihat Pedang Kangkam dan jimat Endong dan Kantong di
kamar Raja Selaweji.
Sementara itu,
Umar Maya yang terbawa ombak lautan. Terdampar di sebuah negeri siluman. Umar
Said akhirnya menikah dengan ratu siluman tersebut. Namun, suatu hari Umar Maya
kembali pergi untuk mencari istri dan kedua anaknya.
Suatu hari,
sampailah dia di negeri Ayaban. Dia bertemu dengan kedua anak dan istrinya.
Anaknya menceritakan perihal pedang Sultan Amir Hamzah dan jimat milik Umar
Maya. Maka, Umar Maya memerintahkan anaknya untuk mengambil kembali milik
mereka dan pedang milik Sultan.
Setelah
memiliki jimatnya kembali, Umar Maya meminta Raja Selaweji untuk berperang.
Umar Maya yang sangat sakti dengan jimatnya. Dapat mengalahkan Raja Selaweji
dan bala tentaranya. Setelah itu, Raja Selaweji dan rakyatnya menyatakan masuk
Islam dengan ikhlas.
Umar Maya
kemudian menyusun kekuatan tentara. Dia ingin menaklukkan negeri Sultan Amir
Hamzah di tanah Arab. Umar Maya merasa sakit hati atas perlakukan sultan
sebelumnya. Sehingga terjadi perang saudara antara Umar Maya dan Sultan Amir
Hamzah. Saat perang berlangsung sengit, diketahui kalau mereka berdua adalah
saudara kandung. Maka serta merta mereka berdua berdamai.
Lebih jauh
lagi dari negeri Arab ada negeri Banustan. Rajanya bernama Genduk Kowis,
memiliki dua orang putri bernama Putri Cindawati dan adiknya Putri Cindaratna.
Cindawati telah dijodohkan dengan putra raja Nursewan dari kerajaan Madayu,
bernama Nirma.
Dua hari
sebelum pernikahan, datang seorang nahkoda pelarian dari negeri Ayaban. Dia
mengabarkan kalau kerajaan Ayaban telah ditaklukkan Umar Maya dan Raja
Selaweji, Pati Wajesi dan pengikutnya telah memeluk Islam.
Mendengar
berita tersebut, Raja Gendu Kowis sangat marah. Raja Gendu Kowis dan Raja
Nursewan berencana menyerang negeri Arab. Keduanya tahu kalau Umar Maya telah
diusir oleh Sultan. Maka kekuatan negeri Arab tidak seberapa tanpa Umar Maya.
Raja Gendu
Kowis memerintahkan patinya bernama Bandul Alam untuk menculik permaisuri
Sultan Amir Hamzah. Bandul Alam berhasil dan membawa permaisuri Sultan, Siti
Munigar. Raja Gendu Kowis ingin memperistri Siti Munigar. Tapi sebelum itu,
SitI Munigar mengajukan syarat, meminta capung emas bersayap sutra.
Sultan Amir
Hamzah yang sangat mencintai permaisuri. Meminta Pati Wajesi untuk mengejar
penculik. Pati Wajesi bertapa untuk mencari tahu dengan kekuatan gaib. Akhirnya
dia memberi tahu Sultan kalau yang dapat menyelamatkan permaisuri hanyalah Umar
Maya.
Maka
berangkatlah Umar Maya dengan menyamar menjadi capung emas bersayap sutra.
Seperti persyaratan dari Siti Munigar. Ikutlah bersama Pati Wajesi yang
menyamar menjadi pengemis yang juga diikuti Raden Bagus Suwangsa anak angkat
Siti Munigar.
Akhirnya Umar
Maya dapat menyelamatkan permaisuri Sultan. Selain itu, mereka juga membawa dua
putri Raja Gendu Kowis, Putri Cindawati dan Cindaratna. Sebelum kembali, Umar
Maya menghancurkan negeri Banustan.
Karena hal
tersebut, Raja Gendu Kowis beserta pasukannya menyerang negeri Arab. Perang
itu, menyebabkan hampir seluruh pasukan tewas. Sedangkan pati Bandul Alam
tewas dengan kepala terpenggal. Gendu Kowis meminta pengampunan dan diberi syarat
asal dia mau masuk Isam. Tapi raja Gendu Kowis tidak mau, dia memilih untuk
dihukum mati.
Sementara itu,
Raja Nursewan dan putranya Nirman melarikan diri kedalam hutan. Mereka akhirnya
hidup terlunta-lunta. Sejak saat itu, keadaan negeri Arab tenang dan damai.
Tidak ada lagi negeri-negeri jahat yang menyerang dan mengganggu. Sehingga
rakyat aman, damai, dan sejahtera.
Rewrite: Apero Fublic
Editor. Desti.
S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang, 16
Juli 2020.
Sumber: S.
Budhisantoso. Hikayat Umar Maya. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.
Sy. Apero Fublic.
0 comments:
Posting Komentar