Namun, karena
rasa ingin merantau terus menghantui dan tidak tertahan lagi. Dia akhirnya
mengutarakan maksudnya itu. “Umak, sudah lama aku hendak pergi merantau,
mencari pengalaman dan mencari penghidupan yang lebih baik di daerah orang.
Tapi hati Kantan tidak sampai hati meninggalkan ibu seorang diri.” Ujar si
Kantan.
“Kalau
demikian kehendakmu dan tekadmu, Anakku. Jangan khawatirkan ibu, walau sudah
tua. Tapi ibu masih dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri.” Jawab ibu dengan
berbesar hati. Walau di dalam hatinya terasa menjerit tidak rela anaknya pergi
jauh. Dia khawatir nanti terjadi yang tidak diingnkan pada anak semata
wayangnya. Saat si Kantan berangkat merantau, ibunya menangis dengan sedih.
Waktu berlalu
dengan cepat, bulan berlalu tahun bergati-ganti. Sementara si Kantan sudah di
tanah rantau telah menjadi seorang saudagar kaya raya. Dia juga telah memiliki
istri yang cantik, anak saudagar kaya pula. Sedangkan ibu si Kantan terus
menunggu anaknya pulang. Rasa rindu pada anaknya tidak tertahan lagi. Namun si
Kantan belum juga pulang ke kampung mereka.
Suatu hari
dalam pelayaran berniaga dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Kini singgahlah
si Kantan di pelabuhan Tanjung Pura. Pelabuhan dimana dulu pertama kali dia
pergi merantau. Si Kantan tidak bermaksud pulang ke rumahnya. Di pelabuhan yang
ramai, dimana penduduk tempat tinggal si Kantan sering datang ke pelabuhan. Tanpa
sengaja melihat si Kantan. Kemudian menyampaikan kepada ibunya di rumah, daerah
Karo.
Betapa bahagia
ibu si Kantan mendengar anaknya telah pulang dari merantau. Apalagi dia
dikabarkan telah menjadi orang kaya raya. Bergegaslah ibu si Kantan datang ke
Pelabuhan Tanjung Pura. Akan tetapi saat bertemu si Kantan, diluar dugaan
ibunya. Ternyata si Kantan tidak mengakui dirinya sebagai ibunya. Sebab si
Kantan mengaku pada istrinya keluarganya orang kaya dan terpandang.
Kenyataannya orang tuanya miskin, apalagi keadaan ibu tampak kumal.
Menghadapi
kenyataan tersebut, ibu si Kantan sangat sedih dan kecewa sekali. Anak yang dia
lahirkan dan besarkan juga telah dia nantikan pulang. Tapi tidak mengakuinya
sebagai ibunya, karena miskin dan kumal. Si Kantan bersifat seolah tidak
bersalah dan tidak ada apa-apa. Setelah urusannya selesai di Pelabuhan Tanjung
Pura, dia pergi.
Saat kapal si
Kantan mulai berbelok untuk kembali berlayar, ibu si Kantan berkata. “Kalau aku
bukan ibumu, biarkanlah air susuku menjadi ombak laut yang akan menghancurkanmu.
Aku serahkan pada Tuhan menentukan kekuasaan-Nya padamu.” Ujar ibu si Kantan
dengan penuh rasa sedih dan kesal.
Seketika itu,
dengan kuasa Tuhan yang berlaku. Tiba-tiba angin berhembus kencang yang membawa
banyak awan hitam. Kemudian turun hujan dan disertai angin topan yang amat kencang.
Laut kemudian berombak besar dan semakin besar. Ombak dan angin badai yang
berpadu membuat kapal layar si Kantan hancur. Kapal si Kantan tenggelam dan
semua awak kapal, termasuk si Kantan tewas. Semua orang di pelabuhan
menyaksikan peristiwa tersebut.
Beberapa waktu kemudian terjadi hal yang luar biasa. Perlahan disana muncul sebuah pulau. Penduduk kemudian menamakan pulau tersebut dengan nama, Pulau Si Kantan. Cerita si Kantan versi lain dari hikayat si Malin Kundang. Di Nusantara cerita demikian menjadi sastra nasihat untuk anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar