Lancar tidak belajar seperti anak-anak lainnya, seusianya. Melihat teman-temannya belajar, timbul hasrat Wa Lancar mau belajar. Wa Lancar meminta restu ibunya untuk belajar. Dengan berat hati ibu Wa Lancar mengizinkan dia pergi belajar. Pergilah Wa Lancar menemui Syeh yang ternama di daerahnya.
“Ada apa kau datang, bujang.” Tanya Syeh itu. Wa Lancar dengan memohon meminta diangkat
menjadi murid syeh itu. Dia tidak dapat membayar, untuk itu dia mengerjakan
pekerjaan rumah sehari-hari. Namun bertahun-tahun Wa Lancar tidak pernah belajar
seperti murid-murid lain.
Wa Lancar
hanya belajar dari murid-murid Syeh itu. Wa Lancar terus bersabar dan terus
hanya belajar dari murid-murid syeh tanpa setahu Syeh itu. Karena kesabarannya
terbatas bertanyalah dia pada syeh itu. Karena Wa Lancar datang untuk belajar
bukan hanya bekerja di rumah syeh itu, tanpa di gaji.
Wa Lancar
kemudian menjelaskan pada syeh itu kalau dia mau belajar seperti anak-anak
lainnya. Kemudian syeh memberinya pelajaran dengan sebuah kalimat. “Kalau sudah
lapar, jangan makan.” Setelah memberikan kalimat itu syeh menyatakan kalau Wa
Lancar sudah tamat mengaji. Wa Lancar tidak mengerti dengan maksud kata-kata
itu. Rasa herannya ditekannya didalam hatinya. Kata-kata syeh itu, kemudian dia
ingat baik-baik. Kemudian Wa Lancar pergi meninggalkan rumah syeh itu.
Kemudian Wa Lancar pergi menemui seorang syeh yang lain. Dia bermaksud untuk belajar dengan syeh itu. Kembali Wa Lancar melakukan aktivitas seperti di rumah syeh yang pertama. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah syeh itu, bertahun-tahun.
Tapi Wa Lancar belum juga di angkat menjadi murid dan belajar
seperti anak-anak lain. Diam-diam Wa Lancar belajar dan bertanya pada
murid-murid syeh itu. Beberapa tahun kemudian Wa Lancar menghadap syeh dan
menegaskan kalau dia ingin belajar seperti murid-murid lainnya.
Ketika Wa
Lancar datang menghadap dan meminta pelajaran ilmu pengetahuan dan ilmu agama.
Syeh itu kemudian berkata. “Kalau lelah berjalan, berhentilah. Wa Lancar tidak
mengerti dengan perkataan itu. Tapi dia akhirnya pergi juga meninggalkan rumah
syeh itu. Dia kembali pergi mencari guru untuk belajar. Saat dia menemukan
seorang syeh di daerah lain, dia juga datang menghadap.
Wa Lancar
kemudian kembali bekerja di rumah syeh itu, tanpa gaji. Dia hanya ingin belajar
ilmu pengetahuan. Bertahun-tahun lamanya namun dia belum juga mendapat
pelajaran. Sebagaimana saat dia berada di rumah syeh sebelumnya. Wa Lancar
hanya belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Tidak pernah diangkat
murid atau diberikan pelajaran.
Wa Lancar
kembali menghadap dan menegaskan dia meminta diberi pelajaran. Syeh itu
kemudian berkata. “Ambil batu, ambil pisau, asah tajam-tajam.” Kembali keheranan
Wa Lancar juga pergi pulang ke rumah ibunya. Wa Lancar mengingat kata-kata syeh
terakhir itu, juga. Waktu berlalu Wa Lancar terpikir untuk mengabdikan
pengetahuannya di tengah masyarakat.
Pergilah Wa Lancar
ke sebuah Kampung. Dia menuju sebuah masjid untuk beribadah. Memutuskan tinggal
di masjid untuk sementara. Terlebih dahulu Wa Lancar meminta izin pada pemuka
kampung itu. Selain ibadah, Wa Lancar juga membersihkan masjid.
Karena
ketekunan dan ketaatan Wa Lancar membuat warga kampung tertarik. Mereka meminta
untuk mengajar ilmu agama di masjid. Wa Lancar tidak menolak karena memang itu
yang dia rencanakan. Wa Lancar mengajar, waktu demi waktu muridnya bertambah
banyak. Dia pun terkenal sebagai seorang ulama yang berilmu. Sampai juga berita
itu pada syeh tempat dia mau belajar dulu, tapi tidak diterima-terima.
Kadi kerajaan
menjadi iri atas kemajuan mengajar Wa Lancar. Banyak murid Kadi kerajaan pindah
tempat belajar ke Wa Lancar. Kepindahan itu membuat kadi kehilangan sebagian
pemasukannya. Kemudian Kadi mengadukan Wa Lancar kepada Sultan dengan tuduhan
menyebarkan ajaran sesat.
Pengaduan itu,
menyebabkan Wa Lancar di hukum. Dia dihukum menikahi putri sultan yang sudah
menikah sebanyak 17 kali. Tujuh belas suami putri sultan itu meninggal dunia
sehari setelah ijab kabul. Walau takut terpaksa Wa Lancar menikahi putri sultan
itu.
Pertama-tama Wa Lancar dan temannya dijamu di istana. Ketika itu, perut Wa Lancar terasa begitu lapar. Wa Lancar pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Kalau sudah lapar, jangan makan. Dengan segera Wa Lancar tidak makan. Beruntung Wa Lancar tidak makan. Sebab ternyata hidangan telah diracuni. Sehingga dia tidak mati, sementara temannya meninggal setelah makan.
Melihat Wa
Lancar selamat, kembali rencana pembunuhan dilakukan. Kemungkinan Kadi kerajaan
yang menjadi otak pembunuhan Wa Lancar. Keesokan harinya Wa Lancar
diperintahkan ke suatu tempat. Di kawal oleh seorang prajurit. Karena perjalanan
jauh membuat Wa Lancar menjadi lelah.
Dia pun
teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Lelah berjalan,
berhentilah. Dia pun berhenti dan pengawal itu terus berjalan. Tidak seberapa
lama pengawal itu menjerit dan mati. Ternyata tempat yang diperintahkan itu,
telah dipasang perangkap membunuh.
Setelah
melewati dua aksi pembunuhan, tibalah Wa Lancar untuk masuk kamar putri yang
sudah dia nikahi. Karena tuan putri sedang tidur dan keadaan sepi. Wa Lancar
kemudian duduk berdiam diri di salah satu sudut kamar.
Saat itu, dia
teringat pesan syeh yang ketiga yang dia datangi. “Ambil batu, ambil pisau,
lalu asahlah.” Maka dari pada melamun Wa Lancar melakukan apa yang dia ingat. Pisau
tajam, ketika itu, tiba-tiba datang lipan putih yang hendak menggigit Wa
Lancar. Lansung saja, Wa Lancar menikam lipan putih sampai mati. Lipan itulah
yang selama ini menewaskan suami-suami tuan putri karena mereka terlalu ceroboh
dan terburu nafsu.
Akhirnya sang Kadi kerajaan yang dianggap membawa ajaran sesat. Sedangkan Wa Lancar setelah diuji pihak kerajaan tidak terdapat tanda mengajarkan ajaran sesat. Kemudian pernikahan Wa Lancar dirayakan karena tuan putri telah lepas dari lipan putih, penunggu badannya.
Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra
Palembang, 22
November 2020.
Sumber:
Informan Amir Bintang, lahir di Tanjung Pura 1927 bergama Islam dan berbahasa
Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan
Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy. Apero Fublic.
0 comments:
Posting Komentar