Jurnal Apero Fublic.- Pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah negeri yang damai dan sejahtera. Rakyatnya hidup dari bertani, seperti berladang. Di ladang mereka menanam berbagai jenis tanaman, terutama menanam padi. Hiduplah sebuah keluarga petani yang sederhana. Mereka hanya memiliki seorang anak perempuan. Berwajah cantik, penurut anaknya, dan bernama Sri Dayang.
Seperti biasa,
ibu dan ayahnya pergi ke ladang mereka. Mereka memanen padi dan tanaman
lainnya. Saat pergi ke ladang, Sri Dayang tinggal di rumah seorang diri. Begitu
juga dengan anak-anak warga yang lainnya. Memang sudah menjadi kebiasaan
masyarakat waktu itu. Ibu Sri Dayang mengunci pintu dari luar. Hanya jendela
yang terbuka, demi menjaga keamanan Sri Dayang. Terutama dari bahaya hewan buas
seperti harimau.
Waktu berlalu,
musim berganti. Masyarakat mulai membuka ladang baru lagi. Begitulah kehidupan
petani ladang berpindah. Proses membuka ladang cukup lama, dimulai dari
membersihkan hutan dinamai dengan menebas. Menebas membersihkan semak-semak
dengan cara dibabat dengan parang. Kemudian dilanjutkan menebang pepohonan
besar disebut, menebang. Kemudian proses pengolahan lahan, seperti membakar.
*****
Begitu juga
dengan keluarga petani, orang tua Sri Dayang. Mereka juga membuka ladang baru
untuk ditanam padi. Sebab harus berladang untuk menyambung hidup, karena padi
hasil ladang tahun lalu terus berkurang. Waktu itu masih taraf awal membuka
ladang, yaitu menebas. Ayah dan ibu Sri Dayang bersiap-siap untuk memulai
menebas atau membersihkan lahan ladang mereka tahun ini. Seperti biasa Sri
Dayang ditinggal di rumah seorang diri seperti biasa. Hari itu, Sri Dayang
ingin ikut ke ladang, sebab bosan dirumah seorang diri.
“Umak, Oh
Umak, boleh aku ikut.” Kata Sri Dayang.
“Janganlah
Nak, ini musim menebas rimba, kita juga sedang menebas. Tidak ada anak-anak
yang ikut ke rimba.” Jawab ibunya, Sri Dayang hanya diam saja.
Waktu berlalu,
sekarang sudah tibah musim membersihkan lahan bakal ladang mereka. Sri Dayang
kemudian berkata lagi. “Umak, hari ini aku ikut ke ladang. Kepingin sekali Sri
pergi ke ladang.” Pinta Sri Dayang. Lalu ibunya menjawab. “Janganlah, Anakku.
Sebab di ladang masih sibuk membersihkan ladang. Nanti kau terkena benda tajam
kakimu.” Kata ibunya. Sri Dayang menurut saja.
Sekarang
tibalah musim menanam padi. Biasanya penduduk beramai-ramai bergotong royong
menanam padi di ladang-ladang mereka. Melihat itu, Sri Dayang kembali berkata
pada ibunya. “Umak, ramai sekali orang-orang pergi ke ladang. Sri Dayang ingin
pergi bersama-sama mereka.” Kembali ibu Sri Dayang melarang. “Jangan Nak,
tunggulah sebentar lagi sampai padi-padi tumbuh subur. Sampai juga pada musim
menuai padi. Ibu Sri Dayang masih melarang seperti biasa. “Jangan ikut, Anakku.
Sekarang kalau pagi turun hujan, kalau siang panas terik. Nanti kau sakit.”
Begitulah
terus menerus, membuat hati Sri Dayang kecewa dan bersedih. Kesunyian sudah
tidak tertahan lagi olehnya. Dengan demikian, terpikirkanlah olehnya untuk
meminta pada tuhan tentang kebebasan menjadi manusia. “Tuhan, jadikanlah aku
manusia yang bebas, jangan terkurung saja seperti ini. Ingin sekali aku melihat
indahnya ladang, lebatnya hutan, dan mengapa aku selalu terkurung begini.”
Setelah dia
berdoa seperti itu. Tiba-tiba masuklah asap yang lama-kelamaan menggumpal dan
menyatu. Kemudian gumpalan asap itu menjelma menjadi manusia, lalu berkata pada
Sri Dayang. “Wahai Sri Dayang, aku adalah Datuk Pertapa. Apa yang kau keluhkan
selama ini aku tahu, atas kepedihan hatimu.” Ujar sosok jelmaan asap itu.
“Wahai Datuk
Pertapa yang sakti, tolong aku. Aku ingin bebas walaupun wujudku tidak lagi
berupa manusia. Jadikan aku seekor burung, biar aku bebas melayang-layang
menyaksikan keindahan dunia ini. Sudah cukup lama aku mengikuti kata-kata kedua
orang tuaku, tetapi tidak ada kebebasan untukku.” Pinta Sri Dayang pada Datuk
Pertapa.
“Baiklah.”
Jawab Datuk Pertapa. Tidak beberapa lama kemudian, mengepul gumpalan asap
dihadapan Sri Dayang. Lalu menggulung tubuh Sri Dayang. Selanjutnya wujud Sri
Dayang berubah wujud menjadi seekor burung, yaitu Burung Balam. Setelah itu,
burung balam jelmaan Sri Dayang terbang menuju ladang orang tuanya. Dia
menyaksikan banyak sekali orang-orang di ladang mereka. Lalu dia bernyanyi dan
didengar oleh orang-orang.
“Ohh, mak,
umakkkk. Tahuka umak.
Si Sri Dayang
berubah wujud.
Kalau dimakan
Balam padi umak.
Si Sri Dayang
yang memakannya.
Wahai umak,
relakan hati.
Si Sri Dayang
berubah wujud.”
Mendengar
nyanyian itu, semua orang terkejut, mereka melihat ke arah burung balam yang
bernyanyi itu. Ibu dan Ayah Sri Dayang menangis sedih. Dengan sangat menyesal
mereka berkata. “Wahai anakku, maafkanlah kami Nak. Turunlah engkau dan
kembalilah menjadi manusia.” Pinta ibu Sri Dayang. “Maafkanlah Umak, Sri Dayang
sudah disumpah tidak bisa berubah wujud lagi.” Jawab Sri Dayang.
Sri Dayang kembali berkata kembali. “Oh Tuhan, aku tidak pernah menyesal. Cuma aku harap agar suatu hari nanti hendaknya aku dipelihara manusia.” Oleh sebab kata-kata terakhir itulah, manusia suka memelihara burung balam. Konon bagian bintik-bintik di leher burung balam adalah kalung yang diberikan ibunya dahulu.
Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti,
S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 11
November 2020.
Sumber: Masidan,
Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1987. Catatan Periwayat Hikayat. Rahmah, lahir di Binjai tahun
1920, agama Islam, berbahasa Melayu.
Sy. Apero Fublic.
0 comments:
Posting Komentar