Imam Awang
berasal dari Kedah di tanah Semenanjung Melayu. Dengan menumpang sebuah perahu
(sagor) menyeberanglah dia ke pulau Sumatera. Imam Awang pergi dari tanah
kelahirannya di Kedah karena ingin melupakan musibah yang menimpa keluarganya.
Istri Imam Awang meninggal dunia, merupakan kesedihan besar bagi dirinya dan
ketiga anaknya. Itulah kisah mengapa dia sampai ke Kampung Tapak Kuda di
Langkat.
Sesampai di Kampung Tapak Kuda, datanglah Imam Awang ke rumah Penghulu. Karena hari sudah sore, dan tidak tahu kemana untuk bermalam bersama anak-anaknya. Maka dia menumpang bermalam di rumah Pak Penghulu. Dengan senang hati, Penghulu menerima keluarga Imam Awang.
Dari Kampung Tapak Kuda, Imam Awang melanjutkan perjalanan
ke hulu. Sesampai di daerah Bubun, dia melihat banyak sampan besar tertambat di
bagan. Orang pun sangat banyak di sana, sangat ramai sepertinya sudah terjadi
sesuatu di sana.
Imam Awang
merasa tertarik, kemudian dia bertanya pada salah satu warga. “Apa yang
terjadi, sehingga orang begitu ramai?.” Tanya Imam Awang. “Sultan dan Keluarga
sedang berada di kampung kita ini, karena daerah Langkat sudah dimasuki musuh.”
Jawab warga itu. Dia melanjutkan
kata-katanya. “Sultan Langkat akan menguasai Kampung Pusung.” Karena Negeri
sedang berperang dinasihatinya Imam Awang agar berhati-hati. Jangan banyak
bercerita karena mungkin bisa membahayakan diri.
Imam Awang
mengucapkan terima kasih, lalu dia melanjutkan perjalanan ke hulu. Sampailah
dia ke Kampung Hinai. Di suatu tempat, ditepi sungai dia melihat banyak orang
berkumpul. Karena mengingat nasihat warga di kampung Bubun, maka Imam Awang
terus saja mengayu perahu. Tidak banyak berbicara atau tidak bertanya-tanya.
Akan tetapi banyak orang memanggilnya dan meminta mereka berhenti. Imam Awang
menepi sungai, lalu berhenti dan naik ke daratan setelah menambatkan perahunya.
Di sebuah
rumah besar banyak orang berkumpul. Ada yang bercerita biasa, ada juga yang
berkata-kata dengan wajah serius sekali. Di sisi lain sekitar itu, ada sekelompok
anak muda dengan kesibukan lain. Mereka sedang mengasah senjata tajam, seperti
parang, lembing, tombak. Imam Awang dan tiga anaknya dibawa orang naik ke
rumah.
Dia melihat
banyak orang berbadan tegap dan tinggi besar. Ada seorang yang paling gagah
perkasa diantaranya. Wajahnya penuh jambang dan janggut. Rupanya dialah Datuk
Kampung Hinai, yang dijuluki Datuk Janggut. Kepada Datuk Hinai itulah Imam
Awang dan ketiga anaknya di hadapkan.
“Hai, orang
yang baru datang, siapakah namamu, dari mana dan hendak kemana gerangan
kalian?.” Tanya Datuk Janggut pada Imam Awang. Lalu Imam Awang menjawab.
Dijawab semua pertanyaan itu oleh Imam Awang dengan penuh hormat dan sopan.
Kemudian dia meminta diperbolehkan menjadi penduduk Kampung Hinai.
Datuk Janggut
mengizinkan Imam Awang menjadi penduduk Kampung Hinai. Tetapi dengan syarat,
Imam Awang bersedia membantu Kampung Hinai karena sedang terlibat perang dengan
musuh. Akhirnya disetujui syarat itu, dan tugas Imam Awang mengajari penduduk
ilmu keislaman. Sambil turut serta menjaga Kampung Hinai. Berhubungan keadaan
tidak aman.
Sebagai guru
agama Imam Awang mendapat banyak murid. Akan tetapi dia masih belum puas dengan
keadaannya. Dia ingin pindah lagi dari sana menuju ke hulu sungai. Berjalanlah
dia pergi ke hulu sungai, bersama tiga anaknya. Karena hari baru selesai hujan
dan jalan licin. Di sebuah tempat Imam Awang tergelincir dan terjatuh kedalam
sawah penduduk. Kebetulan pemilik sawah berada disekitar itu. Melihat padinya
banyak yang rusak, patah-patah tertimpa tubuh Imam Awang. Membuat si pemilik
sawah marah.
Imam Awang
meminta maaf dan orang itu tidak mau memaafkan, sehingga terjadi keributan. Di
bawalah Imam Awang ke hadapan beberapa orang. Mereka bersepakat mempersalahkan
Imam Awang. Kemudian beberapa orang mulai memukul dan menerjang. Imam Awang
masih sabar, tetapi perlakuan mereka semakin menjadi-jadi. Sehingga Imam Awang
menjadi naik darah. Kemarahannya dia hantamkan pada sebatang pohon pinang.
Sehingga semua buahnya jatuh berguguran.
Melihat itu,
semua orang yang mengeroyok sadar kalau yang mereka hadapi bukan orang
sembarangan. Mereka akhirnya meminta maaf dan pemilik padi juga meminta maaf.
Imam Awang memaafkan semuanya dan untuk pemilik padi dia doakan agar tumbuh
lagi dengan subur. Beberapa hari kemudian padi yang rusak itu, tumbuh kembali
dengan subur. Setelah itu, Imam Awang menetap di Kampung Nangka. Pekerjaan
sama, menjadi guru agama Islam seperti di Kampung Hinai.
*****
Datanglah
musim menugal padi di ladang. Sebelum dilaksanakan dilakukan dengan membuat bubur
Tik-tik. Dinamakan demikian karena proses membuatnya melalui saringan tempurung
kelapa yang dilubangi. Karena jatuhnya tepung beras berbunyi tik-tik. Akan
tetapi nama tik-tik dihubungi dengan harapan di hati penduduk petani agar hujan
turun dari langit yang juga tik-tik. Sehingga padi akan tumbuh subur.
Kepada penduduk diajarkan Imam Awang cara-cara yang harus dilakukan agar tanaman padi berhasil dan baik. Di ladang itu mula-mula dibuatnya sebuah perigi bersegi empat. Atau seluas satu meter berbentuk bujur sangkar. Ditengah galian yang seluas satu meter bujur sangkar, dibuat lukisan Tapak Nabi Sulaiman dan diletakkan tepung tawar.
Sesudah itu, dimulainyalah menugal sebanyak tujuh
lubang dan diisinya padi. Lalu Imam Awang membacakannya jampi-jampi. Kemudian
tanaman padi tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan banyak buah padi.
Makin hormatlah orang pada Imam Awang.
Pada suatu
ketika Negeri Stabat sedang berperang. Oleh karena itu, dua orang panglima
Stabat mendatangi Imam Awang untuk mengajak berperang di pihak Stabat. Akan
tetapi, maksud sebenarnya dari mereka untuk menyingkirkan Imam Awang dari
Kampung Nangka yang pengaruhnya sudah sangat besar. Ajakan kedua Panglima
Stabat itu Imam Awang tolak dengan lembut.
Beberapa waktu
kemudian, datang lagi lima orang panglima Negeri Stabat. Diantaranya Panglima
Wan Patah dan Aja Rangi. Mereka kembalai mengajak Imam Awang untuk berperang
membantu mereka. Tapi kembali Imam Awang tolak dengan lembut dan baik-baik.
Tidak lama
kemudian datang lagi, Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Imam Awang kembali
menolak dan kedua panglima itu marah. Lalu menantang Imam Awang untuk
bertanding ilmu silat. Permintaan keduanya dilayani. Pertama satu lawan satu,
kemudian dua lawan satu tapi Imam Awang tetap menang. Wan Patah mencabut klewangnya
dan Aja Rangi mencabut kerisnya. Tapi keduanya kembali kalah.
Imam Awang
berhasil menawan keduanya dengan melipat tangan mereka ke belakang. “Ku
patahkan tangan kalian, atau kalin berdamai baik-baik.” Kata Imam Awang. Keduanya
kemudian cepat-cepat menyerah. Mereka menyatakan ingin berguru pada Imam Awang.
Tapi dengan syarat kata Imam Awang. Pertama mereka tidak boleh berperang lagi
di pihak Stabat. Kedua, mereka harus menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan
perang.
Belajarlah
keduanya dengan Imam Awang ilmu silat. Setelah selesai keduanya menepati janji
mereka dulu. Mereka mempengaruhi semua orang Negeri Stabat untuk tidak lagi
berperang. Akan tetapi usaha mereka kurang berhasil karena tidak semua orang
dapat dipengaruhi.
Bertahun-tahun
di Kampung Nangka warganya jadi taat beragama. Pengaruh Imam Awang yang taat dan
menjadi teladan warga Kampung Nangka. Imam Awang menikahi dua orang wanita di
Kampung Nangka, bernama Mas dan Kwang. Anak-anak dari kedua istrinya juga
banyak semuanya tinggal di Kampung Nangka. Sedangkan anak-anaknya yang dia bawa
dari Kedah, tinggal di Kampung Hinai, beranak dan bercucu.
Kuburan Imam Awang dijumpai di Kampung Nangka di tepi sungai. Kuburan Imam Awang dianggap warga kuburan keramat. Banyak orang datang memohon sesuatu kesana. Seiring waktu, dengan adanya dakwa dan penerangan agama dilanjutkan berkembangnya sekolah-sekolah. Warga semakin pintar dan mengerti hukum syirik dan syariat Islam. Sehingga perhatian orang tidak lagi tertuju pada Kuburan Imam Awang. Sekarang kuburan Imam Awang sudah tidak terawat dengan baik.
Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra
Palembang, 23
November 2020.
Sumber.
Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu
Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987. Informan
cerita bernama M. Ridwan, lahir di Binjai tahun 1926 seorang guru SMP,
berbahasa Melayu.
Sy. Apero Fublic.
0 comments:
Posting Komentar