Minggu, 22 November 2020

Legenda Imam Awang: Langkat.

Jurnal Apero Fublic.- Alkisah tersebutlah cerita Imam Awang. Dia merantau bersama tiga anaknya ke Kampung Tapak Kuda di daerah Langkat. Imam sendiri seorang laki-laki setengah baya dan tiga anaknya, dua laki-laki satu perempuan. Anak laki-laki bernama Abdurrasyid dan Hasim, dan perempuan bernama Halimah.

Imam Awang berasal dari Kedah di tanah Semenanjung Melayu. Dengan menumpang sebuah perahu (sagor) menyeberanglah dia ke pulau Sumatera. Imam Awang pergi dari tanah kelahirannya di Kedah karena ingin melupakan musibah yang menimpa keluarganya. Istri Imam Awang meninggal dunia, merupakan kesedihan besar bagi dirinya dan ketiga anaknya. Itulah kisah mengapa dia sampai ke Kampung Tapak Kuda di Langkat.

Sesampai di Kampung Tapak Kuda, datanglah Imam Awang ke rumah Penghulu. Karena hari sudah sore, dan tidak tahu kemana untuk bermalam bersama anak-anaknya. Maka dia menumpang bermalam di rumah Pak Penghulu. Dengan senang hati, Penghulu menerima keluarga Imam Awang.

Dari Kampung Tapak Kuda, Imam Awang melanjutkan perjalanan ke hulu. Sesampai di daerah Bubun, dia melihat banyak sampan besar tertambat di bagan. Orang pun sangat banyak di sana, sangat ramai sepertinya sudah terjadi sesuatu di sana.

Imam Awang merasa tertarik, kemudian dia bertanya pada salah satu warga. “Apa yang terjadi, sehingga orang begitu ramai?.” Tanya Imam Awang. “Sultan dan Keluarga sedang berada di kampung kita ini, karena daerah Langkat sudah dimasuki musuh.” Jawab warga itu.  Dia melanjutkan kata-katanya. “Sultan Langkat akan menguasai Kampung Pusung.” Karena Negeri sedang berperang dinasihatinya Imam Awang agar berhati-hati. Jangan banyak bercerita karena mungkin bisa membahayakan diri.

Imam Awang mengucapkan terima kasih, lalu dia melanjutkan perjalanan ke hulu. Sampailah dia ke Kampung Hinai. Di suatu tempat, ditepi sungai dia melihat banyak orang berkumpul. Karena mengingat nasihat warga di kampung Bubun, maka Imam Awang terus saja mengayu perahu. Tidak banyak berbicara atau tidak bertanya-tanya. Akan tetapi banyak orang memanggilnya dan meminta mereka berhenti. Imam Awang menepi sungai, lalu berhenti dan naik ke daratan setelah menambatkan perahunya.

Di sebuah rumah besar banyak orang berkumpul. Ada yang bercerita biasa, ada juga yang berkata-kata dengan wajah serius sekali. Di sisi lain sekitar itu, ada sekelompok anak muda dengan kesibukan lain. Mereka sedang mengasah senjata tajam, seperti parang, lembing, tombak. Imam Awang dan tiga anaknya dibawa orang naik ke rumah.

Dia melihat banyak orang berbadan tegap dan tinggi besar. Ada seorang yang paling gagah perkasa diantaranya. Wajahnya penuh jambang dan janggut. Rupanya dialah Datuk Kampung Hinai, yang dijuluki Datuk Janggut. Kepada Datuk Hinai itulah Imam Awang dan ketiga anaknya di hadapkan.

“Hai, orang yang baru datang, siapakah namamu, dari mana dan hendak kemana gerangan kalian?.” Tanya Datuk Janggut pada Imam Awang. Lalu Imam Awang menjawab. Dijawab semua pertanyaan itu oleh Imam Awang dengan penuh hormat dan sopan. Kemudian dia meminta diperbolehkan menjadi penduduk Kampung Hinai.

Datuk Janggut mengizinkan Imam Awang menjadi penduduk Kampung Hinai. Tetapi dengan syarat, Imam Awang bersedia membantu Kampung Hinai karena sedang terlibat perang dengan musuh. Akhirnya disetujui syarat itu, dan tugas Imam Awang mengajari penduduk ilmu keislaman. Sambil turut serta menjaga Kampung Hinai. Berhubungan keadaan tidak aman.

Sebagai guru agama Imam Awang mendapat banyak murid. Akan tetapi dia masih belum puas dengan keadaannya. Dia ingin pindah lagi dari sana menuju ke hulu sungai. Berjalanlah dia pergi ke hulu sungai, bersama tiga anaknya. Karena hari baru selesai hujan dan jalan licin. Di sebuah tempat Imam Awang tergelincir dan terjatuh kedalam sawah penduduk. Kebetulan pemilik sawah berada disekitar itu. Melihat padinya banyak yang rusak, patah-patah tertimpa tubuh Imam Awang. Membuat si pemilik sawah marah.

Imam Awang meminta maaf dan orang itu tidak mau memaafkan, sehingga terjadi keributan. Di bawalah Imam Awang ke hadapan beberapa orang. Mereka bersepakat mempersalahkan Imam Awang. Kemudian beberapa orang mulai memukul dan menerjang. Imam Awang masih sabar, tetapi perlakuan mereka semakin menjadi-jadi. Sehingga Imam Awang menjadi naik darah. Kemarahannya dia hantamkan pada sebatang pohon pinang. Sehingga semua buahnya jatuh berguguran.

Melihat itu, semua orang yang mengeroyok sadar kalau yang mereka hadapi bukan orang sembarangan. Mereka akhirnya meminta maaf dan pemilik padi juga meminta maaf. Imam Awang memaafkan semuanya dan untuk pemilik padi dia doakan agar tumbuh lagi dengan subur. Beberapa hari kemudian padi yang rusak itu, tumbuh kembali dengan subur. Setelah itu, Imam Awang menetap di Kampung Nangka. Pekerjaan sama, menjadi guru agama Islam seperti di Kampung Hinai.

*****

Datanglah musim menugal padi di ladang. Sebelum dilaksanakan dilakukan dengan membuat bubur Tik-tik. Dinamakan demikian karena proses membuatnya melalui saringan tempurung kelapa yang dilubangi. Karena jatuhnya tepung beras berbunyi tik-tik. Akan tetapi nama tik-tik dihubungi dengan harapan di hati penduduk petani agar hujan turun dari langit yang juga tik-tik. Sehingga padi akan tumbuh subur.

Kepada penduduk diajarkan Imam Awang cara-cara yang harus dilakukan agar tanaman padi berhasil dan baik. Di ladang itu mula-mula dibuatnya sebuah perigi bersegi empat. Atau seluas satu meter berbentuk bujur sangkar. Ditengah galian yang seluas satu meter bujur sangkar, dibuat lukisan Tapak Nabi Sulaiman dan diletakkan tepung tawar.

Sesudah itu, dimulainyalah menugal sebanyak tujuh lubang dan diisinya padi. Lalu Imam Awang membacakannya jampi-jampi. Kemudian tanaman padi tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan banyak buah padi. Makin hormatlah orang pada Imam Awang.

Pada suatu ketika Negeri Stabat sedang berperang. Oleh karena itu, dua orang panglima Stabat mendatangi Imam Awang untuk mengajak berperang di pihak Stabat. Akan tetapi, maksud sebenarnya dari mereka untuk menyingkirkan Imam Awang dari Kampung Nangka yang pengaruhnya sudah sangat besar. Ajakan kedua Panglima Stabat itu Imam Awang tolak dengan lembut.

Beberapa waktu kemudian, datang lagi lima orang panglima Negeri Stabat. Diantaranya Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Mereka kembalai mengajak Imam Awang untuk berperang membantu mereka. Tapi kembali Imam Awang tolak dengan lembut dan baik-baik.

Tidak lama kemudian datang lagi, Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Imam Awang kembali menolak dan kedua panglima itu marah. Lalu menantang Imam Awang untuk bertanding ilmu silat. Permintaan keduanya dilayani. Pertama satu lawan satu, kemudian dua lawan satu tapi Imam Awang tetap menang. Wan Patah mencabut klewangnya dan Aja Rangi mencabut kerisnya. Tapi keduanya kembali kalah.

Imam Awang berhasil menawan keduanya dengan melipat tangan mereka ke belakang. “Ku patahkan tangan kalian, atau kalin berdamai baik-baik.” Kata Imam Awang. Keduanya kemudian cepat-cepat menyerah. Mereka menyatakan ingin berguru pada Imam Awang. Tapi dengan syarat kata Imam Awang. Pertama mereka tidak boleh berperang lagi di pihak Stabat. Kedua, mereka harus menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan perang.

Belajarlah keduanya dengan Imam Awang ilmu silat. Setelah selesai keduanya menepati janji mereka dulu. Mereka mempengaruhi semua orang Negeri Stabat untuk tidak lagi berperang. Akan tetapi usaha mereka kurang berhasil karena tidak semua orang dapat dipengaruhi.

Bertahun-tahun di Kampung Nangka warganya jadi taat beragama. Pengaruh Imam Awang yang taat dan menjadi teladan warga Kampung Nangka. Imam Awang menikahi dua orang wanita di Kampung Nangka, bernama Mas dan Kwang. Anak-anak dari kedua istrinya juga banyak semuanya tinggal di Kampung Nangka. Sedangkan anak-anaknya yang dia bawa dari Kedah, tinggal di Kampung Hinai, beranak dan bercucu.

Kuburan Imam Awang dijumpai di Kampung Nangka di tepi sungai. Kuburan Imam Awang dianggap warga kuburan keramat. Banyak orang datang memohon sesuatu kesana. Seiring waktu, dengan adanya dakwa dan penerangan agama dilanjutkan berkembangnya sekolah-sekolah. Warga semakin pintar dan mengerti hukum syirik dan syariat Islam. Sehingga perhatian orang tidak lagi tertuju pada Kuburan Imam Awang. Sekarang kuburan Imam Awang sudah tidak terawat dengan baik.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 23 November 2020.
Sumber. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987. Informan cerita bernama M. Ridwan, lahir di Binjai tahun 1926 seorang guru SMP, berbahasa Melayu.

Sy. Apero Fublic.

0 comments:

Posting Komentar