Pada zaman
dahulu kalah di Desa Lebaksiu hiduplah sepasang pengantin baru yang baru saja selesai
melangsungkan pernikahan. Keluarga kecil itu menempati sebidang tanah yang cukup
luas, dan terdapat rumah sederhana. Oleh warga keduanya terkenal ramah, suka
menolong orang. Kehidupan keduanya menjadi teladan bagi warga. Segala suatu dimusyawarahkan
dengan tetangga sehingga tidak pernah berselisih atau pun bertengkar.
Penghidupan mereka
dari hasil mengusahakan tanah yang diberikan orang tua mereka. Lalu di tanam dengan jagung, kacang tanah, berbagai jenis sayuran-mayur, dan lainnya. Saat panen keduanya memberikan
sebagian hasil panen pada warga yang miskin, orang tua-tua. Kemudian hasil kebun
lagi mereka jual ke pasar.
*****
Seperti biasa,
di pagi hari berangkatlah suaminya ke ladang membawa alat pertanian, cangkul
dan arit. Beberapa saat sampai, sebab ladang tidak begitu jauh dari desanya.
Siang hari beristirahat, istrinya datang mengantarkan air minum dan makan
siang. Di sore hari pulang, dan istrinya menyambut dengan senyum kasih sayang.
Setelah selesai mandi dan makan mereka beristirahat, duduk bersama-sama
berbincang-bincang. Secangkir kopi panas disediakan sang istri. Begitulah
kehidupan keluarga kecil itu, yang tenteram dan bahagia.
Pada suatu
hari, petani bekerja di ladangnya seperti biasa. Mengolah tanah, membersihkan
semak dan rerumputan yang selalu tumbuh. Keringat bercucuran membuat tubuhnya
bermandi keringat. Kali ini dia mengerjakan di pinggiran ladangnya. Mengolah
tanah siap untuk ditanami kembali. Waktu itu, saat sedang bekerja matanya tidak
sengaja melihat benda berkilauan dibawah semak-semak.
Kemudian
dengan penasaran dia amati dengan seksama. Ternyata benda tersebut adalah
sebutir telur. Tanpa pikir panjang dia melangkah mengambil telur itu. Dia ingin
sekali menyenangkan istrinya. “Lebih baik aku rebus sekarang telur ini, untuk
makan malam,” pikir petani itu. Kemudian dia melangkah ke pondok istirahat di
tengah ladangnya. Merebus telur sambil istirahat, setelah telur masak dia
kembali bekerja.
Sinar mentari
terus bertambah panas menuju tengah hari. Kembali si Petani beristirahat dan
duduk dibawah pohon rindang, berangin. Seperti biasa, istrinya datang dengan
membawa makanan dan air minum dengan wadah bakul. “Sudah lama istirahatnya,
Kanda?.” Tanya istrinya seraya tersenyum manis. Si Petani tersenyum dan dia
menjawab kalau dia baru saja beristirahat. Lalu istrinya duduk di sisinya dan
meletakkan bakul makanan. Kemudian si Petani mengambil telur yang dia rebus
tadi di pondoknya. Istrinya juga gembira suaminya mendapat banyak telur. Makanan
dihidangkan dan keduanya makan bersama dengan lahap. Sebab telur yang direbus
suaminya begitu enak dan lezat. Sambil makan keduanya bercakap-cakap gembira.
“Adinda, kita
harus berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikan banyak nikmatnya, dan
kebahagiaan kepada kita. Karena itulah, kita akan mengolah tanah dengan baik
sebagai tanda syukur kita. Lalu banyak bersedekah atas rezeki yang dilimpahkan
pada kita.
“Benar Kanda,
rasa syukur tidak hanya diucapkan, tapi dibuktikan dengan tindakan. Aku juga
selalu merasa bahagia atas anugerah Tuhan.” Jawab sang Istri, lalu dia
melanjutkan. “Hari ini, aku tidak langsung pulang. Mau membantu pekerjaan
kakanda, agar ladang cepat dapat ditanami lagi.” Suaminya mengiakan dan
tersenyum bahagia. Istri yang setia dan berbakti padanya.
Makan selesai,
dan lelah telah hilang mereka bekerja kembali. Ladang mereka kerjakan, ranting
dikumpulkan dan dibakar oleh istrinya. Tanah diolah dan dibersihkan sehingga
siap tanam. Saat keduanya sedang bekerja. Terdengar senandung lagu-lagu
mengiringi pekerjaan mereka. Namun keduanya terus bekerja tanpa peduli.
“Adinda,
kenapa badanku terasa panas sekali.” Kata si Petani.
“Istirahat
Kanda, mungkin karena terlalu keras bekerjanya.” Jawab istrinya seraya membakar
tumpukan rerantingan kering. “Istirahatlah di bawah pohon yang teduh, dan
rindang.” Lanjut istrinya. Beberapa saat kemudian istrinya juga mengeluh karena
juga kepanasan. Petani kemudian melambaikan tangan meminta istrinya juga
istirahat di dekatnya. Saat istrinya sudah duduk di sisinya beristirahat juga.
“Ada apa ini,
tubuhku kepanasan dan tubuh adinda juga ikut kepanasan.” Petani ini berkata
sambil bertanya-tanya. Istrinya hanya berkata entahlah, dan tubuh keduanya
bertambah panas. Karena tidak tahan lagi kedua suami istri itu pergi ke sungai
yang tidak jauh dari ladangnya. Saat tiba di sungai suaminya lebih dulu langsung
masuk sungai dan mandi sepuas-puasnya. Istrinya yang bersiap-siap untuk mandi
tidak menoleh ke arah suaminya.
Saat hendak
masuk kedalam sungai, istrinya sekilas menoleh kearah suaminya yang mandi
terlebih dahulu tadi. Istri petani itu terkejut bukan kepalang. Dia melihat
seekor ular naga besar sedang berenang-renang mandi. Istrinya terkejut bukan
kepalang dan dia berlari menjauh. Dia berpikir pastilah suaminya tadi telah
dimakan oleh ular naga itu. Lalu dia berlari menjauh ketakutan. Saat berlari,
ada suara memanggilnya, suaranya dia kenal.
“Adinda,
istriku janganlah kau takut dan terkejut. Aku adalah suamimu yang telah berubah
wujud menjadi ular naga.” Kata ular naga itu, lalu dia berenang ke tepian menuju
istrinya. Lalu istrinya bertanya dengan penuh heran dan rasa tidak percaya. “Benarkah
kau suamiku, mana mungkin?.
“Benar
istriku, tercinta. Telur yang aku rebus tadi ternyata adalah telur Naga Sakti.
Karena memakan telur itu, maka wujud ku berubah menjadi Ular Naga. Demikian
dengan dirimu, Istriku. Juga akan berubah menjadi ular naga seperti aku. Ini
sudah menjadi takdir Tuhan semesta alam.” Jelas suaminya dengan penuh rasa
penyesalan. Air mata istrinya meleleh dan dia sangat bersedih melihat wujud
suaminya sekarang. Badan istrinya terus bertambah panas dan dia sudah tidak
tahan lagi. Maka dia pun menceburkan diri kedalam sungai. Bersamaan dengan itu,
wujudnya juga berubah menjadi ular naga betina.
*****
Keesokan harinya,
tetangganya merasa aneh karena kedua suami istri tidak pulang dan tidak
dirumah. Maka mereka memberitahu hal tersebut pada orang tua petani itu.
Mengetahui anak dan menantunya tidak ada di rumah dan tidak pulang semalam.
Maka ayah petani itu pergi ke ladang anaknya untuk mengetahui keadaan anak dan
menantunya.
Sesampai di ladang
anaknya, dia mencari-cari. Memanggil-manggil, menengok kedalam pondok di tengah
ladang lalu berkeliling disekitar ladang. Ayah petani itu berpikir mungkin
anaknya mandi di tepian mandi, di sungai yang tidak jauh dari ladang. Sampai
di tepian mandi biasa, dia melihat tumpukan pakaian anaknya. Tidak jauh dia juga
menemukan tumpukan pakaian wanita, pastilah pakaian menantunya.
Ayah petani
itu, kemudian memanggil-manggil nama anak dan nama menantunya bergantian. Namun
tidak ada sahutan, suasana tetap sunyi. Ayah petani itu, ingin segera kembali
dan berbalik pulang. Dia pikir harus mengerahkan warga untuk mencari anak dan
menantunya. Dia khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Baru saja dia
berbalik, tiba-tiba ada suara memanggil. Dia mengenali suara anaknya, dan
berbalik. “Ayah, Ayah.”
Petani itu
berbalik, betapa terkejutnya dia saat melihat dua ekor ular naga berenang
menuju kearah-nya. Hampir dia berlari dan juga sangat ketakutan. “Ayah, aku anak
dan menantumu yang kau cari-cari. Kami telah berubah wujud menjadi ular naga.
Karena telah memakan telur Naga Sakti kemarin siang.” Jelas ular naga besar
itu. Istri petani juga mengiakan. Ayah petani itu mengenali suara anak dan
menantunya. Ayah petani itu akhirnya percaya, lalu dia berkata.
“Wahai kedua
anakku, tidak ada yang harus disesali. Karena jalan hidup manusia sudah
ditakdirkan oleh yang maha kuasa. Jika takdirmu berubah menjadi ular naga, maka
kalian harus menerimanya dengan ikhlas.” Kata ayah petani itu. Keduanya
mengangguk dan menerima dengan relah takdir hidup mereka. Kemudian entah apa
yang terjadi, sebuah pendengaran ayah petani itu terngiang di telinganya.
Kemudian dia menyampaikan pendengarannya pada anak dan menantunya yang sudah
berubah menjadi ular naga.
“Anakku, Tuhan
yang maha esa tidak mengizinkan kalian beranak atau berketurunan. Maka kalian
harus hidup berpisah satu sama lain. Jangan kalian bertemu sebelum akhir zaman.
Anakku, sekarang namamu aku ganti menjadi Si Grinsing. Sedangkan kau menantuku,
aku ganti namamu menjadi Si Kasur. Menantuku Si Kasur, sekarang kau pindahlah
ke Sungai Gumber. Anakku Si Grinsing, pindahlah ke Kubang Gayam di Gunung
Clirit. Ingat pesanku baik-baik, jangan melanggar semua yang aku sampaikan.
Kalau kalian melanggar akan mendapat hukuman Tuhan secara langsung. Semoga
Tuhan mengampuni segala dosa-dosa kalian.” Kata Ayah petani itu.
Beberapa waktu
berlalu tentu rasa rindu Si Grinsing pada istrinya terus bertambah. Ingin sekali
menemui istrinya, tapi ingat pesan ayahnya. Dia tidak ingin melanggar nasihat
orang tuanya. Tapi suatu hari, rasa rindu sudah tidak tertahan lagi. Kemudian
Si Grinsing berusaha melihat istrinya dengan cara menegakkan kepalanya
tinggi-tinggi. Tapi sebelum dapat melihat istrinya, dia tersambar petir di
matanya. Karena luka pada mata Si Grinsing membuat Kali Gung yang bermata air
dari Gunung Clirit. Pernah airnya mengalir merah bercampur darah.
Demikian kisah sepasang suami istri karena kesalahan keduanya dikutuk menjadi ular naga besar. Sampai sekarang, terdapat tradisi larangan memakai kain motif Grinsing. Karena motif tersebut akan menyamai pakaian-pakaian Si Grinsing. Kecamatan Balapulang, Jawa Tengah.
0 comments:
Posting Komentar