Selasa, 24 November 2020

Legenda Syeh Jangkung: Jawa Tengah

Jurnal Apero Fublic.- Pada zaman dahulu di tepi sungai di daerah Kota Kudus bermukimlah seorang Kyai bernama Ki Gede Keringan, bersama istri dan anak perempuannya, bernama Ni Branjung. Kehidupan Ki Gede Keringan tidak kekurangan suatu apa pun segala keperluan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan bekerja bercocok tanaman di sawah dan hasil kebun duriannya. Istrinya pun sangat setia mendampingi Ki Gede Keringan dalam penghidupannya sehari-hari. Begitu juga anaknya Ni Brunjung juga berbakti pada kedua orang taanya.

Diam-diam Ki Gede Keringan dan istrinya menyimpan suatu keinginan. Keduanya memimpikan mendapat seorang anak laki-laki. Sudah lama sekali keinginan itu tersimpan di dalam hati mereka. Sehingga keduanya tidak pernah lelalh berdoa dan berusaha. Setiap hari setelah sholat keduanya berdoa dan berzikir memuji kebesaran Allah SWT.

Doa yang sungguh-sungguh itu terkabulkan akhirnya. Suatu malam Ki Gede Keringan bermimpi bertemu dengan Sunan Kalijaga. Salah satu dari Wali Sembilan penyebar Islam di Tanah Jawa. Anak tersebut adalah putra Sunan Muryo dengan istrinya Dewi Samaran. Sunan Kalijaga berpesan agar anak itu dijaga baik-baik.

Waktu terbangun dari tidur, benarlah apa yang terjadi di dalam mimpinya. Seorang bayi laki-laki dengan tangis yang keras sekali terdengar di dalam rumahnya. Di gendongnya bayi itu, lalu membangunkan istrinya. Istrinya melihat Ki Gede Keringan menggendong bayi dibalut kain kesemekan. Ki Gede kemudian menceritakan mimpinya, barulah istrinya mengerti. Kelak kain tersebut menjadi senjata bayi itu, ketika dia sudah dewasa nanti.

Dengan penuh kasih sayang, suami istri itu membesarkan bayi itu. Mereka beri nama, Saridin. Rasa syukur juga mereka panjatkan pada Allah SWT. Saridin cepat tumbuh besar dan menjadi teman bermain kakaknya, Ni Branjung. Keduanya menjadi saudara yang akrab dan saling mengasihi. Keduanya didik dengan baik tentang ilmu agama Islam.

Bagi Saridin sendiri semua ilmu yang diturunkan padanya dapat dipelajari dengan mudah. Saridin berkembang menjadi pemuda yang cerdas dalam segala hal. Selain itu, Saridin menjadi orang yang sakti dan kebal senjata. Seiring waktu berjalan dengan cepat, dalam usia lanjut Ki Gede Keringan meninggal dunia, tidak berapa lama disusul istrinya juga.

Ni Branjungan dan Saridin oleh orang tuanya diwarisi berupa pohon durian. Keduanya setuju untuk membagi uang hasil penjualan panen buah durian tersebut. Hasil kebun durian cukup untuk biaya hidup mereka. Sehingga tenang kehidupan Ni Branjung dan Saridin tidak pernah terjadi sengketa dan perselisihan.

Ketenangan keduanya mulai berubah, saat suami Ni Branjung mulai memperlihatkan keserakahannya. Suami Ni Branjung tidak suka apabila hasil penjualan durian dibagi sama rata dengan Saridin. Dia ingin menguasai semua warisan mertuanya tanpa memberi sedikit pun pada Saridin.

Mulai setiap hari dia membujuk Ni Branjung untuk menipu Saridin. Agar tidak mendapat bagian dari hasil penjualan durian. Pada awalnya Ni Branjung tidak setuju, tapi karena dibujuk setiap hari, menurut juga akhirnya.

Ni Branjung mengusulkan pada Saridin. Durian yang jatuh pada malam hari adalah miliknya. Sedangkan yang jatuh di siang hari milik Saridin. Saridin setuju, walau dia tahu durian tidak begitu banyak jatuh di siang hari. Saridin dapat menduga, yang punya akal buruk pastilah suami Ni Branjung. Memang sejak pernikahan Ni Branjung, suaminya menampakkan keserakahan. Tapi Saridin tetap menjaga hubungan baik dengan kakaknya, Ni Branjung. Sehingga dia setuju dengan usul itu.

Pada malam hari, Saridin bersemadi dan berdoa pada Allah SWT. Dia memohon agar durian tidak jatuh di malam hari, tapi hanya jatuh di malam hari. Allah mengabulkan permintaannya. Dengan demikian durian-durian jatuh di siang hari. Menjadi milik Saridin sesuai perjanjian. Melihat kejadian itu, suami Ni Branjung tidak senang.

Kemudian kembali suami Ni Branjung membujuk istrinya untuk menukar perjanjian. Kemudian Ni Branjung membicarakan pada Saridin. Untuk menukar waktu jatah durian lagi. Yang jatuh siang milik Ni Branjung dan yang jatuh malam milik Saridin, dia setuju.

Sekali lagi Saridin bersemadi dimalam hari, berdoa pada Allah dan doanya dikabulkan. Kembali doa terkabulkan, dan durian kembali jatuh di malam hari. Suami Ni Branjung menjadi sangat kecewa dan menjadi penasaran. Dia berpikir tukar waktu bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan semua durian. Maka dia cari lagi cara untuk mendapatkan semua durian.

Setelah berpikir sejenak, suami Ni Branjung mendapatkan ide. Dia ingin menakuti-nakuti Saridin pada malam hari dengan memakai pakaian menyerupai harimau. Pastilah Saridin takut memungut durian di malam hari. Karena Saridin pasti akan berlari ketakutan.

Seperti biasa, malam harinya Saridin pergi untuk memungut durian. Senjata sakti berupa kain kasemekan tidak lupa dia bawa. Saat sedang memungut buah durian berserakan, dia mendengar suara harimau mengaum di bawa salah satu pohon durian. Tanpa pikir panjang Saridin melempar senjata kain kesemekan ke arah harimau. Harimau itu, tewas seketika terkena senjata Saridin.

Keesokan harinya, gemparlah tetangga Ni Branjung. Karena suami Ni Branjung telah tewas, yang celakanya dibunuh oleh Saridin. Ni Branjung sangat sedih, tapi dia juga mengerti. Kalau suaminya yang salah dengan menyamar menjadi harimau untuk menakuti Saridin. Seandainya Saridin tahu kalau itu perbuatan suaminya, pasti Saridin tidak akan melakukannya. Saridin tidak sengaja, sehingga Ni Branjung mengiklaskan dan itu adalah kehendak Allah.

Pada awalnya cerita kematian suami Ni Branjung hanya diketahui tetangganya. Lama kelamaan diketahui seluruh desa. Kemudian sampailah cerita kematian itu ke Bupati Pesantenan, Pati. Bupati mendengar kalau Saridin telah membunuh orang. Maka dia memanggil Saridin menghadap, untuk menjelaskan perkara itu. Hukum harus di tegakkan seadil-adilnya. Sidang perkara Saridin dilakukan, dan hasil putusan hakim Saridin dihukum mati.

Saridin menolak hukuman, dia merasa tidak membunuh manusia. Dia membunuh harimau yang mengganggunya. Tapi Saridin tetap mengikuti atas hukuman gantung. Saat dibawa ke tiang gantungan, saridin tidak takut dan dia biasa saja, bahkan tersenyum.

Rakyat, Bupati dan para pembesar hadir untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung Saridin. Saat hukuman gantung dilaksanakan, anehnya Saridin tidak merasa sakit sedikit pun. Tidak mati seperti manusia biasanya.

Mengetahui itu, Bupati mengakui kesaktian Saridin. Dia tidak dapat dihukun gantung. Kemudian dia diturunkan dari tiang gantungan. Bupati mencari akal untuk menghukum Saridin. Lalu Saridin dia persilahkan di rumah besar berjeriji besi. Saridin tidak betah terkurung di dalam rumah besar itu. Lalu dia hancurkan salah satu jeruji besi dengan senjata saktinya, kain kesemekan. Lalu dia pergi meninggalkan rumah itu.

Saridin tidak langsung pulang ke rumah. Tapi dia menuju pesantren Sunan Kudus  dan diterima menjadi murid dengan senang hati oleh Sunan Kudus. Saridin sering memperlihatkan kesaktiannya, seperti mengambil air dengan keranjang. Sunan Kudus marah, sebagai seorang murid tidak diperbolehkan bersifat sombong. Saridin tidak berubah atas nasihat Sunan Kudus. Bahkan semakin menjadi-jadi.

Saridin kemudian bersembunyi di lobang jamban. Ketika Nyi Sunan Kudus pergi buang air besar. Tertawalah Saridin sambil keluar berkubang kotoran manusia. Sunan Kudus murka, maka dia kejar Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Saridin berlari terus dan terus sampailah dia di sebuah sungai, lalu menceburkan diri.

Saat Sunan Kudus tiba di sana. Saridin keluar dari sungai dan melarikan diri. Secara aneh tempat itu tercium bau busuk (bacin dalam bahasa Jawa). Tempat itu, kemudian hari menjadi sebuah desa yang bernama Desa Bacin. Saridin berlari ke arah Barat. Sunan Kudus mengejar dan tiba di suatu tempat.

Tanpa sengaja Sunan Kudus dan Pengawalnya menginjak-injak pekarangan yang baru dibuat, dan rusak. Tempat itulah kemudian dikenal sekarang dengan nama, Karanganyar. Nama Karanganyar berasal dari kata pekarangan yang baru dibuat.

Sunan Kudus kembali mengejar Saridin ke arah selatan. Saridin berlari dan sampai di suatu tanggul dan dia beristirahat. Di tanggul itu, Saridin menyerang Sunan Kudus dengan cara mendatangkan angin deras. Tapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus. Banyak pengawal Sunan Kudus yang terjatuh dan tercerai berai. Tempat itu kemudian terkenal dengan nama, Tanggul Angin.

Saridin kemudian melarikan diri dan tiba di suatu tempat ia bersembunyi diatas pohon Cangkringan yang tinggi. Tidak berapa lama Sunan Kudus datang dan dia melihat. Saridin kemudian turun dan melarikan diri lagi. Tempat itu kemudian dinamakan Desa Cangkringan. Di ambil dari nama pohon Cangkringan.

Saridin terus melarikan diri, dengan tubuh masih berbau kotoran manusia. Sampailah dia di sebuah pasar lalu masuk ke dalam kerumunan orang di pasar. Orang-orang di dalam pasar menjadi bubar karena melihat Saridin dalam keadaan seperti itu, busuk. Sunan Kudus melihat orang di pasar yang buyar. Lalu berkata orang di pasar buyar. Kemudian nama pasar itu menjadi, Pasar Buyaran asal kata buyar.

Melihat Sunan Kudus sudah datang lagi. Saridin kembali melarikan diri. Badan Saridin yang besar dan tinggi dapat terlihat oleh Sunan Kudus diantara kerumunan orang-orang. Sunan Kudus tidak lagi mengejar Saridin. Dia hanya berdoa agar saridin menjadi orang yang baik dan selalu dijalan kebenaran. Sunan Kudus kemudian menjuluki Saridin dengan, Syeh Jangkung. Karena badannya tinggi besar atau jangkung dan pandai segala ilmu.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra
Sumber: Cerita Rakyat Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Sy. Apero Fublic.

0 comments:

Posting Komentar