Dijuluki dengan Busuk Kepala Labu karena pemuda itu sangat pandai berkelakar atau membual. Dia
juga cerdik mengakali orang-orang. Walau demikian, dia tidak pernah berbuat
berbuah tercelah dan melanggar hukum. Di daerah itu, terdapat pasar yang ramai
dan pelabuhan kapal besar.
Suatu hari,
Sultan membangun rumah di daerah tinggal, Busuk Kepala Labu. Suatu hari Sultan
berjalan-jalan di desa Busuk Kepala Labu. Dia menemukan keadaan keluarga dan
Busuk Kepala Labu yang sangat memprihatinkan. Penghasilan dari menjual kayu
bakar tidak mencukupi, selain makan sehari-hari. Karena merasa kasihan dan
ingin membantu kehidupan Busuk Kepala Labu. Baginda Sultan mempekerjakannya di
rumah kediaman Sultan.
Setelah
beberapa lama bekerja, putra dan putri sultan juga kasihan. Di kediaman sultan
menetap putri bungsunya yang belum menikah. Dia bermaksud membatu Busuk Kepala
Labu mendapatkan uang lebih. Suatu hari, dimintalah Busuk Kepala Labu membeli
perbekalan alat menyirih.
Kemudian putri
meracik sirih untuk dijual kembali kepada warga di pasar. Satu racikan sirih
sehat itu, seharga satu sen sesuai apa yang diajarkan Putri Bungsu. Tapi, Busuk
Kepala Labu menaikkan harga penjualan. Awalnya dua sen, kemudian tiga sen satu
racikan.
Semua
anak-anak sultan, teman-teman Putri Bungsu dan lainnya merasa heran. Padahal
pembeli siri dagangan Busuk Kepala Labu orang-orang istana. Busuk Kepala Labu
tidak mengerti dibantu agaknya, atau dia memang sengaja karena tahu orang-orang
kaya itu yang menjadi pembeli. Suatu hari, daerah kesultanan itu kedatangan
kunjungan putra-putri sultan daerah seberang. Saat membeli ikat sirih, mereka
keheranan mengapa begitu mahal harganya.
“Mengapa kau
begitu mahal menjual seikat racik siri ini.” Tanya Putra Sultan Negeri Seberang
itu.
“Tidak,
tahukah kalau ini siri racikan Putri Bungsu Sultan negeri ini. Itulah mengapa
harganya mahal.” Kata Busuk Kepala Labu. Putra raja dan pengawalnya tidak
percaya, maka dia bertanya pada penduduk kota. Penduduk kota memberi tahu agar
jangan percaya pada Pemuda itu, karena dia seorang pembual. Tidak mungkin putri
Sultan mau menikah dengannya.
Tapi gosip
terlanjur menyebar dan tersampaikan ke Putri Bungsu.
Putri Bungsu
bukan main marahnya. Kemudian dia mencari Busuk Kepala Labu dengan amarah yang
meluap-luap. Mana mungkin dia mau menikah dengan orang seperti Busuk Kepala
Labu. “Dasar tidak tahu terima kasih, dibantu malah membuat gosip.” Gerutu
Putri Bungsu. Saat menjumpai Busuk Kepala Labu dia langsung marah dan mau
memukulnya.
Menyadari kalau
Putri Bungsu sangat marah. Busuk Kepala Labu melarikan diri, dan Putri Bungsu
mengejar. Sampai akhirnya Busuk Kepala Labu tiba di kantor pengadilan agama
Islam. Kemudian dia menemui kadi. “Ada apa kau ke kantor pengadilan ini, anak
muda?.” Tanya Kadi Kesultanan. Masih dengan nafas sesak dia berkata.
“Tuan Kadi, Putri
Bungsu baginda sultan mengejar saya memaksa menikah dengannya.” Kata Busuk
Kepala Labu, pada Tuan Kadi. Tuan Kadi yang mengerti syariat Islam dan hukum
adat. Tidak boleh bujang dan gadis berlarian berkejaran. Mungkin juga pikir
Tuan Kadi sudah terjadi sesuatu diantara mereka. Maka Tuan Kadi memutuskan
menikahkan Busuk Kepala Labu dan Putri Bungsu. Karena pengadilan memutuskan
demikian, tidak ada lagi yang dapat memprotes termasuk baginda Sultan.
Pulanglah
mereka berdua ke rumah kediaman Sultan. Tapi keduanya tidak sejalan karena
Putri Bungsu tidak mencintai dan menyukai Busuk Kepala Labu. Busuk Kepala Labu
kemudian berpikir bagaimana cara agar diterima tuan Putri. Suatu malam Busuk
Kepala Labu tidak bisa tidur. Karena dia tidur di luar, banyak nyamuk. Dia
merenung entah apa yang dia pikirkan.
“Tuttt..
Tuuttt...Tutttt. Tutttt... Tutttt... Tutttt,” Terdengar dua suara terompet
kapal layar besar yang akan berlabu di pelabuhan. Busuk Kepala Labu kemudian
berpikir keras tentang sesuatu. Kali ini, entah apa yang dia pikirkan.
Keesokan
harinya, Busuk Kepala Labu pergi ke pelabuhan dengan berteriak gembira dan
bahagia. Dari kediaman sultan dia berteriak-teriak kalau ada kerabatnya orang
kaya datang di pelabuhan. Kata-katanya didengar oleh Putri Bungsu dan
dayang-dayang. “Bang Ulung dan Bang Nga.
Sepanjang
jalan dia berteriak-teriak memanggil Bang Ulung dan Bang Nga. Sesampai di
pelabuhan dia berkata, ini kapal Bang Ulung. “Bang Ulung, apa kabarmu saudaraku.
Lama tidak jumpa dan aku merindukanmu. Pemilik kapal yang tidak kenal dan tidak
tahu menahu pada Busuk Kepala Labu menjadi kesal. Lalu dia meminta anak buahnya
melemparkan ke luar kapal. Sehingga Busuk Kepala Labu jatuh ke laut.
Dengan basah
kuyup dia kemudian naik ke kapal yang satunya. Kembali dia berteriak-teriak
memanggil-manggil. “Bang Nga, apa kabar saudaraku.” Pemilik kapal itu juga
kesal pada Busuk Kepala Labu yang diminta berhenti tidak berhenti. Bahkan Busuk
Kepala Labu berani memeluk saudagar kaya pemilik kapal. Oleh pengawalnya,
kembali dia dilemparkan keluar kapal dan jatuh ke laut.
Prajurit
kerajaan mencari Busuk Kepala Labu. Lalu membawa dia ke istana, dimana Sultan
dan pejabat sudah berada di istana untuk menjamu kedua saudagar kaya itu. Sultan
menyatakan pada kedua saudagar kalau Busuk Kepala Labu adalah menantunya.
Dinikahkan
oleh Kadi Kesultanan di pengadilan. Keduanya terkejut mendapati Busuk Kepala
Labu. Mereka kaget takut perbuatan di adukan oleh Busuk Kepala Labu kepada
sultan. Mereka pasti kena hukum apabila telah memperlakukan menantu raja tidak
sopan.
“Bang Ulung
dan Bang Nga, apa kabar?. Apa kalian tidak rindu dengan saudaramu ini.” Sapa
Busuk Kepala Labu. Keduanya akhirnya mengalah dan mengikuti kehendak Busuk
Kepala Labu. “Kabar baik saudaraku, bagaimana keadaan kamu. Kami sangat
bersyukur sekarang saudara kami menjadi menantu sultan.” Kata keduanya.
Seisi ruangan, Sultan, Pejabat Istana, dan Putri Bungsu menjadi terkejut. Tidak
menyangka kalau Busuk Kepala Labu adalah saudara saudagar kaya dan bangsawan
dari negeri seberang.
“Bagaimana, Apakah
peninggalan Pakcik dibagi rata dengan saudara-saudara.” Tanya Busuk Kepala
Labu. Keduanya terpaksa menjawab, karena sudah mengaku keluarga. Kalau
sandiwara ketahuan sultan, mereka bisa di penggal berani mempermainkan sultan.
“Iya, semua
mendapat bagian masing-masing.” Jawab yang satunya.
“Abang Nga,
apakah lahan perkebunan lada, gambir, dan tambang timah orang tua kita dulu
masih berjalan dengan baik.” Tanya Busuk Kepala Labu pada saudagar satunya.
Saudagar itu, kaget bukan main mendapatkan pertanyaan seperti itu yang
tidak-tidak. Tapi dia terpaksa menjawab dengan sandiwara juga. Takut Sultan
tersinggung dan akan mendapat kesulitan membuat menantu sultan marah.
“Alhamdulilah, saudaraku. Semua usaha orang tua kita masih menghasilkan dan
bertambah maju.” Jawab saudagar itu.
“Baiklah kalau
begitu, Alhamdulillah. Kalau kalian berdua tidak keberatan dengan harta
berlimpah itu. Berilah aku kekayaan di tanah rantau ini. Agar aku hidup lebih layak
di negeri rantau.” Kata Busuk Kepala Labu. Kedua saudagar itu kaget bukan main,
matanya melotot. Tapi mereka sedang berurusan dengan keluarga istana. Hal yang
sangat merepotkan apabila mereka marah. Maka keduanya mengiakan dan berjanji
memberikan harta yang banyak.
“Alhamdullilah,
kalian sesama keluarga sudah bertemu. Kami merasa bahagia mendapatkan menantu
keluarga bangsawan dan saudagar kaya. Mari, kita makan terlebih dahulu dan
setelah baru berbicara lagi.” Kata Sultan. Semua makan dengan lahap dan kekenyangan.
Putri Bungsu dan pejabat istana merasa takjub pada Busuk Kepala Labu. Tidak di
sangka pemuda miskin itu adalah keluarga bangsawan.
Sebelum
pulang, kedua saudagar itu memberikan banyak uang, emas, dan pakaian yang indah
dan bagus-bagus. Mereka terpaksa dan meminta maaf pada Busuk Kepala Labu atas
perbuatan mereka di kapal. Sehingga Busuk Kepala Labu dapat membeli rumah bagus
dan besar, berpakaian bagus, uang banyak dan dia membangun usaha juga.
Busuk Kepala Labu kemudian terkenal menjadi orang kaya dan anak bangsawan. Akhirnya Putri Bungsu menerima Busuk Kepala Labu dengan rela. Mereka tinggal di rumah mereka yang besar dan indah. Mereka hidup bahagia dan rukun selamanya.
0 comments:
Posting Komentar