Tujuh putra Datu
Selaparang memiliki wajah yang tampan semua, sama tampan. Datu Selaparang ingin
memiliki menantu sekarang. Dia mengingatkan kalau Datu Pujut saudaranya
memiliki seorang putri yang cantik. Sehingga Datu Selaparang bermaksud
menikahkan salah seorang putranya dengan anak Datu Pujut. Putri Mandalika
Nyale, sepupu anak-anaknya atau kemenakannya sendiri. Niatnya tersebut
dilaksanakan, maka Datu Selaparang mengirim utusan ke Datu Pujut.
“Hambah, diutus
oleh Datu Selaparang untuk menyampaikan amanah beliau. Datu hamba memiliki
tujuh orang putra dan dia ingin memiliki menantu sekarang. Dengan demikian,
Datu hamba ingin menjodohkan salah satu putranya dengan putri Tuanku, tuan Putri
Mandalika Nyale.” Kata utusan itu di hadapan Datu Pujut.
“Baiklah,
kalau begitu. Tapi aku tidak dapat memaksa untuk menikah. Oleh karena itu, ada
baiknya kita tanyakan langsung padanya. Karena dia yang akan menikah dan
menjalankan pernikahan. Terserah padanya keputusannya. Kalau dia mau saya
setuju saja, kalau dia tidak mau kita tidak bisa memaksa. Karena itu, perlu
ditanyakan padanya terlebih dahulu.” Jawab Datu Pujut.
Datu Pujut
kemudian memanggi Putri Nyale dan memberi tahu tentang lamaran dari Datu
Selaparang untuk putranya. Setelah mengerti maksud dan tujuan utusan itu akan
lamaran untuknya, Putri Nyale berkata. “Belum saya dapat memutuskannya sekarang
ayah, sebab saya belum pernah melihat wajah dari misan saya itu. Yang akan
menjadi suami hamba nantinya. Sebaiknya tujuh orang misan saya itu datang
kesini agar kami saling mengenal dan saling melihat terlebih dahulu.”
“Kalau
demikian, baiklah anakku. Nanti ayah meminta tujuh orang saudara sepupumu itu,
untuk datang kemari.” Kata Datu Pujut. Datu Pujut berpesan pada utusan untuk
meminta tujuh orang anak saudaranya untuk datang ke istanah Pujut. Kemudian
utusan Datu Selaparang memohon diri, dan kembali ke Selaparang. Setelah tiba,
dia menyampaikan pesan Datu Pujut dan Putri Nyale pada Datu Selaparang.
Mendengar itu, Datu Selaparang berjanji akan membawa tujuh orang putranya ke
negeri Pujut.
Suatu hari, tibalah
Datu Selaparang dan tujuh orang putranya di istanah Negeri Pujut. Mereka dijamu
dengan baik, semua duduk bersilah menghadap hidangan. Datu Pujut dan Putri
Nyale juga ikut menikmati santap jamuan itu. Melihat Putri Nyale yang cantik
itu, ketujuh putra Datu Selaparang jatuh cinta padanya. Begitu juga Putri Nyale
menyukai ketujuh saudara sepupunya itu. Dia bingung hendak memilih yang mana,
semuanya sama-sama berwajah tampan. Selain itu, dia juga serbah salah dalam
memilih. Kalau dia memilih kakak tertua, tentu yang lain akan iri hati. Begitu
juga kalau dia memilih yang bungsu atau yang lainnya. Tentu yang lain akan iri,
juga cemburu lalu mereka akan berkelahi satu sama lain.
Dalam perbincangan
itu, Putri Nyale ditanyai oleh ayahnya, Datu Pujut. Kakaknya yang mana yang dia
pilih menjadi suaminya. Putri Nyale tidak dapat memutuskan dia kembali meminta
waktu untuk berpikir. “Kakakku semua, janganlah kalian kecewa sebab belum dapat
adik memutuskan siapa diantara kakak yang Adik pilih. Nanti di tahun depan,
tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih kita semua bertemu di pinggir pantai,
di Tanjung Ringgit. Mendengar itu, semua setuju dan tiba waktunya Datu
Selaparang kembali pulang ke negeri mereka.
Dalam masa
setahun, Putri Nyale terus berpikir dan bingung. Setelah dipertimbangkan
betul-betul, dia akan bunuh diri. Lalu tubuhnya dia minta dipotong kecil-kecil
lalu dibuang ke laut di Tanjung Ringgit. Waktu berjalan terus, sekarang sudah
tanggal tujuh belas bulan atas. Tujuh putra Datu Selaparang sudah datang
terlebih dahulu di Tanjung Ringgit diiringi oleh rakyatnya. Mereka membawa
bekal dan bermalam. Menunggu Putri Nyale yang akan datang sesuai janjinya, tiga
hari lagi.
Sementra itu, pada
hari yang ditentukan Putri Nyale diam-diam bunuh diri di dalam kamarnya.
Sebelumnya dia telah menulis surat pesan terakhirnya. “Ayah, tujuh orang misan
hamba semuanya mencintai saya. Begitu juga hamba, juga mencintai ketujuhnya dan
sama besarnya. Jadi tidak mungkin saya memilih salah seorang diantara mereka.
Seandainya hamba pilih salah seorang dari mereka. Yang lainnya akan iri dan
cemburu, kemudian mereka akan berkelahi. Kalau itu terjadi, akan memalukan
keluarga datu sendiri. Oleh sebab itu, hamba tidak rela. Setelah hamba
meninggal, hendaknya tubuh hamba dipotong kecil-kecil seperti orang hendak
membuat sate. Lalu dibuang ke laut di, Tanjung Ringgit. Tolong ayah sampaikan
pesan hamba pada ketujuh saudara misan hamba. Kalau mereka betul-betul
mencintai hamba. Setiap tahun, tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih.
Mereka mencari saya di laut di Tanjung Ringgit diantara waktu subuh dan matahari
terbit. Pada waktu itu, hamba datang dalam wujud Ikan Nyale. Kalau mereka
melihat ikan nyale, berarti mereka melihat hamba. Kalau mereka menangkap ikan
nyale itu, lalu mereka jadikan lauk makan. Berarti mereka mengawini hamba.
Begitu juga rakyat banyak, kalau mereka mau bertemu dengan saya datang di laut,
di Tanjung Ringgit pada waktu subuh sampai matahari terbit, tanggal dua puluh
bulan atas. Bacakan surat hamba ini dihadapan mereka semua agar mereka
mengetahuinya." Itulah bunyi surat Putri Nyale.
Keesokan
harinya tepat ditanggal dua puluh sesuai janji Putri Nyale. Datu Pujut dan
keluarga, Pati dan pembesar istana serta diiringi oleh rakyat banyak pergi ke
tepi pantai Tanjung Ringgit. Membawa jenazah Putri Nyale yang sudah dipotong
kecil-kecil. Perjalanan diiringi suara gamelan, semua sedih dan menangis. Mata
bengkak karena menangis dan tidak satu pun ada yang tertawa.
Sementara
tujuh putra Datu Selaparang dan penggiring mereka merasa heran. Sebab melihat
iringan Datu Pujut semuanya tertunduk sedih dan Putri Nyale juga tidak
terlihat. Sesampai di tepi pantai di dekat tujuh putra Datu Selaparang. Datu
Pujut berkata untuk semua orang yang ada di sana. “Wahai anakku bertujuh,
saudara-saudaraku semua dari Negeri Selaparang dan juga semua rakyatku. Kita
semua mendapat musibah karena kemarin Tuan Putri meninggal. Dia bunuh diri dan
meninggalkan pesan untuk kita semua. Pesan dia tulis di dalam surat, nanti aku
bacakan di hadapan kalian semua.”
Sewaktu Datu
Pujut membacakan surat Putri Nyale, tujuh putra Datu Selaparang menangis,
begitu juga dengan rakyat semuanya. Setelah selesai membaca surat pesan Putri
Nyale, jenazah Putri Nyale yang sudah dipotong kecil-kecil kemudian dibuang ke
laut diiringi upacara.
Demikianlah cerita Putri Nyale. Itulah mengapa sampai sekarang, setiap setahun sekali, tiap-tiap tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih. Pada waktu subuh sekitar pukul empat pagi sampai dengan matahari terbit. Orang Sasak terutama penduduk Desa Pujut dan penduduk Lombok Tengah bagian selatan beramai-ramai datang ke Tanjung Ringgit atau Pantai Kuta. Kemudian mereka naik sampan untuk menangkap Ikan Nyale yang hanya muncul sekali dalam setahun.
Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti,
S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 28
Januari 2021.
Sumber. Shaleh
Saidi, dkk. Sastra Lisan Sasak.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy. Apero Fublic
0 comments:
Posting Komentar