Minggu, 28 Februari 2021

Lombok: Legenda Cinta Putri Mandalika Nyale

Jurnal Apero Fublic.- Pada zaman dahulu di Bumi Sasak banyak datu-datu atau raja-raja. Luas wilayah kekuasaannya seorang raja atau datu kira-kira seluas daerah kecamatan di zaman kita sekarang. Diantara datu-datu itu, ada dua datu yang bersaudara. Satu bertahtah di Kerajaan Pujut dan memiliki putri bernama, Putri Mandalika Nyale. Dia dipanggil dengan Putri Nyale, memiliki wajah sangat cantik. Datu yang satunya memerintah di Kerajaan Selaparang, dan mempunyai tujuh orang putra.

Tujuh putra Datu Selaparang memiliki wajah yang tampan semua, sama tampan. Datu Selaparang ingin memiliki menantu sekarang. Dia mengingatkan kalau Datu Pujut saudaranya memiliki seorang putri yang cantik. Sehingga Datu Selaparang bermaksud menikahkan salah seorang putranya dengan anak Datu Pujut. Putri Mandalika Nyale, sepupu anak-anaknya atau kemenakannya sendiri. Niatnya tersebut dilaksanakan, maka Datu Selaparang mengirim utusan ke Datu Pujut.

“Hambah, diutus oleh Datu Selaparang untuk menyampaikan amanah beliau. Datu hamba memiliki tujuh orang putra dan dia ingin memiliki menantu sekarang. Dengan demikian, Datu hamba ingin menjodohkan salah satu putranya dengan putri Tuanku, tuan Putri Mandalika Nyale.” Kata utusan itu di hadapan Datu Pujut.

“Baiklah, kalau begitu. Tapi aku tidak dapat memaksa untuk menikah. Oleh karena itu, ada baiknya kita tanyakan langsung padanya. Karena dia yang akan menikah dan menjalankan pernikahan. Terserah padanya keputusannya. Kalau dia mau saya setuju saja, kalau dia tidak mau kita tidak bisa memaksa. Karena itu, perlu ditanyakan padanya terlebih dahulu.” Jawab Datu Pujut.

Datu Pujut kemudian memanggi Putri Nyale dan memberi tahu tentang lamaran dari Datu Selaparang untuk putranya. Setelah mengerti maksud dan tujuan utusan itu akan lamaran untuknya, Putri Nyale berkata. “Belum saya dapat memutuskannya sekarang ayah, sebab saya belum pernah melihat wajah dari misan saya itu. Yang akan menjadi suami hamba nantinya. Sebaiknya tujuh orang misan saya itu datang kesini agar kami saling mengenal dan saling melihat terlebih dahulu.”

“Kalau demikian, baiklah anakku. Nanti ayah meminta tujuh orang saudara sepupumu itu, untuk datang kemari.” Kata Datu Pujut. Datu Pujut berpesan pada utusan untuk meminta tujuh orang anak saudaranya untuk datang ke istanah Pujut. Kemudian utusan Datu Selaparang memohon diri, dan kembali ke Selaparang. Setelah tiba, dia menyampaikan pesan Datu Pujut dan Putri Nyale pada Datu Selaparang. Mendengar itu, Datu Selaparang berjanji akan membawa tujuh orang putranya ke negeri Pujut.

Suatu hari, tibalah Datu Selaparang dan tujuh orang putranya di istanah Negeri Pujut. Mereka dijamu dengan baik, semua duduk bersilah menghadap hidangan. Datu Pujut dan Putri Nyale juga ikut menikmati santap jamuan itu. Melihat Putri Nyale yang cantik itu, ketujuh putra Datu Selaparang jatuh cinta padanya. Begitu juga Putri Nyale menyukai ketujuh saudara sepupunya itu. Dia bingung hendak memilih yang mana, semuanya sama-sama berwajah tampan. Selain itu, dia juga serbah salah dalam memilih. Kalau dia memilih kakak tertua, tentu yang lain akan iri hati. Begitu juga kalau dia memilih yang bungsu atau yang lainnya. Tentu yang lain akan iri, juga cemburu lalu mereka akan berkelahi satu sama lain.

Dalam perbincangan itu, Putri Nyale ditanyai oleh ayahnya, Datu Pujut. Kakaknya yang mana yang dia pilih menjadi suaminya. Putri Nyale tidak dapat memutuskan dia kembali meminta waktu untuk berpikir. “Kakakku semua, janganlah kalian kecewa sebab belum dapat adik memutuskan siapa diantara kakak yang Adik pilih. Nanti di tahun depan, tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih kita semua bertemu di pinggir pantai, di Tanjung Ringgit. Mendengar itu, semua setuju dan tiba waktunya Datu Selaparang kembali pulang ke negeri mereka.

Dalam masa setahun, Putri Nyale terus berpikir dan bingung. Setelah dipertimbangkan betul-betul, dia akan bunuh diri. Lalu tubuhnya dia minta dipotong kecil-kecil lalu dibuang ke laut di Tanjung Ringgit. Waktu berjalan terus, sekarang sudah tanggal tujuh belas bulan atas. Tujuh putra Datu Selaparang sudah datang terlebih dahulu di Tanjung Ringgit diiringi oleh rakyatnya. Mereka membawa bekal dan bermalam. Menunggu Putri Nyale yang akan datang sesuai janjinya, tiga hari lagi.

Sementra itu, pada hari yang ditentukan Putri Nyale diam-diam bunuh diri di dalam kamarnya. Sebelumnya dia telah menulis surat pesan terakhirnya. “Ayah, tujuh orang misan hamba semuanya mencintai saya. Begitu juga hamba, juga mencintai ketujuhnya dan sama besarnya. Jadi tidak mungkin saya memilih salah seorang diantara mereka. Seandainya hamba pilih salah seorang dari mereka. Yang lainnya akan iri dan cemburu, kemudian mereka akan berkelahi. Kalau itu terjadi, akan memalukan keluarga datu sendiri. Oleh sebab itu, hamba tidak rela. Setelah hamba meninggal, hendaknya tubuh hamba dipotong kecil-kecil seperti orang hendak membuat sate. Lalu dibuang ke laut di, Tanjung Ringgit. Tolong ayah sampaikan pesan hamba pada ketujuh saudara misan hamba. Kalau mereka betul-betul mencintai hamba. Setiap tahun, tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih. Mereka mencari saya di laut di Tanjung Ringgit diantara waktu subuh dan matahari terbit. Pada waktu itu, hamba datang dalam wujud Ikan Nyale. Kalau mereka melihat ikan nyale, berarti mereka melihat hamba. Kalau mereka menangkap ikan nyale itu, lalu mereka jadikan lauk makan. Berarti mereka mengawini hamba. Begitu juga rakyat banyak, kalau mereka mau bertemu dengan saya datang di laut, di Tanjung Ringgit pada waktu subuh sampai matahari terbit, tanggal dua puluh bulan atas. Bacakan surat hamba ini dihadapan mereka semua agar mereka mengetahuinya." Itulah bunyi surat Putri Nyale.

Keesokan harinya tepat ditanggal dua puluh sesuai janji Putri Nyale. Datu Pujut dan keluarga, Pati dan pembesar istana serta diiringi oleh rakyat banyak pergi ke tepi pantai Tanjung Ringgit. Membawa jenazah Putri Nyale yang sudah dipotong kecil-kecil. Perjalanan diiringi suara gamelan, semua sedih dan menangis. Mata bengkak karena menangis dan tidak satu pun ada yang tertawa.

Sementara tujuh putra Datu Selaparang dan penggiring mereka merasa heran. Sebab melihat iringan Datu Pujut semuanya tertunduk sedih dan Putri Nyale juga tidak terlihat. Sesampai di tepi pantai di dekat tujuh putra Datu Selaparang. Datu Pujut berkata untuk semua orang yang ada di sana. “Wahai anakku bertujuh, saudara-saudaraku semua dari Negeri Selaparang dan juga semua rakyatku. Kita semua mendapat musibah karena kemarin Tuan Putri meninggal. Dia bunuh diri dan meninggalkan pesan untuk kita semua. Pesan dia tulis di dalam surat, nanti aku bacakan di hadapan kalian semua.”

Sewaktu Datu Pujut membacakan surat Putri Nyale, tujuh putra Datu Selaparang menangis, begitu juga dengan rakyat semuanya. Setelah selesai membaca surat pesan Putri Nyale, jenazah Putri Nyale yang sudah dipotong kecil-kecil kemudian dibuang ke laut diiringi upacara.

Demikianlah cerita Putri Nyale. Itulah mengapa sampai sekarang, setiap setahun sekali, tiap-tiap tanggal dua puluh bulan atas, bulan bubur putih. Pada waktu subuh sekitar pukul empat pagi sampai dengan matahari terbit. Orang Sasak terutama penduduk Desa Pujut dan penduduk Lombok Tengah bagian selatan beramai-ramai datang ke Tanjung Ringgit atau Pantai Kuta. Kemudian mereka naik sampan untuk menangkap Ikan Nyale yang hanya muncul sekali dalam setahun.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 28 Januari 2021.
Sumber. Shaleh Saidi, dkk. Sastra Lisan Sasak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic

0 comments:

Posting Komentar