Senin, 29 Maret 2021

Legenda Tolaki: Elang Raksasa

Jurnal Sastra Apero Fublic.- Sekali peristiwa di Negeri Sorume, yakni negeri yang kini dinamakan Kolaka. Suatu ketika terjadi peristiwa besar yang mengacaukan penduduknya. Dimana penduduk takut beraktivitas atau pergi kemana-mana. Begitu juga bekerja untuk mencari nafkah mereka tidak bisa. Karena seekor burung elang raksasa. Burung elang itu, biasanya turun menerkam ternak warga, seperti kerbau lalu dibawa pergi terbang jauh. Kemudian kerbau itu dimakannya.

Waktu berlalu, ternak warga terutama kerbau pun habis. Sekarang elang raksasa itu mulai memburu manusia untuk dia jadikan makanannya. Sebuah tempat yang menjadi daerah elang raksasa itu menerkam mangsa yaitu sebuah padang luas, di Bende. Padang itu adalah tempat lalu lintas masyarakat utama. Dimana banyak aktivitas harus melalui padang luas itu. Namun sekarang tidak seorang pun yang mampu melintasi padang itu.

*****

Sementara itu, di negeri Solumba yang kini dinamakan negeri Balandete. Ada seorang yang pandai dan pemberani. Dia datang dari negeri kayangan di langit tinggi. Memiliki sebuah keris sakti, dan sebuah kain sarung ajaib yang digunakannya untuk terbang kemana-mana, namanya Larumbalangi. Penduduk Negeri Kolaka mengutus orang untuk menemui Larumbalangi, kemudian menceritakan semua musibah yang menimpa negeri mereka.

Mendengar cerita utusan tersebut, Larumbalangi tersenyum dan berkata. “Janganlah susah, pergilah kalian mengambil batang buluh. Kemudian kalian buat bambu runcing sebanyak-banyaknya. Kalian kumpulkan tombak, baik tombak biasa atau tombak mata bercabang. Kemudian pasang semua itu, di tempat-tempat yang biasa didatangi burung elang raksasa itu. Supaya burung itu datang, buat umpan seorang manusia. Tetapi harus orang yang kuat dan berani. Lalu pasang di sekeliling orang yang dijadikan umpan, dan di sepanjang pinggir tempat umpan itu kamu pasang ranjau.”

Mendengar saran dari Larumbalangi, utusan pulang dan menyampaikan apa yang dia dengar. Kemudian mereka membuat apa yang diajarkan Larumbalangi. Kemudian dipanggil dan dikumpulkanlah semua kesatria dari seluruh negeri di Kolaka. Hampir semuanya tidak ada yang mau dijadikan umpan. Hanya seorang yang bersedia, bernama Kesatria Tasahea dia dari negeri Loeya.

Beberapa saat umpan terpasang, dan semua ranjau bambu runcing serta tombak sudah siap. Burung elang raksasa yang sudah lapar itu datang. Pertama dia terbang mengitari padang luas Bende. Mata elang melihat manusia, si Tasahea. Burung elang itu terbang menukik ke bawak dengan capat. Dia akan menyambar Tasahea yang berada di antara ranjau bambu runcing. Sampai di dekat Tasahea tubuh elang tertancap pada bambu-bambu runcing itu. Lalu Tasahea bangkit dan melemparkan tombak, tepat mengenai jantungnya.

Saat dia mengepakkan sayapnya hendak terbang kembali ke udara. Sayapnya mengepak dan tertusuk juga oleh bambu-bambu runcing yang dipasang penduduk sebelumnya. Dengan susah paya akhirnya elang raksasa itu terbang kembali ke udara. Daranya keluar dengan deras, memancar dan menetes. Terbang melalui daerah Pomalaa, Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, Pulau Pinang, dan akhirnya elang raksasa itu jatuh diatas Gunung Mekongga.

Di tempat dimana darah burung elang itu jatuh atau berceceran, tanahnya menjadi merah. Dimana darah jatuh bergumpal-gumpal tanah tersebut berubah warna merah ke hitam-hitaman. Kemudian berubah berbentuk menjadi batu nekel. Setelah tujuh malam elang raksasa itu mati. Muncul bau yang sangat busuk. Akibatnya banyak penduduk yang terkena sakit perut dan meninggal. Kemudian disusul dengan munculnya ulat seluruh daratan, air, dan di daun-daun pepohonan.

Kemudian menyebabkan orang kelaparan dan banyak juga yang meninggal. Orang-orang Kolaka kembali mengutus orang menemui, Larumbalangi. Kemudian kembali menceritakan bencana yang kembali menimpa negeri mereka. Mendengar itu, Larumbalangi kemudian segerah berdoa pada Tuhan agar hujan turun dengan lebat dan deras. Hujan deras turun selama tujuh hari tujuh malam. Menyebabkan semua sungai dan anak sungai menjadi banjir.

Semua ulat-ulat yang muncul di negeri Kolaka hanyut terbawa air hujan itu ke laut. Semua ulat-ulat itu secara ajaib berubah menjadi ikan-ikan. Sedangkan tulang belulang burung elang raksasa di atas Gunung Mekongga. Hanyut terbawa air hujan melalui Sungai Lamekongga dan sampai ke lautan juga. Secara ajaib tulang belulang burung elang itu berubah menjadi, Karang. Konon, oleh sebab itulah lautan di Kolaka banyak ikannya dan banyak juga karangnya.

*****

Gunung tempat matinya elang raksasa dinamakan, Mekongga. Kata Mekongga berarti gunung tempat matinya elang besar. Sungai besar yang membawa hanyut tulang belulang elang raksasa itu, dinamakan Sungai Lamekongga. Kata Lamekongga berarti sungai yang membawa hanyut tulang elang raksasa.

Negeri Sorume diubahlah namanya menjadi Negeri Mekongga. Laki-laki kesatria bernama Tasahea dari Loeya diangkat menjadi bangsawan. Larumbalangi kemudian dilantik menjadi pemimpin Negeri Mekongga. Wilayah negeri Mekongga itu terdiri dari tujuh wilayah yang dinamakan wilayah pemerintahan “tonomotuo” yang pada waktu itu statusnya sebagai, “tobu.”

Kemudian terbentuklah adat, bahwa setiap kali diadakan pelantikan seorang raja di Mekongga. Dari ketujuh wilayah pemerintahan itu, “tonomotuo” Sabilambo menjadi wakil dari ketujuh wilayah negeri dalam menentukan pengganti seorang raja. Sejak saat itu, penghidupan dan kehidupan masyarakat di Mekongga sangat baik dan makmur sentosa.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Sos.
Tatagambar. Dadang Saputra
Palembang, 29 Maret 2021.
Sumber: J.S. Sande. Struktur Sastra Lisan Tolaki. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.

Sy. Apero Fublic

0 comments:

Posting Komentar