Imba mempunyai
seorang kakak yang masih membujang, belum menikah. Kakaknya baru mau menikah
kalau dia menemukan gadis yang sama cantiknya dengan adiknya, Imba. Pekerjaan
Imba setiap hari adalah menganyam. Dia dapat menganyam berbagai jenis anyaman.
Suatu hari, bahan anyamannya habis.
Sehingga dia
meminta kakaknya untuk menemaninya mengambil bahan anyaman, daun tio-tio. Daun
tio-tio sama dengan atau sejenis daun pandan hutan, yang dapat dibuat berbagai
macam anyaman, seperti tikar, tudung tani dan lainnya.
Saat sedang
mengambil daun tio-tio itulah, sang kakak Imba datang nafsu birahi. Kemudian
dia memaksa Imba untuk berhubungan yang tidak senono. Imba tidak berdaya
melawan kekuatan kakaknya. Waktu berlalu, tanpa terasa Imba pun hamil. Saat
kehamilan sudah tampak, keduanya pergi dari desanya. Lalu masuk hutan dan
membangun pondok kecil di sebuah bukit di tengah hutan. Selama pelarian itu,
keduanya tidak pernah memperlihatkan diri pada manusia.
Tibalah
waktunya Imba akan melahirkan, perut Imba mulai sakit. Sakit perutnya selama tujuh
hari tujuh malam. Pada malam kedelapan diwaktu fajar akan menyinsing, darah
mulai keluar seperti air dari periannya. Cuaca buruk dengan awan mendung di
langit. Bersamaan itu, derasnya darah mengalir, keluar pula bayi. Tapi bayi
tidak seperti bayi manusia umumnya. Bayi yang dilahirkan Imba berbentuk buaya.
Warna kulitnya kebiru-biruan.
Saat bayi
buaya itu keluar dari rahim Imba dan berada di atas lantai. Imba pun sudah
kehabisan nafas, sebab darahnya terus menerus keluar. Imba pun akhirnya
meninggal dunia. Bersamaan dengan itu hujan turun dengan lebat. Di bawah pondok
mereka muncul mata air yang deras seperti tertuang dari mulut guci. Darah Imba
bercampur dengan air hujan dan dari mata air yang keluar dari tanah dibawah
pondoknya.
Pondok Imba
akhirnya tenggelam, sedangkan anaknya yang berwujud buaya mulai berenang
seperti buaya pada umumnya. Kemudian hari menjadi buaya kuning. Sedangkan kakak
Imba selama tujuh hari-tujuh malam terapung-apung diatas air. Kemudian dirinya
lemas, lalu wujudnya berubah menjadi ikan ruan (gabus).
Negeri Lalolae
akhirnya tenggelam seluruhnya. Banyak penduduk yang meninggal dunia, sedangkan
yang selamat mengungsi ke atas gunung. Penduduk yang selamat akhirnya turun di
Loea dan Rate-Rate. Peristiwa itu, yang dinamakan penduduk dengan peristiwa,
Molowu. Setelah kejadian itu, orang-orang takut melakukan pernikahan dengan
saudara kandung. Adat sudah melarang, barang siapa yang kawin atau menikah
dengan saudaranya, dia akan ditenggelamkan.
Selama tujuh
hari-tujuh malam negeri Lalolae tenggelam. Lebih baik mati dari pada menikah
dengan saudara. Karena akan mengorbankan orang banyak, hewan-hewan, dan tanaman
akan ikut mati tenggelam. Itulah sebabnya orang-orang Mekongga dilarang
menikahi saudara kandung, karena takut mati tenggelam.
Setelah air
banjir surut dan kering, dukun bermimpi bertemu dengan Imba. Dia memberi tahu, sebab
mereka tenggelam karena dia dihamili oleh kakaknya. Bekas pondok kediaman
mereka selalu keluar mata air. Sehingga menjadi rawa-rawa yang luas dan dalam,
tidak terjangkau. Disanalah tempat tinggal anaknya yang bernama Bokeo Serume
(buaya), yang besarnya seperti kecapi.
Rawa-rawa yang
luas itu diberi nama, Koloimba. Koloimba berarti tempat persetubuhan Imba. Rawa
itu, airnya berwarna merah akibat darah nipas Imba. Sejumlah sungai besar
bermuara di tempat itu, seperti sungai Mowewe, sungai Sabilambo dan beberapa
sungai kecil dimana airnya juga berwarna merah. Sungai yang airnya berwarna
merah mengalir sepanjang jalan melalui Sabilamboo, bermuara ke laut. Sungai
tersebut dinamakan penduduk, Sungai Koloimba.
Pada zaman
dahulu sebelum datangnya agama Islam. Setiap tahun sesuadah panen, datang
orang-orang membawa beras, ayam dan bermalam beberapa waktu untuk memberi makan
kepada anak Imba, Bokeo Sorume. Pada saat akan diberi makan, buaya itu muncul
mengapung.
Pada malam harinya, di dalam tidur mereka bermimpi didatangi seorang dukun yang memberi tahukan tentang sesuatu. Tentang peristiwa apa yang akan terjadi melanda negeri mereka. Kemudian apa yang dimohonkan oleh mereka akan terkabulkan dengan baik.
Itulah sebabnya penduduk mereka senantiasa mengadakan upacara setiap tahun, pada zaman dahulu sebelum Islam masuk. Dimana rawa-rawa Koloimba dikunjungi orang-orang setiap selesai panen dan sangat ramai. Tentu hal demikian adalah hal yang syirik dalam Islam.
Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor.
Selita, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 26
Maret 2021.
Sumber: J.S.
Sande., Dkk. Struktur Sastra Lisan Tolaki.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986. Cerita rakyat di Kendari dan Kolaka.
Sy. Apero Fublic.
0 comments:
Posting Komentar