Diam-diam Ki
Gede Keringan dan istrinya menyimpan suatu keinginan. Keduanya memimpikan
mendapat seorang anak laki-laki. Sudah lama sekali keinginan itu tersimpan di
dalam hati mereka. Sehingga keduanya tidak pernah lelalh berdoa dan berusaha.
Setiap hari setelah sholat keduanya berdoa dan berzikir memuji kebesaran Allah
SWT.
Doa yang
sungguh-sungguh itu terkabulkan akhirnya. Suatu malam Ki Gede Keringan bermimpi
bertemu dengan Sunan Kalijaga. Salah satu dari Wali Sembilan penyebar Islam di
Tanah Jawa. Anak tersebut adalah putra Sunan Muryo dengan istrinya Dewi
Samaran. Sunan Kalijaga berpesan agar anak itu dijaga baik-baik.
Waktu
terbangun dari tidur, benarlah apa yang terjadi di dalam mimpinya. Seorang bayi
laki-laki dengan tangis yang keras sekali terdengar di dalam rumahnya. Di
gendongnya bayi itu, lalu membangunkan istrinya. Istrinya melihat Ki Gede
Keringan menggendong bayi dibalut kain kesemekan. Ki Gede kemudian
menceritakan mimpinya, barulah istrinya mengerti. Kelak kain tersebut menjadi
senjata bayi itu, ketika dia sudah dewasa nanti.
Dengan penuh
kasih sayang, suami istri itu membesarkan bayi itu. Mereka beri nama, Saridin.
Rasa syukur juga mereka panjatkan pada Allah SWT. Saridin cepat tumbuh besar
dan menjadi teman bermain kakaknya, Ni Branjung. Keduanya menjadi saudara yang
akrab dan saling mengasihi. Keduanya didik dengan baik tentang ilmu agama
Islam.
Bagi Saridin
sendiri semua ilmu yang diturunkan padanya dapat dipelajari dengan mudah.
Saridin berkembang menjadi pemuda yang cerdas dalam segala hal. Selain itu,
Saridin menjadi orang yang sakti dan kebal senjata. Seiring waktu berjalan
dengan cepat, dalam usia lanjut Ki Gede Keringan meninggal dunia, tidak berapa
lama disusul istrinya juga.
Ni Branjungan
dan Saridin oleh orang tuanya diwarisi berupa pohon durian. Keduanya setuju
untuk membagi uang hasil penjualan panen buah durian tersebut. Hasil kebun
durian cukup untuk biaya hidup mereka. Sehingga tenang kehidupan Ni Branjung
dan Saridin tidak pernah terjadi sengketa dan perselisihan.
Ketenangan
keduanya mulai berubah, saat suami Ni Branjung mulai memperlihatkan
keserakahannya. Suami Ni Branjung tidak suka apabila hasil penjualan durian
dibagi sama rata dengan Saridin. Dia ingin menguasai semua warisan mertuanya
tanpa memberi sedikit pun pada Saridin.
Mulai setiap
hari dia membujuk Ni Branjung untuk menipu Saridin. Agar tidak mendapat bagian
dari hasil penjualan durian. Pada awalnya Ni Branjung tidak setuju, tapi karena
dibujuk setiap hari, menurut juga akhirnya.
Ni Branjung
mengusulkan pada Saridin. Durian yang jatuh pada malam hari adalah miliknya.
Sedangkan yang jatuh di siang hari milik Saridin. Saridin setuju, walau dia
tahu durian tidak begitu banyak jatuh di siang hari. Saridin dapat menduga,
yang punya akal buruk pastilah suami Ni Branjung. Memang sejak pernikahan Ni
Branjung, suaminya menampakkan keserakahan. Tapi Saridin tetap menjaga hubungan
baik dengan kakaknya, Ni Branjung. Sehingga dia setuju dengan usul itu.
Pada malam
hari, Saridin bersemadi dan berdoa pada Allah SWT. Dia memohon agar durian
tidak jatuh di malam hari, tapi hanya jatuh di malam hari. Allah mengabulkan
permintaannya. Dengan demikian durian-durian jatuh di siang hari. Menjadi milik
Saridin sesuai perjanjian. Melihat kejadian itu, suami Ni Branjung tidak
senang.
Kemudian
kembali suami Ni Branjung membujuk istrinya untuk menukar perjanjian. Kemudian
Ni Branjung membicarakan pada Saridin. Untuk menukar waktu jatah durian lagi.
Yang jatuh siang milik Ni Branjung dan yang jatuh malam milik Saridin, dia
setuju.
Sekali lagi
Saridin bersemadi dimalam hari, berdoa pada Allah dan doanya dikabulkan.
Kembali doa terkabulkan, dan durian kembali jatuh di malam hari. Suami Ni
Branjung menjadi sangat kecewa dan menjadi penasaran. Dia berpikir tukar waktu
bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan semua durian. Maka dia cari lagi cara
untuk mendapatkan semua durian.
Setelah
berpikir sejenak, suami Ni Branjung mendapatkan ide. Dia ingin menakuti-nakuti
Saridin pada malam hari dengan memakai pakaian menyerupai harimau. Pastilah
Saridin takut memungut durian di malam hari. Karena Saridin pasti akan berlari
ketakutan.
Seperti biasa,
malam harinya Saridin pergi untuk memungut durian. Senjata sakti berupa kain
kasemekan tidak lupa dia bawa. Saat sedang memungut buah durian berserakan, dia
mendengar suara harimau mengaum di bawa salah satu pohon durian. Tanpa pikir
panjang Saridin melempar senjata kain kesemekan ke arah harimau. Harimau itu,
tewas seketika terkena senjata Saridin.
Keesokan
harinya, gemparlah tetangga Ni Branjung. Karena suami Ni Branjung telah tewas,
yang celakanya dibunuh oleh Saridin. Ni Branjung sangat sedih, tapi dia juga
mengerti. Kalau suaminya yang salah dengan menyamar menjadi harimau untuk
menakuti Saridin. Seandainya Saridin tahu kalau itu perbuatan suaminya, pasti
Saridin tidak akan melakukannya. Saridin tidak sengaja, sehingga Ni Branjung
mengiklaskan dan itu adalah kehendak Allah.
Pada awalnya
cerita kematian suami Ni Branjung hanya diketahui tetangganya. Lama kelamaan
diketahui seluruh desa. Kemudian sampailah cerita kematian itu ke Bupati Pesantenan,
Pati. Bupati mendengar kalau Saridin telah membunuh orang. Maka dia memanggil
Saridin menghadap, untuk menjelaskan perkara itu. Hukum harus di tegakkan
seadil-adilnya. Sidang perkara Saridin dilakukan, dan hasil putusan hakim Saridin dihukum mati.
Saridin
menolak hukuman, dia merasa tidak membunuh manusia. Dia membunuh harimau yang
mengganggunya. Tapi Saridin tetap mengikuti atas hukuman gantung. Saat
dibawa ke tiang gantungan, saridin tidak takut dan dia biasa saja, bahkan
tersenyum.
Rakyat, Bupati
dan para pembesar hadir untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung Saridin.
Saat hukuman gantung dilaksanakan, anehnya Saridin tidak merasa sakit sedikit
pun. Tidak mati seperti manusia biasanya.
Mengetahui
itu, Bupati mengakui kesaktian Saridin. Dia tidak dapat dihukun gantung.
Kemudian dia diturunkan dari tiang gantungan. Bupati mencari akal untuk
menghukum Saridin. Lalu Saridin dia persilahkan di rumah besar berjeriji besi.
Saridin tidak betah terkurung di dalam rumah besar itu. Lalu dia hancurkan
salah satu jeruji besi dengan senjata saktinya, kain kesemekan. Lalu dia pergi
meninggalkan rumah itu.
Saridin tidak
langsung pulang ke rumah. Tapi dia menuju pesantren Sunan Kudus dan diterima menjadi murid dengan senang hati
oleh Sunan Kudus. Saridin sering memperlihatkan kesaktiannya, seperti mengambil
air dengan keranjang. Sunan Kudus marah, sebagai seorang murid tidak
diperbolehkan bersifat sombong. Saridin tidak berubah atas nasihat Sunan Kudus.
Bahkan semakin menjadi-jadi.
Saridin
kemudian bersembunyi di lobang jamban. Ketika Nyi Sunan Kudus pergi buang air
besar. Tertawalah Saridin sambil keluar berkubang kotoran manusia. Sunan Kudus
murka, maka dia kejar Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Saridin berlari
terus dan terus sampailah dia di sebuah sungai, lalu menceburkan diri.
Saat Sunan
Kudus tiba di sana. Saridin keluar dari sungai dan melarikan diri. Secara aneh
tempat itu tercium bau busuk (bacin dalam bahasa Jawa). Tempat itu, kemudian
hari menjadi sebuah desa yang bernama Desa Bacin. Saridin berlari ke arah
Barat. Sunan Kudus mengejar dan tiba di suatu tempat.
Tanpa sengaja
Sunan Kudus dan Pengawalnya menginjak-injak pekarangan yang baru dibuat, dan
rusak. Tempat itulah kemudian dikenal sekarang dengan nama, Karanganyar. Nama
Karanganyar berasal dari kata pekarangan yang baru dibuat.
Sunan Kudus
kembali mengejar Saridin ke arah selatan. Saridin berlari dan sampai di suatu
tanggul dan dia beristirahat. Di tanggul itu, Saridin menyerang Sunan Kudus
dengan cara mendatangkan angin deras. Tapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus.
Banyak pengawal Sunan Kudus yang terjatuh dan tercerai berai. Tempat itu
kemudian terkenal dengan nama, Tanggul Angin.
Saridin
kemudian melarikan diri dan tiba di suatu tempat ia bersembunyi diatas pohon
Cangkringan yang tinggi. Tidak berapa lama Sunan Kudus datang dan dia melihat. Saridin
kemudian turun dan melarikan diri lagi. Tempat itu kemudian dinamakan Desa
Cangkringan. Di ambil dari nama pohon Cangkringan.
Saridin terus
melarikan diri, dengan tubuh masih berbau kotoran manusia. Sampailah dia di sebuah
pasar lalu masuk ke dalam kerumunan orang di pasar. Orang-orang di dalam pasar menjadi bubar karena
melihat Saridin dalam keadaan seperti itu, busuk. Sunan Kudus melihat orang di pasar
yang buyar. Lalu berkata orang di pasar buyar. Kemudian nama pasar itu menjadi,
Pasar Buyaran asal kata buyar.
Melihat Sunan Kudus sudah datang lagi. Saridin kembali melarikan diri. Badan Saridin yang besar dan tinggi dapat terlihat oleh Sunan Kudus diantara kerumunan orang-orang. Sunan Kudus tidak lagi mengejar Saridin. Dia hanya berdoa agar saridin menjadi orang yang baik dan selalu dijalan kebenaran. Sunan Kudus kemudian menjuluki Saridin dengan, Syeh Jangkung. Karena badannya tinggi besar atau jangkung dan pandai segala ilmu.