e-Jurnal Sastra Apero Fublic adalah jurnal kesusastraan yang dimiliki oleh Apero Fublic Sebagai Laman Publikasi Dunia Sastra.

Syarce

Syarce adalah singkatan dari syair cerita. Syair cerita bentuk penggabungan cerita dan syair sehingga pembaca dapat mengerti makna dan maksud dari isi syair.

Apero Mart

Apero Mart adalah tokoh online dan ofline yang menyediakan semua kebutuhan. Dari produk kesehatan, produk kosmetik, fashion, sembako, elektronik, perhiasan, buku-buku, dan sebagainya.

Apero Book

Apero Book adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi semua jenis buku. Buku fiksi, non fiksi, buku tulis. Selain itu juga menyediakan jasa konsultasi dalam pembelian buku yang terkait dengan penelitian ilmiah.

Apero Popularity

Apero Popularity adalah layanan jasa untuk mempolerkan usaha, bisnis, dan figur. Membantu karir jalan karir anda menuju kepopuleran nomor satu.

@Kisahku

@Kisahku adalah bentuk karya tulis yang memuat tentang kisah-kisah disekitar kita. Seperti kisah nyata, kisah fiksi, kisah hidayah, persahabatan, kisah cinta, kisah masa kecil, dan sebagaginya.

Surat Kita

Surat Kita adalah suatu metode berkirim surat tanpa alamat dan tujuan. Surat Kita bentuk sastra yang menjelaskan suatu pokok permasalaan tanpa harus berkata pada sesiapapun tapi diterima siapa saja.

Sastra Kita

Sastra Kita adalah kolom penghimpun sastra-sastra yang dilahirkan oleh masyarakat. Sastra kita istilah baru untuk menamakan dengan sastra rakyat. Sastra Kita juga bagian dari sastra yang ditulis oleh masyakat awam sastra.

Apero Gift

Apero Gift adalah perusahaan yang menyediakan semua jenis hadia atau sovenir. Seperti hadia pernikahan, hadia ulang tahun, hadiah persahabatan, menyediakan sovenir wisata dan sebagainya. Melayani secara online dan ofline.

Selasa, 24 November 2020

Legenda Syeh Jangkung: Jawa Tengah

Jurnal Apero Fublic.- Pada zaman dahulu di tepi sungai di daerah Kota Kudus bermukimlah seorang Kyai bernama Ki Gede Keringan, bersama istri dan anak perempuannya, bernama Ni Branjung. Kehidupan Ki Gede Keringan tidak kekurangan suatu apa pun segala keperluan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan bekerja bercocok tanaman di sawah dan hasil kebun duriannya. Istrinya pun sangat setia mendampingi Ki Gede Keringan dalam penghidupannya sehari-hari. Begitu juga anaknya Ni Brunjung juga berbakti pada kedua orang taanya.

Diam-diam Ki Gede Keringan dan istrinya menyimpan suatu keinginan. Keduanya memimpikan mendapat seorang anak laki-laki. Sudah lama sekali keinginan itu tersimpan di dalam hati mereka. Sehingga keduanya tidak pernah lelalh berdoa dan berusaha. Setiap hari setelah sholat keduanya berdoa dan berzikir memuji kebesaran Allah SWT.

Doa yang sungguh-sungguh itu terkabulkan akhirnya. Suatu malam Ki Gede Keringan bermimpi bertemu dengan Sunan Kalijaga. Salah satu dari Wali Sembilan penyebar Islam di Tanah Jawa. Anak tersebut adalah putra Sunan Muryo dengan istrinya Dewi Samaran. Sunan Kalijaga berpesan agar anak itu dijaga baik-baik.

Waktu terbangun dari tidur, benarlah apa yang terjadi di dalam mimpinya. Seorang bayi laki-laki dengan tangis yang keras sekali terdengar di dalam rumahnya. Di gendongnya bayi itu, lalu membangunkan istrinya. Istrinya melihat Ki Gede Keringan menggendong bayi dibalut kain kesemekan. Ki Gede kemudian menceritakan mimpinya, barulah istrinya mengerti. Kelak kain tersebut menjadi senjata bayi itu, ketika dia sudah dewasa nanti.

Dengan penuh kasih sayang, suami istri itu membesarkan bayi itu. Mereka beri nama, Saridin. Rasa syukur juga mereka panjatkan pada Allah SWT. Saridin cepat tumbuh besar dan menjadi teman bermain kakaknya, Ni Branjung. Keduanya menjadi saudara yang akrab dan saling mengasihi. Keduanya didik dengan baik tentang ilmu agama Islam.

Bagi Saridin sendiri semua ilmu yang diturunkan padanya dapat dipelajari dengan mudah. Saridin berkembang menjadi pemuda yang cerdas dalam segala hal. Selain itu, Saridin menjadi orang yang sakti dan kebal senjata. Seiring waktu berjalan dengan cepat, dalam usia lanjut Ki Gede Keringan meninggal dunia, tidak berapa lama disusul istrinya juga.

Ni Branjungan dan Saridin oleh orang tuanya diwarisi berupa pohon durian. Keduanya setuju untuk membagi uang hasil penjualan panen buah durian tersebut. Hasil kebun durian cukup untuk biaya hidup mereka. Sehingga tenang kehidupan Ni Branjung dan Saridin tidak pernah terjadi sengketa dan perselisihan.

Ketenangan keduanya mulai berubah, saat suami Ni Branjung mulai memperlihatkan keserakahannya. Suami Ni Branjung tidak suka apabila hasil penjualan durian dibagi sama rata dengan Saridin. Dia ingin menguasai semua warisan mertuanya tanpa memberi sedikit pun pada Saridin.

Mulai setiap hari dia membujuk Ni Branjung untuk menipu Saridin. Agar tidak mendapat bagian dari hasil penjualan durian. Pada awalnya Ni Branjung tidak setuju, tapi karena dibujuk setiap hari, menurut juga akhirnya.

Ni Branjung mengusulkan pada Saridin. Durian yang jatuh pada malam hari adalah miliknya. Sedangkan yang jatuh di siang hari milik Saridin. Saridin setuju, walau dia tahu durian tidak begitu banyak jatuh di siang hari. Saridin dapat menduga, yang punya akal buruk pastilah suami Ni Branjung. Memang sejak pernikahan Ni Branjung, suaminya menampakkan keserakahan. Tapi Saridin tetap menjaga hubungan baik dengan kakaknya, Ni Branjung. Sehingga dia setuju dengan usul itu.

Pada malam hari, Saridin bersemadi dan berdoa pada Allah SWT. Dia memohon agar durian tidak jatuh di malam hari, tapi hanya jatuh di malam hari. Allah mengabulkan permintaannya. Dengan demikian durian-durian jatuh di siang hari. Menjadi milik Saridin sesuai perjanjian. Melihat kejadian itu, suami Ni Branjung tidak senang.

Kemudian kembali suami Ni Branjung membujuk istrinya untuk menukar perjanjian. Kemudian Ni Branjung membicarakan pada Saridin. Untuk menukar waktu jatah durian lagi. Yang jatuh siang milik Ni Branjung dan yang jatuh malam milik Saridin, dia setuju.

Sekali lagi Saridin bersemadi dimalam hari, berdoa pada Allah dan doanya dikabulkan. Kembali doa terkabulkan, dan durian kembali jatuh di malam hari. Suami Ni Branjung menjadi sangat kecewa dan menjadi penasaran. Dia berpikir tukar waktu bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan semua durian. Maka dia cari lagi cara untuk mendapatkan semua durian.

Setelah berpikir sejenak, suami Ni Branjung mendapatkan ide. Dia ingin menakuti-nakuti Saridin pada malam hari dengan memakai pakaian menyerupai harimau. Pastilah Saridin takut memungut durian di malam hari. Karena Saridin pasti akan berlari ketakutan.

Seperti biasa, malam harinya Saridin pergi untuk memungut durian. Senjata sakti berupa kain kasemekan tidak lupa dia bawa. Saat sedang memungut buah durian berserakan, dia mendengar suara harimau mengaum di bawa salah satu pohon durian. Tanpa pikir panjang Saridin melempar senjata kain kesemekan ke arah harimau. Harimau itu, tewas seketika terkena senjata Saridin.

Keesokan harinya, gemparlah tetangga Ni Branjung. Karena suami Ni Branjung telah tewas, yang celakanya dibunuh oleh Saridin. Ni Branjung sangat sedih, tapi dia juga mengerti. Kalau suaminya yang salah dengan menyamar menjadi harimau untuk menakuti Saridin. Seandainya Saridin tahu kalau itu perbuatan suaminya, pasti Saridin tidak akan melakukannya. Saridin tidak sengaja, sehingga Ni Branjung mengiklaskan dan itu adalah kehendak Allah.

Pada awalnya cerita kematian suami Ni Branjung hanya diketahui tetangganya. Lama kelamaan diketahui seluruh desa. Kemudian sampailah cerita kematian itu ke Bupati Pesantenan, Pati. Bupati mendengar kalau Saridin telah membunuh orang. Maka dia memanggil Saridin menghadap, untuk menjelaskan perkara itu. Hukum harus di tegakkan seadil-adilnya. Sidang perkara Saridin dilakukan, dan hasil putusan hakim Saridin dihukum mati.

Saridin menolak hukuman, dia merasa tidak membunuh manusia. Dia membunuh harimau yang mengganggunya. Tapi Saridin tetap mengikuti atas hukuman gantung. Saat dibawa ke tiang gantungan, saridin tidak takut dan dia biasa saja, bahkan tersenyum.

Rakyat, Bupati dan para pembesar hadir untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung Saridin. Saat hukuman gantung dilaksanakan, anehnya Saridin tidak merasa sakit sedikit pun. Tidak mati seperti manusia biasanya.

Mengetahui itu, Bupati mengakui kesaktian Saridin. Dia tidak dapat dihukun gantung. Kemudian dia diturunkan dari tiang gantungan. Bupati mencari akal untuk menghukum Saridin. Lalu Saridin dia persilahkan di rumah besar berjeriji besi. Saridin tidak betah terkurung di dalam rumah besar itu. Lalu dia hancurkan salah satu jeruji besi dengan senjata saktinya, kain kesemekan. Lalu dia pergi meninggalkan rumah itu.

Saridin tidak langsung pulang ke rumah. Tapi dia menuju pesantren Sunan Kudus  dan diterima menjadi murid dengan senang hati oleh Sunan Kudus. Saridin sering memperlihatkan kesaktiannya, seperti mengambil air dengan keranjang. Sunan Kudus marah, sebagai seorang murid tidak diperbolehkan bersifat sombong. Saridin tidak berubah atas nasihat Sunan Kudus. Bahkan semakin menjadi-jadi.

Saridin kemudian bersembunyi di lobang jamban. Ketika Nyi Sunan Kudus pergi buang air besar. Tertawalah Saridin sambil keluar berkubang kotoran manusia. Sunan Kudus murka, maka dia kejar Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Saridin berlari terus dan terus sampailah dia di sebuah sungai, lalu menceburkan diri.

Saat Sunan Kudus tiba di sana. Saridin keluar dari sungai dan melarikan diri. Secara aneh tempat itu tercium bau busuk (bacin dalam bahasa Jawa). Tempat itu, kemudian hari menjadi sebuah desa yang bernama Desa Bacin. Saridin berlari ke arah Barat. Sunan Kudus mengejar dan tiba di suatu tempat.

Tanpa sengaja Sunan Kudus dan Pengawalnya menginjak-injak pekarangan yang baru dibuat, dan rusak. Tempat itulah kemudian dikenal sekarang dengan nama, Karanganyar. Nama Karanganyar berasal dari kata pekarangan yang baru dibuat.

Sunan Kudus kembali mengejar Saridin ke arah selatan. Saridin berlari dan sampai di suatu tanggul dan dia beristirahat. Di tanggul itu, Saridin menyerang Sunan Kudus dengan cara mendatangkan angin deras. Tapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus. Banyak pengawal Sunan Kudus yang terjatuh dan tercerai berai. Tempat itu kemudian terkenal dengan nama, Tanggul Angin.

Saridin kemudian melarikan diri dan tiba di suatu tempat ia bersembunyi diatas pohon Cangkringan yang tinggi. Tidak berapa lama Sunan Kudus datang dan dia melihat. Saridin kemudian turun dan melarikan diri lagi. Tempat itu kemudian dinamakan Desa Cangkringan. Di ambil dari nama pohon Cangkringan.

Saridin terus melarikan diri, dengan tubuh masih berbau kotoran manusia. Sampailah dia di sebuah pasar lalu masuk ke dalam kerumunan orang di pasar. Orang-orang di dalam pasar menjadi bubar karena melihat Saridin dalam keadaan seperti itu, busuk. Sunan Kudus melihat orang di pasar yang buyar. Lalu berkata orang di pasar buyar. Kemudian nama pasar itu menjadi, Pasar Buyaran asal kata buyar.

Melihat Sunan Kudus sudah datang lagi. Saridin kembali melarikan diri. Badan Saridin yang besar dan tinggi dapat terlihat oleh Sunan Kudus diantara kerumunan orang-orang. Sunan Kudus tidak lagi mengejar Saridin. Dia hanya berdoa agar saridin menjadi orang yang baik dan selalu dijalan kebenaran. Sunan Kudus kemudian menjuluki Saridin dengan, Syeh Jangkung. Karena badannya tinggi besar atau jangkung dan pandai segala ilmu.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra
Sumber: Cerita Rakyat Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Sy. Apero Fublic.

Minggu, 22 November 2020

Legenda Imam Awang: Langkat.

Jurnal Apero Fublic.- Alkisah tersebutlah cerita Imam Awang. Dia merantau bersama tiga anaknya ke Kampung Tapak Kuda di daerah Langkat. Imam sendiri seorang laki-laki setengah baya dan tiga anaknya, dua laki-laki satu perempuan. Anak laki-laki bernama Abdurrasyid dan Hasim, dan perempuan bernama Halimah.

Imam Awang berasal dari Kedah di tanah Semenanjung Melayu. Dengan menumpang sebuah perahu (sagor) menyeberanglah dia ke pulau Sumatera. Imam Awang pergi dari tanah kelahirannya di Kedah karena ingin melupakan musibah yang menimpa keluarganya. Istri Imam Awang meninggal dunia, merupakan kesedihan besar bagi dirinya dan ketiga anaknya. Itulah kisah mengapa dia sampai ke Kampung Tapak Kuda di Langkat.

Sesampai di Kampung Tapak Kuda, datanglah Imam Awang ke rumah Penghulu. Karena hari sudah sore, dan tidak tahu kemana untuk bermalam bersama anak-anaknya. Maka dia menumpang bermalam di rumah Pak Penghulu. Dengan senang hati, Penghulu menerima keluarga Imam Awang.

Dari Kampung Tapak Kuda, Imam Awang melanjutkan perjalanan ke hulu. Sesampai di daerah Bubun, dia melihat banyak sampan besar tertambat di bagan. Orang pun sangat banyak di sana, sangat ramai sepertinya sudah terjadi sesuatu di sana.

Imam Awang merasa tertarik, kemudian dia bertanya pada salah satu warga. “Apa yang terjadi, sehingga orang begitu ramai?.” Tanya Imam Awang. “Sultan dan Keluarga sedang berada di kampung kita ini, karena daerah Langkat sudah dimasuki musuh.” Jawab warga itu.  Dia melanjutkan kata-katanya. “Sultan Langkat akan menguasai Kampung Pusung.” Karena Negeri sedang berperang dinasihatinya Imam Awang agar berhati-hati. Jangan banyak bercerita karena mungkin bisa membahayakan diri.

Imam Awang mengucapkan terima kasih, lalu dia melanjutkan perjalanan ke hulu. Sampailah dia ke Kampung Hinai. Di suatu tempat, ditepi sungai dia melihat banyak orang berkumpul. Karena mengingat nasihat warga di kampung Bubun, maka Imam Awang terus saja mengayu perahu. Tidak banyak berbicara atau tidak bertanya-tanya. Akan tetapi banyak orang memanggilnya dan meminta mereka berhenti. Imam Awang menepi sungai, lalu berhenti dan naik ke daratan setelah menambatkan perahunya.

Di sebuah rumah besar banyak orang berkumpul. Ada yang bercerita biasa, ada juga yang berkata-kata dengan wajah serius sekali. Di sisi lain sekitar itu, ada sekelompok anak muda dengan kesibukan lain. Mereka sedang mengasah senjata tajam, seperti parang, lembing, tombak. Imam Awang dan tiga anaknya dibawa orang naik ke rumah.

Dia melihat banyak orang berbadan tegap dan tinggi besar. Ada seorang yang paling gagah perkasa diantaranya. Wajahnya penuh jambang dan janggut. Rupanya dialah Datuk Kampung Hinai, yang dijuluki Datuk Janggut. Kepada Datuk Hinai itulah Imam Awang dan ketiga anaknya di hadapkan.

“Hai, orang yang baru datang, siapakah namamu, dari mana dan hendak kemana gerangan kalian?.” Tanya Datuk Janggut pada Imam Awang. Lalu Imam Awang menjawab. Dijawab semua pertanyaan itu oleh Imam Awang dengan penuh hormat dan sopan. Kemudian dia meminta diperbolehkan menjadi penduduk Kampung Hinai.

Datuk Janggut mengizinkan Imam Awang menjadi penduduk Kampung Hinai. Tetapi dengan syarat, Imam Awang bersedia membantu Kampung Hinai karena sedang terlibat perang dengan musuh. Akhirnya disetujui syarat itu, dan tugas Imam Awang mengajari penduduk ilmu keislaman. Sambil turut serta menjaga Kampung Hinai. Berhubungan keadaan tidak aman.

Sebagai guru agama Imam Awang mendapat banyak murid. Akan tetapi dia masih belum puas dengan keadaannya. Dia ingin pindah lagi dari sana menuju ke hulu sungai. Berjalanlah dia pergi ke hulu sungai, bersama tiga anaknya. Karena hari baru selesai hujan dan jalan licin. Di sebuah tempat Imam Awang tergelincir dan terjatuh kedalam sawah penduduk. Kebetulan pemilik sawah berada disekitar itu. Melihat padinya banyak yang rusak, patah-patah tertimpa tubuh Imam Awang. Membuat si pemilik sawah marah.

Imam Awang meminta maaf dan orang itu tidak mau memaafkan, sehingga terjadi keributan. Di bawalah Imam Awang ke hadapan beberapa orang. Mereka bersepakat mempersalahkan Imam Awang. Kemudian beberapa orang mulai memukul dan menerjang. Imam Awang masih sabar, tetapi perlakuan mereka semakin menjadi-jadi. Sehingga Imam Awang menjadi naik darah. Kemarahannya dia hantamkan pada sebatang pohon pinang. Sehingga semua buahnya jatuh berguguran.

Melihat itu, semua orang yang mengeroyok sadar kalau yang mereka hadapi bukan orang sembarangan. Mereka akhirnya meminta maaf dan pemilik padi juga meminta maaf. Imam Awang memaafkan semuanya dan untuk pemilik padi dia doakan agar tumbuh lagi dengan subur. Beberapa hari kemudian padi yang rusak itu, tumbuh kembali dengan subur. Setelah itu, Imam Awang menetap di Kampung Nangka. Pekerjaan sama, menjadi guru agama Islam seperti di Kampung Hinai.

*****

Datanglah musim menugal padi di ladang. Sebelum dilaksanakan dilakukan dengan membuat bubur Tik-tik. Dinamakan demikian karena proses membuatnya melalui saringan tempurung kelapa yang dilubangi. Karena jatuhnya tepung beras berbunyi tik-tik. Akan tetapi nama tik-tik dihubungi dengan harapan di hati penduduk petani agar hujan turun dari langit yang juga tik-tik. Sehingga padi akan tumbuh subur.

Kepada penduduk diajarkan Imam Awang cara-cara yang harus dilakukan agar tanaman padi berhasil dan baik. Di ladang itu mula-mula dibuatnya sebuah perigi bersegi empat. Atau seluas satu meter berbentuk bujur sangkar. Ditengah galian yang seluas satu meter bujur sangkar, dibuat lukisan Tapak Nabi Sulaiman dan diletakkan tepung tawar.

Sesudah itu, dimulainyalah menugal sebanyak tujuh lubang dan diisinya padi. Lalu Imam Awang membacakannya jampi-jampi. Kemudian tanaman padi tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan banyak buah padi. Makin hormatlah orang pada Imam Awang.

Pada suatu ketika Negeri Stabat sedang berperang. Oleh karena itu, dua orang panglima Stabat mendatangi Imam Awang untuk mengajak berperang di pihak Stabat. Akan tetapi, maksud sebenarnya dari mereka untuk menyingkirkan Imam Awang dari Kampung Nangka yang pengaruhnya sudah sangat besar. Ajakan kedua Panglima Stabat itu Imam Awang tolak dengan lembut.

Beberapa waktu kemudian, datang lagi lima orang panglima Negeri Stabat. Diantaranya Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Mereka kembalai mengajak Imam Awang untuk berperang membantu mereka. Tapi kembali Imam Awang tolak dengan lembut dan baik-baik.

Tidak lama kemudian datang lagi, Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Imam Awang kembali menolak dan kedua panglima itu marah. Lalu menantang Imam Awang untuk bertanding ilmu silat. Permintaan keduanya dilayani. Pertama satu lawan satu, kemudian dua lawan satu tapi Imam Awang tetap menang. Wan Patah mencabut klewangnya dan Aja Rangi mencabut kerisnya. Tapi keduanya kembali kalah.

Imam Awang berhasil menawan keduanya dengan melipat tangan mereka ke belakang. “Ku patahkan tangan kalian, atau kalin berdamai baik-baik.” Kata Imam Awang. Keduanya kemudian cepat-cepat menyerah. Mereka menyatakan ingin berguru pada Imam Awang. Tapi dengan syarat kata Imam Awang. Pertama mereka tidak boleh berperang lagi di pihak Stabat. Kedua, mereka harus menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan perang.

Belajarlah keduanya dengan Imam Awang ilmu silat. Setelah selesai keduanya menepati janji mereka dulu. Mereka mempengaruhi semua orang Negeri Stabat untuk tidak lagi berperang. Akan tetapi usaha mereka kurang berhasil karena tidak semua orang dapat dipengaruhi.

Bertahun-tahun di Kampung Nangka warganya jadi taat beragama. Pengaruh Imam Awang yang taat dan menjadi teladan warga Kampung Nangka. Imam Awang menikahi dua orang wanita di Kampung Nangka, bernama Mas dan Kwang. Anak-anak dari kedua istrinya juga banyak semuanya tinggal di Kampung Nangka. Sedangkan anak-anaknya yang dia bawa dari Kedah, tinggal di Kampung Hinai, beranak dan bercucu.

Kuburan Imam Awang dijumpai di Kampung Nangka di tepi sungai. Kuburan Imam Awang dianggap warga kuburan keramat. Banyak orang datang memohon sesuatu kesana. Seiring waktu, dengan adanya dakwa dan penerangan agama dilanjutkan berkembangnya sekolah-sekolah. Warga semakin pintar dan mengerti hukum syirik dan syariat Islam. Sehingga perhatian orang tidak lagi tertuju pada Kuburan Imam Awang. Sekarang kuburan Imam Awang sudah tidak terawat dengan baik.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 23 November 2020.
Sumber. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987. Informan cerita bernama M. Ridwan, lahir di Binjai tahun 1926 seorang guru SMP, berbahasa Melayu.

Sy. Apero Fublic.

Hikayat Wa Lancar

Apero Fublic.- Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama, Wa Lancar. Wa Lancar tinggal bersama ibunya, sedangkan ayah sudah tiada. Kehidupan mereka sangat sederhana, mata pencaharian ibunya dari menjual kayu bakar di pasar.

Lancar tidak belajar seperti anak-anak lainnya, seusianya. Melihat teman-temannya belajar, timbul hasrat Wa Lancar mau belajar. Wa Lancar meminta restu ibunya untuk belajar. Dengan berat hati ibu Wa Lancar mengizinkan dia  pergi belajar. Pergilah Wa Lancar menemui Syeh yang ternama di daerahnya.

“Ada apa kau datang, bujang.” Tanya Syeh itu. Wa Lancar dengan memohon meminta diangkat menjadi murid syeh itu. Dia tidak dapat membayar, untuk itu dia mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Namun bertahun-tahun Wa Lancar tidak pernah belajar seperti murid-murid lain.

Wa Lancar hanya belajar dari murid-murid Syeh itu. Wa Lancar terus bersabar dan terus hanya belajar dari murid-murid syeh tanpa setahu Syeh itu. Karena kesabarannya terbatas bertanyalah dia pada syeh itu. Karena Wa Lancar datang untuk belajar bukan hanya bekerja di rumah syeh itu, tanpa di gaji.

Wa Lancar kemudian menjelaskan pada syeh itu kalau dia mau belajar seperti anak-anak lainnya. Kemudian syeh memberinya pelajaran dengan sebuah kalimat. “Kalau sudah lapar, jangan makan.” Setelah memberikan kalimat itu syeh menyatakan kalau Wa Lancar sudah tamat mengaji. Wa Lancar tidak mengerti dengan maksud kata-kata itu. Rasa herannya ditekannya didalam hatinya. Kata-kata syeh itu, kemudian dia ingat baik-baik. Kemudian Wa Lancar pergi meninggalkan rumah syeh itu.

Kemudian Wa Lancar pergi menemui seorang syeh yang lain. Dia bermaksud untuk belajar dengan syeh itu. Kembali Wa Lancar melakukan aktivitas seperti di rumah syeh yang pertama. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah syeh itu, bertahun-tahun.

Tapi Wa Lancar belum juga di angkat menjadi murid dan belajar seperti anak-anak lain. Diam-diam Wa Lancar belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Beberapa tahun kemudian Wa Lancar menghadap syeh dan menegaskan kalau dia ingin belajar seperti murid-murid lainnya.

Ketika Wa Lancar datang menghadap dan meminta pelajaran ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Syeh itu kemudian berkata. “Kalau lelah berjalan, berhentilah. Wa Lancar tidak mengerti dengan perkataan itu. Tapi dia akhirnya pergi juga meninggalkan rumah syeh itu. Dia kembali pergi mencari guru untuk belajar. Saat dia menemukan seorang syeh di daerah lain, dia juga datang menghadap.

Wa Lancar kemudian kembali bekerja di rumah syeh itu, tanpa gaji. Dia hanya ingin belajar ilmu pengetahuan. Bertahun-tahun lamanya namun dia belum juga mendapat pelajaran. Sebagaimana saat dia berada di rumah syeh sebelumnya. Wa Lancar hanya belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Tidak pernah diangkat murid atau diberikan pelajaran.

Wa Lancar kembali menghadap dan menegaskan dia meminta diberi pelajaran. Syeh itu kemudian berkata. “Ambil batu, ambil pisau, asah tajam-tajam.” Kembali keheranan Wa Lancar juga pergi pulang ke rumah ibunya. Wa Lancar mengingat kata-kata syeh terakhir itu, juga. Waktu berlalu Wa Lancar terpikir untuk mengabdikan pengetahuannya di tengah masyarakat.

Pergilah Wa Lancar ke sebuah Kampung. Dia menuju sebuah masjid untuk beribadah. Memutuskan tinggal di masjid untuk sementara. Terlebih dahulu Wa Lancar meminta izin pada pemuka kampung itu. Selain ibadah, Wa Lancar juga membersihkan masjid.

Karena ketekunan dan ketaatan Wa Lancar membuat warga kampung tertarik. Mereka meminta untuk mengajar ilmu agama di masjid. Wa Lancar tidak menolak karena memang itu yang dia rencanakan. Wa Lancar mengajar, waktu demi waktu muridnya bertambah banyak. Dia pun terkenal sebagai seorang ulama yang berilmu. Sampai juga berita itu pada syeh tempat dia mau belajar dulu, tapi tidak diterima-terima.

Kadi kerajaan menjadi iri atas kemajuan mengajar Wa Lancar. Banyak murid Kadi kerajaan pindah tempat belajar ke Wa Lancar. Kepindahan itu membuat kadi kehilangan sebagian pemasukannya. Kemudian Kadi mengadukan Wa Lancar kepada Sultan dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat.

Pengaduan itu, menyebabkan Wa Lancar di hukum. Dia dihukum menikahi putri sultan yang sudah menikah sebanyak 17 kali. Tujuh belas suami putri sultan itu meninggal dunia sehari setelah ijab kabul. Walau takut terpaksa Wa Lancar menikahi putri sultan itu.

Pertama-tama Wa Lancar dan temannya dijamu di istana. Ketika itu, perut Wa Lancar terasa begitu lapar. Wa Lancar pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Kalau sudah lapar, jangan makan. Dengan segera Wa Lancar tidak makan. Beruntung Wa Lancar tidak makan. Sebab ternyata hidangan telah diracuni. Sehingga dia tidak mati, sementara temannya meninggal setelah makan.

Melihat Wa Lancar selamat, kembali rencana pembunuhan dilakukan. Kemungkinan Kadi kerajaan yang menjadi otak pembunuhan Wa Lancar. Keesokan harinya Wa Lancar diperintahkan ke suatu tempat. Di kawal oleh seorang prajurit. Karena perjalanan jauh membuat Wa Lancar menjadi lelah.

Dia pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Lelah berjalan, berhentilah. Dia pun berhenti dan pengawal itu terus berjalan. Tidak seberapa lama pengawal itu menjerit dan mati. Ternyata tempat yang diperintahkan itu, telah dipasang perangkap membunuh.

Setelah melewati dua aksi pembunuhan, tibalah Wa Lancar untuk masuk kamar putri yang sudah dia nikahi. Karena tuan putri sedang tidur dan keadaan sepi. Wa Lancar kemudian duduk berdiam diri di salah satu sudut kamar.

Saat itu, dia teringat pesan syeh yang ketiga yang dia datangi. “Ambil batu, ambil pisau, lalu asahlah.” Maka dari pada melamun Wa Lancar melakukan apa yang dia ingat. Pisau tajam, ketika itu, tiba-tiba datang lipan putih yang hendak menggigit Wa Lancar. Lansung saja, Wa Lancar menikam lipan putih sampai mati. Lipan itulah yang selama ini menewaskan suami-suami tuan putri karena mereka terlalu ceroboh dan terburu nafsu.

Akhirnya sang Kadi kerajaan yang dianggap membawa ajaran sesat. Sedangkan Wa Lancar setelah diuji pihak kerajaan tidak terdapat tanda mengajarkan ajaran sesat. Kemudian pernikahan Wa Lancar dirayakan karena tuan putri telah lepas dari lipan putih, penunggu badannya.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 22 November 2020.
Sumber: Informan Amir Bintang, lahir di Tanjung Pura 1927 bergama Islam dan berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic.

Jumat, 20 November 2020

Sastra Klasik Prototipe Bahasa Indonesi Modern: GURINDAM DUA BELAS

Jurnal Apero Fublic.- Gurindam Dua belas adalah sastra klasik yang ditulis oleh Raja Ali Haji seorang bangsawan Melayu di Kesultanan Riau Lingga. Gurindam Dua Belas yang selesai ditulis oleh Raja Ali Haji pada tahun 1846 Masehi, saat dia berusia 38 tahun.

Oleh Hasan Junus digolongkan sebagai puisi didaktik (sya’ir al-irsyadi) karena berisikan nasihat dan petunjuk yang diridhoi Allah. Raja Ali Haji menyampaikan inti dari hukum Al-Quran dan Hadis melalui sastra syair seperti Gurindam Dua Belas ini. Menggunakan cara orang-orang sufi yang sarat dengan makna tersirat.

Gurindam sama halnya dengan genre puisi. Gurindam dalam kebudayaan Melayu digunakan juga untuk menyebut lagu-lagu ratap atau orang akan berpisah. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji selalu disampaikan dengan cara disenandungkan atau dilagukan.

GURINDAM DUA BELAS
 
Ini Gurindam Pasal yang Pertama
 
Barang siapa tiada memegang agama.
Sekali-sekali tidak boleh dibilang nama.
 
Barang siapa mengenal yang empat.
Maka yaitulah orang yang ma’rifat.
 
Barang siapa mengenal Allah.
Suruh dan teganya tiada ia menyalah.
 
Barang siapa mengenal diri.
Maka telah mengenal Tuhan yang bahari.
 
Barang siapa mengenal dunia.
Tahulah ia barang yang terperdaya.
 
Barang siapa mengenal akhirat.
Tahulah ia dunia mudharat.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kedua.
 
Barang siapa mengenal yang tersebut.
Tahulah ia makna takut.
 
Barang siapa meninggalkan sembahyang.
Seperti rumah tiada bertiang.
 
Barang siapa meninggalkan puasa.
Tidaklah mendapat dua temasa.
 
Barang siapa meninggalkan zakat.
Tiadalah hartanya beroleh berkat.
 
Barang siapa meninggalkan haji.
Tiadalah ia menyempurnakan janji.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Ketiga
 
Apabila terpelihara mata.
Sedikitlah cita-cita.
 
Apabila terpelihara kuping.
Kabar yang jahat tiada damping.
 
Apabila terpelihara lidah.
Niscaya dapat daripadanya faedah.
 
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan.
Daripada segala berat dan ringan.
 
Apabila perut terlalu penuh.
Keluarlah fi’il yang tidak senono.
 
Anggota tengah hendaklah ingat.
Di situlah banyak orang yang hilang semangat.
 
Hendaklah peliharakan kaki.
Daripada berjalan yang membawa rugi.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keempat
 
Hati itu kerajaan di dalam tubuh.
Jikalau zalim segala anggota pun roboh.
 
Apabila dengki sudah bertanah.
Datanglah daripadanya anak panah.
 
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir.
Di situlah banyak orang tergelincir.
 
Pekerjaan marah jangan dibela.
Nanti hilang akal di kepala.
 
Jika sedikit pun berbuat bohong.
Boleh diumpahkan mulutnya di pekung.
 
Tanda orang yang amat celaka.
Aib dirinya tiada ia sangka.
 
Bakhil jangan diberi singgah.
Itulah perompak yang amat gagah.
 
Barang siapa yang sudah besar.
Janganlah kelakuannya membuat kasar.
 
Barang siapa perkataan kotor.
Mulutnya itu umpama ketor.
 
Dimana tahu salah diri.
Jika tidak orang lain yang berperi.
 
Pekerjaan takabur jangan direpih.
Sebelum mati didapat juga sepih.

*****
 
Ini Gurindam Pasal Yang Kelima
 
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa.
Lihat kepada budi dan bahasa.
 
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia.
Sangat memeliharakan yang sia-sia.
 
Jika hendak mengenal orang mulia.
Lihatlah kepada kelakuan dia.
 
Jika hendak mengenal orang yang berilmu.
Bertanya belajar tiadalah jemu.
 
Jika hendak mengenal orang yang berakal.
Di dalam dunia mengambil bekal.
 
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai.
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keenam
 
Cahari olehmu akan sahabat.
Yang boleh dijadikan obat.
 
Cahari olehmu akan guru.
Yang boleh tahukan tiap seteru.
 
Cahari olehmu akan istri.
Yang boleh menyerahkan diri.
 
Cahari olehmu akan kawan.
Pilih segala orang yang setiawan.
 
Cahari olehmu akan andi.
Yang ada baik sedikit budi.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Ketujuh
 
Apabila banyak berkata-kata.
Disitulah jalan masuk dusta.
 
Apabila banyak berlebih-lebihan suka.
Itulah tanda hampiran duka.
 
Apabila kita kurang siasat.
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
 
Apabila anak tidak dilatih.
Jika besar bapaknya letih.
 
Apabila banyak mencela orang.
Itulah tandanya dirinya kurang.
 
Apabila orang banyak tidur.
Sia-sialah sahajalah umur.
 
Apabila mendengar akan kabar.
Menerimanya itu hendaklah sabar.
 
Apabila mendengar akan aduan.
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
 
Apabila perkataan lemah-lembut.
Lekaslah semua orang mengikut.
 
Apabila perkataan yang amat kasar.
Lekaslah orang sekalian gusar.
 
Apabila pekerjaan yang amat benar.
Tidak boleh orang berbuat honar.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kedelapan
 
Barang siapa yang khianat akan dirinya.
Apalagi kepada lainnya.
 
Kepada dirinya dia aniaya.
Orang itu jangan engkau percaya.
 
Lidah yang suka membenarkan dirinya.
Daripada yang lain dapat kesalahannya.
 
Daripada memuji diri hendaklah sabar.
Biar daripada orang datangnya kabar.
 
Orang suka menampakkan jasa.
Setengahnya syirik mengaku kuasa.
 
Kejahatan diri sembunyikan.
Kebajikan diri diamkan.
 
Ke’aiban orang jangan dibuka.
Ke’aiban diri hendaklah sangka.
*****
Ini Gurindam Pasal Yang Kesembilan.
 
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan.
Bukannya manusia yaitulah syaitan.
 
Kejahatan seorang perempuan tua.
Itulah iblis punya punggawa.
 
Kepada segalah hamba-hamba raja.
Di situlah syaitan tempat manja.
 
Kebanyakan orang yang muda-muda.
Di situlah syaitan tempat bergoda.
 
Perkeumpulan laki-laki dan perempuan.
Di situlah syaitan punya jamuan.
 
Adapun orang tua yang hemat.
Syaitan tak suka membuat sahabat.
 
Jika orang muda kuat berguru.
Dengan syaitan jadi seteru.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kesepuluh.
 
Dengan bapa jangan durhaka.
Supaya Allah tidak murka.
 
Dengan ibu hendaklah hormat.
Supaya badan dapat selamat.
 
Dengan anak jangan lalai.
Supaya boleh naik ke tengah balai.
 
Dengan istri dan gundik janganlah alpa.
Supaya kemaluan jangan menerpa.
 
Dengan kawan hendaklah adil.
Supaya tangannya jadi kapil.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang kesebelas.
 
Hendaklah berjasa.
Kepada yang sebangsa.
 
Hendaklah jadi kepala.
Buang perangai yang cela.
 
Hendaklah memegang amanat.
Buanglah khianat.
 
Hendak marah.
Dahulukan hujah.
 
Hendak dimalui.
Jangan melalui.
 
Hendaklah ramai.
Murahkan perangai.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keduabelas.
 
Raja mufakat dengan menteri.
Seperti kebun berpagarkan duri.
 
Betul hati kepada raja.
Tandalah jadi sembarang kerja.
 
Hukum adil atas rakyat.
Tanda raja beroleh ‘inayat.
 
Kasihkan orang yang berilmu.
Tanda rahmat atas dirimu.
 
Hormat akan orang yang pandai.
Tanda mengenal kasa dan cindai.
 
Ingatkan dirinya mati.
Itulah asal berbuat bakti.
 
Akhirat itu terlalulah nyata.
Kepada hati yang tidak buta.

*******

Gurindam Dua Belas sastra klasik dari Melayu Riau. Menjadi kesastraan acuan dalam membangun Bahasa Indonesia sekarang. Tata bahasa Gurindam Dua Belas menjadi rujukan penulisan kosa kata dalam Bahasa Indonesia.

Gurindam Dua Belas menjadi sangat terkenal karena tata bahasanya sudah sempurna. Dari berkembangnya kesastraan Melayu di Riau Kolonial Belanda melakukan penelitian bahasa Melayu.

Bahasa Melayu tersebut dinamakan Bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Tulis. Bahasa Melayu tersebar diseluruh Indonesia yang digunakan di pasar-pasar dan komunikasi antar penduduk Nusantara sejak zaman Kedatuan Sriwijaya atau jauh lebih dari zaman Sriwijaya.

Bahasa Melayu tersebar dengan berbagai dialog dinamakan bahasa Melayu Rendah. Bahasa Melayu Rendah dapat juga diartikan bahasa Indonesia yang belum dibakukan. Contoh: Ape, apE, Apo, Opo, bahasa Melayu Rendah, kemudian ditetapkan menjadi Apa yaitu bahasa Melayu Tinggi atau bahasa tulis.

Rewrite: Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 21 November 2020.
Sumber: Ahmad Dahlan. Sejarah Melayu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014.

Sy. Apero Fublic.

Kamis, 19 November 2020

Legenda Asal-Usul Nama Kota Magelang

Jurnal Apero Fublic.- Tersebutlah dahulukala sewaktu Kesultanan Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya, sebelumnya pernah terjadi perselisihan hebat antara Sultan Hadiwijaya dengan Arya Penansang dari Jipang. Perselisihan tidak terselesaikan, maka peperangan terjadi yang memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.

Dalam menghadapi Arya Penansang, Sultan Hadiwijaya menunjuk putra angkatnya Danang Sutawijaya yang menjadi Senopati perang pasukan Pajang, didampingi oleh Ki Gede Pemanahan. Sebelum berangkat Danang Sutawijaya bahwasanya dalam peperangan jangan menyeberang sungai, karena akan menyebabkan sial, atau kalah oleh musuh.

Singkat cerita, peperangan terjadi dengan hebat antara pasukan Pajang dan pasukan Arya Penansang. Pertarungan terjadi antara Danang Sutawijaya dan Arya Penansang. Arya Penansang akhirnya kalah oleh Danang Sutawijaya terkenah tusukan tombak yang bernaman, tombak Kyai Plered. Kemudian Danang Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan melaporkan kemenangan pada Sultan Hadiwijaya.

Sultan sangat bergembira mendengar laporan kematian Arya Penansang yang terkenal sombong dan keras kepala. Sebagai penghargaan Sultan memberikan tanah pada Danang Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan di daerah hutan Mentok. Waktu berlalu, Danang Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan membangun daerah hutan Mentok yang dihadiakan Sultan pada keduanya. Lama kelamaan daerah menjadi ramai dan keadaan perpolitikan berbeda. Daerah menjadi sebuah pusat Kesultanan yang dikenal dengan, Kesultanan Mataram. Danang Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senopati.

Karena perjuangan yang gigih, Kesultanan Mataram kemudian menjadi kuat dan besar.  Kemudian mulai melakukan perluasan wilayah Mataram. Maksudnya dia sampaikan pada penasihat Kesultanan, Ki Gede Pemanahan. Saran Ki Gede Pemanahan, sebelum melakukan ekspansi ke luar wilayah. Sebaiknya dilakukan persiapan pengokohan ketahanan Kesultanan, baik dari segi militer dan pangan. 

Waktu berlalu, persiapan telah rampung. Rencana untuk membuka hutan Kedu dilaksakan. Waktu itu, hutan Kedu adalah hutan lebat yang penuh semak belukar, serta didiami sebuah kerajaan jin. Raja kerajaan jin bernama, Jin Sepanjang. Hutan angker, siapa yang memasukinya akan mati atau hilang.

Untuk keperluan membuka hutan Kedu, telah disipakan pasukan Mataram dan semua perlengkapannya. Pemimpin pasukan Mataram, Pangeran Purbaya. Dia pangeran yang sakti serta mampu terbang di udara. Dia dibantu oleh saudaranya, Raden Kuning dan Raden Kerincing. Juga para senopati Mataram lainnya. Ikut serta Temenggung Mertoyudo, Temenggung Singoranu dan lainnya. Setelah sampai di hutan Kedu, maka mulailah pengerjaan membuka hutan Kedu.

Raja kerajaan jin sangat marah dan tidak terkendali melihat hutan wilayah kerajaan dibuka oleh pasukan Mataram. Raja jin, Sepanjangan memimpin pasukannya menyerang pasukan Mataram. Pertempuran hebat terjadi antara pasukan kerajaan jin dengan pasukan Kesultanan Mataram.

Kemudian pasukan jin Sepanjangan dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram. Raja kerajaan jin, bernama Jin Sepanjangan melarikan diri bersama sisa-sisa pasukannya. Dalam pelariannya, Jin Sepanjangan bersumpah akan melakukan balas dendam. Sementara itu, pasukan Mataram terus mengejar sisa-sisa pasukan jin. Sehingga dapat menghancurkan semuanya.

*****

Di sekitar kawasan itu, terdapat sebuah desa. Sebuah keluarga bahagia dan sederhana hidup tenang di desa itu, keluarga Kyai Keramat. Istrinya bernama Nyai Bogem yang mempunyai seorang anak gadis bernama, Rara Rambat. Suatu hari, Rara Rambat sedang berada di hutan mencari dedaunan dan bunga-bunga untuk ramuan obat, di hutan sekitar desanya bersama pengasunya.  Tanpa di sangka, Rara Rambat bertemu seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Pemuda itu, ternyata sudah dari tadi memperhatikan Rara Rambat dan pengasunya. Melihat kecantikan Rara Rambat membuat si pemuda menyukainya. Lalu datang menghampiri dan menyapa, kemudian menyatakan kalau mau melamar Rara Rambat. Rara Rambat dengan naluri kewanitaannya merasa malu. Kemudian dia segera berlari pulang kerumah diikuti pengasuhnya. Si Pemuda mengikuti sampai di rumah Rara Rambat.

Pemuda tersebut datang bertamu ke rumah Rara Rambat. Disambut oleh orang tua Rara Rambat, Kyai Kramat dan Nyai Bogem. Pemuda itu memperkenalkan dirinya, dia bernama Raden Kuning, saudara Pangeran Purbaya dan Raden Grinsing, Putra dari Panembahan Senopati, Sultan Mataram. Raden Kuning ikut pengejaran sisa-sisa pasukan Jin Sepanjangan. Dia tersesat dan terpisah dari pasukannya. Sehingga dia tersesat dan berjumpa dengan Rara Rambat di hutan.

Kyai Kramat dan Nyai Bogem mengerti kalau pemuda gagah itu ternyata seorang Putra Sultan. Saat ditanyai maksud dan tujuan mampir di rumah mereka yang sederhana itu. Raden Kuning menyatakan kalau dia hendak melamar Rara Rambat untuk menjadi istrinya. Kyai Kramat dan istrinya merasa gembira mendengar kabar baik itu. Maka keduanya merestui pernikahan Raden Kuning dan Rara Rambat.

Tidak lama kemudian setelah sampai pada hari baik dan tanggal yang baik untuk pernikahan. Maka Raden Kuning dan Rara Rambat dinikahkan, dengan acara yang sederhana. Apabila keadaan sudah membaik dan perang berakhir. Raden Kuning berjanji akan membawa Rara Rambat dan kedua orang tuanya ke istana.  Suasana keluarga Kyai Kramat bahagia dan tentram.

*****

Sementara itu, si Raja Jin, Jin Sepanjangan yang berlari terbirit-birit karena dikejar pasukan Mataram beristirahat dibawa serumpun bambu diatas bukit tinggi. Duduk merenungi nasib dirinya dan kerajaannya. Berpikir apa rencananya berikutnya. Saat itu, dia melihat sebuah pedesaan manusia. Desa itulah tempat tinggal Kyai Kramat. Jin Sepanjangan memutuskan menyamar menjadi manusia, dengan nama Sonta.

Suatu hari, kembali rumah Kyai Kramat kedatangan lelaki muda. Lelaki itu mengaku bernama Sonta dan banyak berbincang dengan Kyai Kramat dan istrinya. Setelah itu, lelaki bernama Sonta memohon untuk diterima mengabdi pada Kyia Kramat. Karena merasa kasihan, akhrinya Kyai Kramat menerima Sonta mengabdi padanya. Sonta jelmaan Jin Sepanjangan merasa sangat gembira. Sebab dengan begitu dia dapat dengan mudah menyerang pasukan Mataram.

Dalam pandangan Kyai Kramat, Sonta adalah abdi yang rajin dan baik. Namun dibalik itu, Sonta si jelmaan Raja Jin memulai melakukan serangan pada orang-orang Mataram. Dengan kesaktiannya, serangan pertama dia memunculkan wabah di tengah pasukan Mataram. Bukan hanya pasukan Mataram, tetapi juga penduduk desa juga terkena wabah ciptaan Sonta si jelmaan Jin Sepanjangan. Banyak prajurit dan penduduka mendadak sakit keras, mati mendadak dan menjadi gila tiba-tiba. Maka, malapetaka hadir diseluruh desa Kyai Kramat dan pasukan Mataram.

Berita musibah sampai ke Pangeran Purbaya, dia menjadi resah dan khawatir. Kemudian Pangeran Purbaya segerah pulang ke Kraton Mataram. Menceritakan semua apa yang terjadi di hutan Kedu dan di Desa Kyai Kramat pada Panembahan Senopati, yang membuat Panembahan menjadi sangat sedih. Beliau kemudian bersemadi lalu menghubungi Nyai Rara Kidul yang bersemayam di Laut Selatan, untuk meminta nasihatnya. Atas nasihat Nyai Rara Kidul yang juga bangsa jin.

Panembahan Senopati dapat memberikan nasihat kepada Pangeran Purbaya untuk mengatasi masalah wabah tersebut. Setelah itu, Pangeran Purbaya kembali ke kawasan hutan Kedu dan langsung menemui Kyia Keramat. Kyai Kramat akhirnya mengetahui penyamaran Sonta, dan dia memarahi habis-habisan Sonta. Sonta yang masih pura-pura diam saja. Saat ada kesempatan dai segerah melarikan diri karena orang-orang sudah mengetahui penyamarannya.

Sonta menghilang dan tidak mau bertanggung jawab. Kyai Keramat kemudian mengejarnya dan dapat menemukan Sonta. Saat itulah, Sonta kemudian kembali ke wujud aslinya. Lalu terjadi perang tanding antara Kyai Kramat dan Jin Sepanjangan. Pangeran Purbaya terlambat datang membantu, dan menemukan jenazanya terbunuh ditangan Jin Sepanjangan. Atas perinta Pangeran Purbaya jenaza Kyai Kramat dimakamkan di tempat meninggalnya. Kemudian sekitar itu berdiri sebuah desa yang dinamakan Desa Keramat.

Nyai Bogem yang menuntut balas atas tewasnya suaminya. Pergi mengerjar Sonta jelmaan Jin Sepanjangan. Kemudian dia menemukan Sonta dan terjadilah pertarungan sengit. Ternyata Nyai Bogem seorang pendekar wanita. Tapi Nyai Bogem bukan tandingan Jin Sepanjangan, sehingga Nyai Bogem dibunuh oleh Sonta jelmaan Jin Sepanjangan. Kembali, Pangeran Purbaya terlambat datang dan dia menjumpai jenazah Nyai Bogem. Atas perintanya juga dikubur ditempat meninggalnya. Beberapa waktu kemudian berdirilah sebuah desa yang diberi nama, Desa Bogeman. Untuk mengenang kesetiaan seorang istri pada suaminya.

Pangeran Purbaya memerintahkan Temenggung Mertoyuda untuk membunuh Sonta si jelmaan Raja Jin. Tapi kesaktian Temenggung masih dibawah Jin Sepanjangan alias Sonta. Temenggung juga gugur dan dimakamkan dimana jenazanya tergeletak. Kemudian disekitar itu berdiri sebuah desa, yang dinamakan Desa Mertoyudan, untuk mengenang Temenggung Mertoyuda.

Raden Krincing marah besar atas meninggalnya Temenggung Mertoyuda. Dia sebagai seorang Senopati merasa tersinggung. Maka tanpa pikir panjang dia langsung berangkat untuk memburu Jin Sepanjangan. Sebelum berangakat Pangeran Purbaya mencegah dan memperingatkan kalau Raden Krincing tidak setingkat dengan Jin Sepanjangan. Tapi dia seorang prajurit yang akan terus maju. Benar dugaan Pangeran Purbaya, Raden Krincing akhirnya juga terbunuh oleh Raja Jin Sepanjangan alias Sonta. Pangeran Purbaya bersedih hati atas kematian adiknya. Untuk mengenang itu, desa disana dinamakan Desa Krincing.

Setelah itu, Pangeran Purbaya langsung mencari Sonta jelmaan Raja Jin Sepanjangan. Saat berjumpa keduanya bertarung hidup mati. Kesaktian keduanya sangat luar biasa. Pertempuran keduanya memakan waktu lama dan menghancurkan sekelilingnya. Akhirnya si Sonta dapat dikalahkan dan tewas di tangan Pangeran Purbaya. Namun tewas tersebut hanya dalam bentuk penyamarannya sebagai si Sonta. Dia kembali sebagai Jin Sepanjangan seutuhnya lalu kemudian melarikan diri. Di tempat tewasnya wujud penyamaran Jin Sepanjangan, si Sonta, dinamakan Desa Santan.

Pangeran Purbaya mengetahui akal bulus Jin Sepanjangan, hampir dia tertipu. Kemudian dia kembali mengejar Jin Sepanjangan. Pertarungan kembali terjadi dan kembali Jin Sepanjangan tewas. Tiba-tiba hutan Kedu menjadi gelap berawan. Lama kelamaan gelap perlahan menjadi terang lagi. Sementara mayat jin Sepanjangan menghilang musnah. Saat diamati di tempat mayat Jin Sepanjangan tergeletak tadi tergelatak sebuah tombak hitam, dan sakti.

Pangeran Purbaya tidak bermaksud membawa tombak itu ke Mataram. Walau tombak itu bertuah dan sakti. Sebab tombak itu hasil perwujudan dari watak yang tidak baik. Kemudian Pangeran Purbaya mengubur tombak itu. Oleh karena itulah, desa di sana dinamakan Desa Sepanjangan. Pangeran Purbaya berkata, “Barang siapa bertapa, lalu merentangkan tangan pada kuburan tombak tersebut, akan terkabul maksud dan tujuannya.” Mitos tersebut masih ada saja yang percaya.

*****

Saat terjadinya pengepungan pasukan Mataram yang sangat ketat pada Sonta. Istilah kepungan yang rapat oleh Pasukan Mataram menyebutnya dengan istilah bahasa Jawa, “kepung gelang.” Istilah tersebut diambil dari gelang yang bersusun rapat, gelang-Menggelang.” Oleh karena itulah, Pangeran Purbaya menamakan daerah tersebut dengan Magelang. Waktu berlalu, kawasan tersebut tumbuh menjadi sebuah kota yang ramai. Penduduk datang untuk berdagang dan Kota Magelang menjadi besar.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 20 November 2020.
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cerita Rakayat Daerah Jawa Tengah. Jakarta, 1982.

Sy. Apero Fublic.