Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic (JAF) merupakan jurnal tentang humaniora membahas, budaya, sastra, sejarah, arkeologi, antropologi, hukum, psikologi, filologi, teologi, arkeologi, seni, filsafat, dan linguistik.

Penerbit

Penerbit Buku PT. Media Apero Fublic: Menerbitkan buku novel. komik. buku anak. umum. ajar. penelitian. buku instansi. ensiklopedia. majalah. koran. jurnal. tabloid. dan lain-lain.

Apero Book

Apero Book adalah toko buku yang menjual semua jenis buku (tulis dan baca) serta semua jenis ATK. Toko Online dan Ofline.

Apero Popularity

Apero Popularity adalah layanan iklan usaha, bisnis, dan figur. Membantu jalan karir dan provesi anda menuju kepopuleran. Tak Apero Tak Populer.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis asli Sumatera Selatan. Menyajikan informasi seputar Sumatera Selatan.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic (BAF) Tulisan segar dengan ide-ide baru, dan pemikiran baru. Ungkapkan semua isi kepala Anda.

Apero Fublic

Apero Fublic (AF) merupakan merek usaha bidang jurnalistik dari PT. Media Apero Fublic.

PT. Media Apero Fublic

Perusahaan Publikasi dan Informasi.

Tabloid Apero Fublic

Tabloid Apero Fublic (TAF) merupakan majalah informasi Muslimah.

Selasa, 26 Juli 2022

SASTRA LISAN: Sawirigadi di Togo Motondu Lasalimu

JURNAL SASTRA APERO FUBLIC.- lkisah, hiduplah seorang raja yang bernama La Tolowu yang memerintah sebuah negeri. Raja La Tolowu hidup makmur dan rukun dengan permaisurinya dan sangat dicintai rakyatnya. Demikianlah semua rakyatnya patuh dan tunduk padanya. Permaisuri seorang wanita yang cantik jelita, badanya ramping, wajah bercahaya bak bulan purnama.

Sekarang permaisuri sedang hamil tua. Tidak berapa lama kemudian dia pun melahirkan kembar, satu laki-laki satu perempuan. Raja terkejut ketika mendengar kalau permaisurinya melahirkan dua anak sekaligus. Sebab, belum pernah ada ceritanya wanita melahirkan kembar di negeri mereka selama ini. Anak laki-laki dinamakan Sawirigadi dan anak perempuan dinamai Wadingkawula. Kelahiran kembar adalah hal ajaib bagi masyarakat negeri La Tolowu. Jangankan melihat, mendengar kelahiran kembar saja mereka belum pernah. Hal demikian membuat raja menjadi khawatir dan gusar. Dia memerintahkan pelayannya untuk mengundang para ahli nujum ke istana.

“Saya mengundang paman-paman semua ke istana, untuk meramalkan nasib anak laki-laki ku itu, karena lahir bersama kembar perempuan.” Kata raja setelah para ahli nujum hadir semua di hadapan beliau.

Mendengar perintah sang raja mereka. Maka mereka mulai bekerja untuk mencari tahu tentang nasib anak laki-laki raja. Mereka mulai membuka kitab kesaktian masing-masing. Beberapa saat kemudian, semua ahli nujum mulai menggeleng-geleng kepala mereka.

“Kenapa kalian menggeleng-geleng semua.” Tanya raja.

“Ampun tuanku, penglihatan kami dari kitab kami masing-masing  menunjukkan kalau kedua anak tuanku tidak boleh tinggal bersama-sama dipelihara dalam negeri kita, karena yang laki-laki kelak setelah dewasa akan mendapat bala dan kesukaran besar kalau tidak dipisakan. Demikian pula negeri ini akan binasa. Setelah mendengar semua ramalan ahli nujum, raja menjadi sedih dan serba salah. Namun, akhrinya mereka memutuskan untuk membuang anak laki-laki raja bernama, Sawirigadi.

Kemudian dibuatlah sebuah rakit dan perlengkapannya untuk tempat menghanyutkan Sawirigadi. Diringi upacara besar, dihadiri pembesar istana, hulubalang kerajaan, dan para tetua adat, rakyat dan tentu raja dan istrinya. Watu itu, arus muara sungai deras sekali sehingga sebentar saja rakit Sawirigadi menghilang meninggalkan negeri kelahirannya. Di bawa ombak laut, rakit Sawirigadi terdampar di pantai Luwu,  Sulawesi. Sawirigadi ditemukan seorang nelayan yang tidak punya anak, lalu mengangkat Sawirigadi menjadi anaknya.

Sawirigadi mendapat kasih sayang dari kedua orang tua angkatnya. Dia di manja dan menjadi anak ceria. Tibalah waktu Sawirigadi menjadi pemuda yang dewasa. Saat besar, Sawirigadi terpikirkan untuk membantu orang tuanya, dan tidak hidup menunggu di rumah saja. Suatu hari dia berpamitan dengan orang tuanya untuk pergi merantau. Orang tua angkatnya mengizinkan, dan berlayarlah dia sampai tiba di Mandar, pantai Barat Sulawesi. Tinggalah dia di Mandar, karena sikap dan sifatnya yang baik dan pandai bergaul. Sawirigadi akhirnya menjadi kesayangan masyarakat Mandar.

Ada seorang saudagar kaya di Mandar yang memberikan kepercayaan pada Sawirigadi untuk membantunya berdagang. Dia diangkat menjadi nahkodah kapal saudagar itu. Selain itu, Sawirigadi juga pandai berdagang. Sehingga perdagangan mereka menjadi untung dan terus maju berkembang.

Melihat keadaan demikian Saudagar itu mengangkat Sawirigadi menjadi saudagar juga. Kemudian memerintahkan dia membuka perdagangan di Wolio. Maka berlayarlah dia bersama teman-temannya menuju tanah Wolio. Sebelumnya saudagar kaya itu juga sering berdagang di Wolio.

Tibalah Sawirigadi di Wolio, dia membawa anak buahnya kedarat dan berdagang. Kemudian barang dagangan mereka habis karena memang dibutuhkan oleh rakyat negeri Wolio. Sementara Sawirigadi berjalan-jalan dan dia bergaul dengan banyak pemuda. Tampak dia bermain dan berbincang-bincang dengan pemuda di sekitar rumah raja Wolio.

Pada saat itu, mereka bermain raga di halaman rumah raja. Dari dalam istanah keluarlah seorang gadis cantik, kulitnya kuning langsat. Dia tampak mengangkat jemuran di halaman istanah. Sawirigadi melihat gadis cantik itu, dia pun jatuh cinta. Keesokan harinya kembali Sawirigadi datang bermain raga. Melihat gadis cantik itu, terpikirkan bagaimana dia mendekatinya. Sawirigadi kemudian memasukkan cincinnya ke dalam bola raga, lalu dia tending ke jendela kamar putri cantik itu. Ketika melihat raga jatuh di pangkuannya putri cantik itu mengambilnya. Dia melihat ada sebuah cincin dan dia pasangkan di tangannya. Putri itu kemudian melepaskan cincinnya dan memasukkan kedalam bola raga. Saat dilempar dan di tangkap Sawirigadi dia juga melihat cincin yang berbeda. Saat dia kenakan di jari manisnya, cincin itu sesuai dan pas di jari-jari keduanya. Keduanya akhirnya saling mencintai dan berhasrat besar. Maka Sawirigadi memberanikan diri untuk melamar putri cantik itu. Dia membawa banyak harta dan buah-buahan sebagai tanda lamaran. Namun, lamaran ditolak oleh raja. Walau demikian, Sawirigadi tidak mau menyerah.

Tanpa sepengetahuan Sawirigadi, raja mengetahui tentang cincin yang ditukar oleh putrinya Wadingkawula beberapa waktu lalu. Dari cerita putrinya, kalau cincin keduanya sangat pas di jadi manis mereka, tidak longgar dan tidak sempit. Raja juga mengenali cincin tersebut dan menduga kalau yang melamar anaknya, adalah anaknya sendiri yang dia buang puluhan tahun lalu.

Sawirigadi merasa dipermalukan karena lamarannya ditolak raja. Diambilah keputusan yang berat, dia lebih baik mati daripada tujuannya tidak tercapai. Dia memerintahkan semua teman dan pengikutnya untuk bersiap. Kemudian dia menerobos ke istana raja dan menuju kediaman putri Wadingkawula. Setelah itu, dia menggendong putri Wadingkawula ke hadapan raja. Sehingga raja tidak dapat menolak lagi dan terpaksa menikahkan Sawirigadi dengan putrinya Wadingkawula. Pernikahan itu, kemudian dimeriahkan dengan pesta besar dan ramai.

Pesta pernikahan selesai sudah. Namun ada hal yang terjadi sangat buruk. Hujan mulai turun dengan lebat dan angina topan datang bertiup kencang. Petir menyambar-nyambar, guntur menggelegar dan kilat berkelipan. Seluruh negeri menjadi gelap gulita bagaikan malam terus. Pada awalnya orang mengira kalau itu hujan biasa. Namun akhirnya kejadian itu pun berlanjut sampai tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, negeri itu pun tenggelam dan hilang di dalam laut.

Orang La Salimu menyebut negeri yang tenggelam itu dengan, Togo Montondu. Dikisahkan juga untuk mereka yang selamat dari malapetaka itu pergi ke Ambua di daratan La Salimu. Sebagian lagi yang selamat pergi dan tinggal di Kamaru. Menurut kisah, Sawirigadi dan Wadingkawula berubah wujud menjelma menjadi buaya.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Melinda
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 8 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

 Sy. Apero Fublic

Minggu, 24 Juli 2022

Dongeng: SI Kera dan Si Bangau

JURNAL APERO FUBLIC.- Pada suatu hari, seekor kera mengajak bangau pergi ke laut untuk mencari ikan.

“Tidak mau, saya takut sebab diriku masih kecil.” Jawab bangau.

“Kana da saya, nanti kalau ada manusia saya yang akan menggigitnya.” Kata kera membujuk burung bangau. Bangau akhirnya setuju dan mereka pergi ke laut dan mencari ikan. Beberapa saat kemudian bangun pun banyak mendapat ikan. Sementara kera tak seekor pun mendapat ikan. Kera tidak pandai mencari ikan. Kakinya lebar, saat menginjak air langsung air terguncang dan ikan lari. Kalau bangau tidak, kakinya kecil dan tinggi. Bangau termasuk hewan pemburu ikan.

Kera, yang memiliki sifat jahat dan iri dengki itu, menjadi iri melihat keberhasilan bangau. Kera mendekati bangau dan menangkapnya. Kemudian ikannya dia rampas dan bulu-bulu bangaun dia cabuti, begitu juga bulu badan angsa. Setelah itu, kera pulang meninggalkan bangu yang kedingin karena bulunya sudah habis dicabuti kera. Dia pun tidak dapat terbang lagi. Kera tiba di rumah, semua ikan yang dia dapati dari bangau dimasaknya. Kemudian dimakannya dengan lahap dan habis.

“Hai kera, dimana anakku Bangau. Mengapa hari sudah malam belum juga pulang ke rumah.

“Tidak tahu, tadi sudah saya panggil diajak pulang, tapi dia tidak mau.” Jawab kera berbohong. Mendengar jawaban si kera, ibu bangau menjadi khawatir dan terbang menuju pantai. “apa mungkin anakku diterkam hewan buas, atau ditangkap manusia.” Pikir ibu bangau dalam perjalanan menuju pantai. Ibu bangau terbang rendah mencari-cari anaknya, dan bertemu. Tampak diam dan tidak bergerak.

“Kau kenapa anakku. Kasihannnnnya?.” Kata ibu Bangau.

“Ikanku habis dirampas kera, kemudian dia mencabuti bulu-buluku sampai habis.” Jawab anak bangau. Ibu bangau marah besar, kemudian dia membawa anaknya pergi ke sebuah gua batu. Setiap hari dia merawat dan memberi makan anaknya. Sampai akhirnya bulu-bulu anak bangau tumbuh seperti semua dan dia dapat terbang tinggi lagi. Setelah itu, barulah mereka pulang ke rumah mereka.

Ibu bangau menceritakan kejadian yang menimpa anaknya pada tetangga-tetangganya. Kemudian mereka bersepakat untuk memberi hukuman pada kera yang jahat. Si bangau kemudian mengajak kera menangkap ikan di suatu pulau yang banyak ikannya. Semua kawanan kera yang mau ikut diajak, termasuk kera yang dulu berbuat jahat pada anak bangau.

Mereka kemudian naik perahu dan mulai menyeberangi lautan menuju pulau yang dituju. Banyak sekali kawanan kera yang ikut. Di tengah-tengah lautan, kawanan bangau mulai mematuk dinding kapal. Kemudian membuat kapal menjadi bocor. Saat perahu hampir tenggelam, semua bangau beterbangan ke udara meninggalkan perahu. Semua kera mati lemas, hanya tertinggal satu yang belum mati yaitu si kera yang mencabuti bulu anak bangau. Namun, kera yang pernah mencabuti bulu anak bangau ternyata selamat. Dia kemudian sampai di sebuah pulau. Dia tiba di pulau itu dengan badan yang basah kuyup.

“Dari mana ekau kera.” Tanya ulat bulu.

“Aku baru tiba dari Pulau Jawa.” Jawab kera.

“Bohong sekali kau ini kera, bagaimana kau bisa kemari  kalau demikian.Barangkali kau baru saja dari kebun mengambil buah-buahan prang.” Jawab Ulat bulu. Ketika mendengar kata-kata ulat bulu, membuat kera menjadi marah.

“Awas, nanti ku siksa seperti bangau.” Kata hati kera. Kera kemudian berkata. “Ulat bulu, lancing sekali mulutmu. Nanti kau kumasukkan kedalam hidungku.” Kata kera menakut-nakuti ulat bulu.

“Omong kosong, kau tidak akan berani. Coba saja.” Kata ulat Bulu menantang kera. Kera menjadi semakin marah dan dia menangkap ulat bulu lalu dia masukkan ke dalam hidungnya. Ulat bulu kemudian terus masuk ke dalam hidung kera kera jahat itu.

“Ulat bulu, saya hanya main-main. Tidak serius, kasihani Aku.” Teriak kera yang merasakan sakit yang amat sangat karena ulat bulu memakan otaknya. Ulat bulu tidak peduli dengan teriakan kera, sampai akhirnya kera meninggal karena itu.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Arip Muhtiar, S. Hum.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 25 Juli 2022.
Sumber. M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

Putri Satarina dan Tujuh Bidadari

JURNAL APERO FUBLIC.- Suatu masa, hiduplah sepasang suami istri yang bahagia. Memiliki seorang anak perempuan bernama, Satarina. Namun kebahagiaan keluarga kecil itu berakhir, saat istrinya jatuh sakit. Setelah berusaha diobati, namun sakit terus bertambah parah dan akhirnya meninggal dunia. Ayah dan anak begitu kehilangan dan bersedih.

Beberapa waktu kemudian, ayah Satarina merasa kehidupan keluarga sangat kerepotan. Untuk itu, dia berencana untuk menikahi sehingga dia dapat mengurus anaknya Satarina dengan baik. Kemudian menikahlah ayah Satarina dengan seorang janda yang memiliki anak perempuan juga bernama, Katarina.

Satarina tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan baik perangainya. Sementara Katarina keadaan sebaliknya, wajahnya tidak cantik dan matanya membelalak. Ditambah juga perangainya tidak baik. Waktu berlalu cepat, akhirnya Satarina yang cantik dan baik cepat mendapat jodoh. Sementara Katarina sudah lama tidak ada yang melamar. Melihat keberuntungan hidup Satarina demikian, ibu tiri dan adik tiri Katarina menjadi iri. Timbulah niat jahat di dalam hati mereka.

Satarina kemudian melahirkan seorang anak. Ibu tiri Satarina sering memandikan anak satarina dengan air hangat. Suatu hari, ayah dan suami Satarina sedang tidak ada di rumah. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Ibu tiri Satarina untuk berbuat jahat. Dia kemudian mengajak Satarina mandi di sungai. Sementara Katarina saudara tirinya menjaga anak Satarina. Tiba di sungai, Satarina menolak untuk turun mandi ke sungai. Karena dia tidak bisa berenang.

“Tidak apa-apa, kita mandi di pinggir sungai saja.” Kata ibu tirinya memaksa, dan akhirnya Satarina menuruti saja. Mandilah di pinggiran sungai yang surut. Tanpa disangkah-sangkah, ibu tiri Satarina mendorong tubunya ke tengah dimana air dalam dan deras. Sehingga Satarina akhirnya meninggal karena lemas. Setelah yakin Satarina telah meninggal, ibu tirinya pulang ke rumah.

“Katarina, kau sekarang menyamarlah menjadi Satarina. Saat suami Satarina pulang, kau masuk kamar mereka dan tutup pintu jendela.” Kata Ibu Katarina. Katarina menuruti perintah ibunya, dia juga merasa senang. Pulanglah ayah dan suami Satarina.

“Ibu, dimana Satarina.” Tanya suaminya.

“Satarina di kamar, bersama anaknya.” Jawab ibu tiri Satarina. Saat masuk kamar, keadaan kamar gelap gulita karena jendela tertutup rapat.

“Alangkah gelapnya, Dinda. Bukalah pintu Aku tidak dapat melihat dengan jelas.” Kata suami Satarina.

“Jangan dulu, Kanda. Mataku sedang sakit, jadi silau melihat cahaya.” Jawab Katarina, suami Satarina tidak menyadari kalau itu bukan istrinya Satarina, tapi Katarina adik tirinya. Pada suatu hari, datanglah undangan keluarga. Untuk itu, Katarina memakai pakaian Satarina dan memakai penutup wajah sehingga hanya matanya yang terlihat. Setelah acara selesai mereka pulang dan kembali kedalam kamar yang gelap.

*****

Sementara itu, setelah tubuh Satarina tenggelam lemas di dalam sungai. Dari langit turun tujuh bidadari menuju sungai untuk mandi. Saat masuk kedalam sungai salah satu dari mereka menemukan tubuh Satarina dibawa arus sungai. Setelah mandi, tujuh bidadari itu membawa Satarina ke langit dimana istana mereka. Di sana tubuh Satarina kemudian disiram dengan air kehidupan. Sehingga Satarina kemudian menjadi hidup kembali. Lalu mereka memasangkan sayap pada tubuh Satarina.

Seperti biasa, ketujuh bidadari itu akan mandi. Pada suatu malam yang cerah, mereka pergi mandi ke sungai seperti biasa. Satarina dibawa juga dan dia sekarang bisa terbang. Selesai mandi, Satarina meminta izin untuk menyusui anaknya di rumah.

“Oh, kau sudah punya anak, Satarina.” Tanya seorang Bidadari.

“Iya, saya sudah punya seorang anak. Aku akan menyusuinya, kiranya dia sudah lapar.” Jawab Satarina. Sebelum pulang Satarina menceritakan kejadian yang menimpanya sebelum ditemukan oleh tujuh bidadari itu. Dia punya suami, anak, ayah, ibu tiri dan saudara tiri. Sampai hari itu, dia didorong ibu tirinya ke air sungai yang dalam. Karena tidak bisa berenang dia lemas di dalam air, dan meninggal dunia.

“Terimakasih kalian sudah membantu dan menyelamatkanku.” Kata Satarina, dan semuanya mengiakan serta ikut bersedih atas kejadian buruk menimpa Satarina.  Ketujuh bidadari itu memberikan izin untuk menyusui anaknya. Syaratnya tidak boleh lama-lama di rumanya. Sebab dia sekarang sudah menjadi bidadari juga.

Satarina tiba di rumahnya, dia menggendong anaknya. Rasa rindu dan sayang terobati dan tidak henti-hentinya dia mencium anaknya. Rasanya dia tidak mau berpisah lagi. Lupalah Satarina dengan janjinya agar tidak berlama-lama. Tujuh bidadari menjadi khawatir karena hari sudah menjelang pagi. Maka tujuh bidadari mendatangi rumah Satarina. Setelah sampai di dekat rumah Satarina, tujuh bidadari bernyanyi memanggil Satarina.

“Putri Satarina,
Putri Satarina,
Putri Satarina,
Mari kita pulang,
Hari hampir siang.” Kemudian dijawab oleh Satarina.
“Putri Tujuh-Tujuh,
Putri Tujuh Tujuh,
Putri Tujuh-Tujuh,
Tunggulah dahulu,
Anakku sedang menyusu.”

Mendengar lagu Putri Satarina maka menunggulah ketujuh bidadari itu. Tidak lama kemudian berseru pula sampai tujuh kali hingga turun hujan lebat. Bersamaan itu juga, menghilanglah tujuh bidadari dan Satarina.

Para tetangga yang mendengar nyanian berbalas-balasan antara Putri Satarina dan Tujuh Bidadari menceritakan pada suami Satarina. Suami Satarina merasa aneh, benarkah istrinya seorang bidadari. Maka, suami Satarina mulai berjaga-jaga setiap malam. Tibalah malam yang cerah dan banyak bintang bertaburan. Seperti biasa, kembalilah tujuh bidadari dan Satarina turun ke bumi dan mandi di sungai seperti biasa. Setelah mandi, Satarina meminta izin untuk menyusui anaknya dan dia kembali ke rumah.

Suami Satarina yang sudah bersembunyi, mulai mendengar adanya yang mendatangi rumah mereka. Tidak lama kemudian terdengar nyanyian Satarina dan tujuh bidadari yang saling berbalas-balas. Benarlah apa yang diceritakan oleh tetangganya, pikir suami Satarina. Perlahan suami Satarina masuk kerumah dan langsung menyergap dan menangkap Satarina yang sedang menyusui anaknya. Kemudian suami Satarina memotong sayap Satarina dan dia tidak bisa lagi terbang.

Setelah itu, Putri Satarina menceritakan semua kejadian awal dan akhirnya sampai dia menjadi bidadari pada suaminya. Mendengar itu, betapa marah suami Satarina. Dia tahu sekarang mertua tirinya telah berbuat jahat pada istrinya. Sedangkan saudara tirinya yang menyamar menjadi istrinya Satarina. Keesokan harinya, suami Satarina menangkap ibu tiri dan saudara tiri Satarina dan dia masukkan kedalam balok kayu yang berlobang. Kemudian dia gulingkah ke lembah berjurang dalam. Sehingga kedua wanita jahat itu berakhir. Setelah itu, hidup bahagialah Satarina, suaminya, anak dan ayahnya.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Rama Saputra
Tatagambar. Dadang Saputra.
Palembang, 25 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

Sabtu, 23 Juli 2022

Bangun Hijau dan Bangun Merah (Wolio)

JURNAL SASTRA APERO FUBLIC.- Alkisah, konon ada seorang gadis remaja bernama Bangun Hijau yang tinggal bersama ayahnya karena ibunya sudah meninggal. Bangun Hijau memiliki teman bernama Bangun Merah yang tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.

“Alangkah baiknya seandainya orang tua kita dinikahkan saja. Agar lebih akrab persahabatan kita dan kekal selamanya.” Kata Bangau Merah suatu hari. Kata-kata Bangun Merah disampaikan oleh Bangun Hijau pada ayahnya.

“Ayah, alangkah baiknya kalau ayah menjadi suami ibu Bangau Merah.” Kata Bangun Hijau.

“Ayah belum mau menikah, sebab ayah masing ingin mengurusmu. Kalau kau sudah mempunyai ibu tiri, nanti kau menderita Upik.” Kata ayah Bangun Hijau. Perkataan ayahnya dia sampaikan pada sahabatnya saat bermain.

“Masa ibuku akan menyengsarakan engkau, ia akan menyayangimu. Kembalilah beri tahu ayahmu seperti kataku ini.” Ujar Bangun Merah.

Kembalilah pulang Bangun Hijau memberi tahu ayahnya menyampaikan perkataan Bangun Merah. Dia memohon sungguh-sungguh agar ayahnya mau menikahi ibu Bangun Merah. Akhirnya ayah Bangun Hijau menikahi ibu Bangun Merah. Setelah ayahnya menikah barulah Bangun Hijau merasakan penderitaannya sebagaimana yang ayahnya katakan. Penderitaanya karena sebab ulah ibu Bangun Merah si ibu tirinya.

Sementara Bangun Merah bertembah senang hidupnya, dia selalu bermain dengan teman-temannya yang lain. Sementara Bangun Hijau bekerja di dapur, mengambil air, mengambil kayu bakar dan lainnya. Mengalami penderitaan itu barulah timbul penyesalan, namun sudah terlambat.

Suatu ketika Bangun Hijau pergi ke sungai. Tiba di sungai dia menangkap seekor ikan gabus. Kemudian dia pelihara pada sebuah kolam kecil di dekat sungai itu. Setiap kali dia pergi ke sungai, dia selalu memberi ikan gabus peliharaanya dengan sisa-sisa makanan. Saat memberi makan ikan gabusnya, dia selalu menyanyi-nyanyi.

“Si gabus-gabus gala, mari ambil bekalmu.” Bunyi nyanian Bangun Hijau. Setelah puas bermain dengan ikannya. Dia pulang membawa pasu airnya, tiba di rumah dia pun memasaknya. Begitulah pekerjaan Bangun Hijau setiap harinya, dia lakukan silih berganti dengan mengambil kayu bakar. Setiap kali tiba di rumah, ayah, ibu tiri dan saudara tirinya sudah selesai makan. Sisa-sisa makannan dia bawa kemudian kolam dan diberikan pada ikan gabus peliharaanya. Tidak lama kemudian tersebar kabar di kampungnya kalau Bangun Hijau memelihara ikan gabus yang sangat besar.

Suatu hari Bangun Hijau pergi mengambil kayu bakar ke hutan. Ayah dan ibunya pergi ke kolam di dekat sungai dimana ikan peliharaan Bangun Hijau. Ayahnya membawa kapak dan ibu tirinya membawa wadah Loyang besar untuk wadah. Setiba di dekat kolam, ayah Bangun Hijau bernyanyi juga sebagaimana Bangun Hijau memanggil ikan gabus peliharaanya. Beberapa saat kemudian ikan gabus yang sangat besar mengapung di permukaan kolam. Dengan cepat ayah Bangun Hijau mengayunkan kapak dan menancap tepat di kepala ikan gabus itu. Ikan gabus peliharaan Bangun Hijau kemudian diambil dan diolah, lalu dimasukkan kedalam wadah Loyang. Setibah di rumah mereka memasaknya, dan memakan ikan gabus itu. Bangun Merah tidak di sisakan, sementara tulang-tulangnya mereka sembunyikan di dalam abu perapian dapur. Disembunyikan agar Bangun Hijau tidak tahu.

Bangun Hijau pulang dari mengambil kayu bakar. Setelah meletakkan kayu bakar dia segerah pergi ke kolam tempat dia memelihara ikan gabusnya, untuk memberi makan. Namun, sampai lelah dia menyanyi ikan gabus tidak muncul-muncul. Sehingga dia pulang kerumah dan menangis. Beberapa waktu kemudian terdengarlah kabar kalau yang mengambil ikannya adalah ayahnya sendiri.

Waktu berlalu, Bangun Hijau terus melakukan pekerjaanya setiap hari. Bangun Merah juga tetap bersenang-senang setiap hari. Hari itu, pekerjaan telah dia selesaikan semua. Tinggal memasak untuk makan malam. Saat membersihkan tungku perapian tempat memasak. Bangun Hijau menemukan tulang ikan tertanam di dalam abu dapur.

“Ini pasti tulang ikanku.” Kata hati Bangun Hijau. Keesokan harinya dia pergi ke atas sebuah bukit untuk menanam tulang ikannya. Pulangnya dia membawa kayu bakar. Setelah berlalu tujuh hari tujuh malam, Bangun Hijau merasa rindu dengan ikannya. Dia datang menjenguk kubur tulang ikannya. Beberapa minggu kemudian dia kembali datang menjenguk kubur tulang ikannya.

Namun hal aneh terjadi, saat mendekati tempat dia menanam tulang ikan gabusnya. Dia melihat sebuah istana yang indah. Dia berjalan dan masuk istana, lalu menjumpai mahligai yang indah. Di sana dia menjumpai seorang pemuda yang sangat tampan. Dia kiranya anak seorang raja di istana itu. Bangun Hijau kemudian diperistri oleh pangeran itu. Maka dia tinggal menetep di istana pangeran itu. Hidup bahagia dan dilayani terus oleh dayang setiap hari.

Beberapa waktu berlalu, kabar tentang istana dan Bangun Hijau sampai juga ke ayah, ibu tiri dan saudara tirinya Bangun Merah. Mendengar berita itu, mereka ingin menemui Bangun Hijau. Sekarang hidup bahagia dan menjadi istri anak raja. Akhirnya ayah, ibu tiri dan Bangun Merah menemukan istana dimana kediaman Bangun Hijau. Namun sayang, saat mereka sudah dekat pintu gapura tiba-tiba istana terangkat ke langit dan menghilang. Hal demikian membuat ayah, ibu tiri dan Bangun Merah bersedih dan menyesal. Kesedihan dan penyesalan mereka yang telah berbuat jahat pada Bangun Hijau terlalu besar. Sehingga kahirnya mereka meninggal dunia karena penyesalan.

Rewrite: Tim Apero Fublic
Editor. Arip Muhtiar, S.Hum
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 23 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

Sastra Lisan Wolio: La Dhangu Sarina.

JURNAL APERO FUBLIC.- Pada pertengahan abad ke Sembilan belas hiduplah seorang yang bernama La Dhangu Sarina di sebua pulau dalam pemerintahan kerajaan Wolio. Tubuhnya tumbuh sangat mengherankan orang-orang karena terlalu tinggi besar.

Diceritakan bahwa La Dhangu Sarina ketika baru dilahirkan telah dapat menghabiskan satu tandan pisang kapok sekali makan. Jadi, telah dapat kita bayangkan betapa besar tubuhnya.

Seiring waktu besarlah La Dhangu Sarina, berpikirlah ayahnya. “Sepertinya anakku ini bukan orang biasa. Baiklah dia mulai aku lati bertempur agar menjadi pahlawan negeri, hulubalang raja.” Pikir sang ayah.

Sejak saat itu, La Dhangu Sarina mulai dilatih ayahnya. Memegang senjata dan mulai dipukul-pukul dengan kayu. Karena dia memang kuat, kayu-kayu yang dipukulkan padanya patah-patah. Lama kelamaan tubuhnya tidak lagi merasakan sakit saat di pukul. Kemudian latihan dengan dihantamkan kepalanya ke batu. Lama kelamaan batulah yang hancur dan pecah belah.

Kabar tentang La Dhangu Sarina terdengar oleh raja. Dia dipanggil raja ke istana. La Dhangu Sarina kemudian diangkat menjadi pengawal raja dan dia tinggal di dalam istana. Karena badanya yang tinggi, saat dia menggendong raja menyemberangi sungai tubuh rajah tidak basah.

Beberapa waktu kemudian, di istana raja tibahlah tamu asing. Mereka adalah utusan Kompeni. Waktu di istana tamu itu melihat La Dhangu Sarina. Dia kemudian berkata dengan terheran-heran.

“Baginda, dapatkah kiranya orang itu saya bawa berlayar kemana-mana untuk ditunjukkan pada penduduk dunia. Karena bentuk perawakan tubunya tinggi besar dan tiada duanya di muka bumi ini.” Kata utusan Kompeni Belanda.

Raja sangat besar hati atas permintaan tamunya tersebut. Dia mengizinkan, tapi waktu itu belum dapat dibawa. Tapi akan dibawa pada pelayaran berikutnya. Waktu yang ditentukan tiba, utusan kompeni datang untuk menjemput La Dhangu Sarina. Namun utusan kompeni menjadi sangat kecewa karena beberapa malam sebelum berangkat berlayar La Dhangu Sarina kemudian meninggal dunia. Demikianlah kisah La Dhangu Sarina yang tidak jadi keliling dunia untuk menyaksikan bangsa-bangsa.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Rama Saputra.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 23 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic.

Jumat, 22 Juli 2022

Mengenal Sastra Lisan Wolio. (BUTON)

JURNAL APERO FUBLIC.- Wolio adalah nama tradisonal sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kepulauan Buton. Sehingga masyarakatnya dikenal orang dengan nama, orang Wolio. Mereka memiliki bahasa daerah sendiri yakni bahasa Wolio. Bahasa Wolio hadir atas pengaruh bahasa Buton dan Muna.

Daerah Wolio pernah menjadi Kesultanan Buton. Untuk mempersatukan kesultanan yang terdiri banyak etnis, karena itulah bahasa Wolio dijadikan bahasa pemersatu. Selain itu, bahasa Wolio juga digunakan di kota Bau-Bau. Masyarakat Wolio termasuk pemeluk Islam yang taat. Mereka memiliki tradisi Goraana Oputa atau Maludju Wolio, suatu tradisi yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Selain kaya akan sejarah dan tradisi asli. Masyarakat Wolio juga memiliki warisan sastra lisan dari nenek moyang mereka. Banyak sekali sastra lisan yang masih dapat di dokumentasikan. Seperti buku hasil penelitian Muhammad Arief Mattalitti, Muhammad Sikki, Amir Kadir, Shaidy, Abdul Kadir Mulya. Buku berjudul Sastra Lisan Wolio yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta tahun 1985.

Cerita sastra lisan mereka berfungsi sebagai cerita pelipur lara, cerita pendidikan dan cerita tentang asal mula. Dalam melakukan cerita biasanya dilakukan pada waktu-waktu senggang tergantung pada situasi dan kondisi. Dengan demikian penuturan cerita dapat dilakukan di rumah, di tempat pesta rakyat, saat berkerja gotong royong, bercerita saat menidurkan anak atau cucu, dan lainnya.

Buku Sastra Lisan Wolio hasil penelitian para penulis. Di tulis dalam dua bahasa, bahasa Wolio dan Bahasa Indonesia. Diantara judul cerita, La Dhangu Sarina, Wairiwondu Te Randasitagi, Paa Pando Te Harimau, Landokendoke Te Manu, Landoke-Ndoke Te Lahoo-Hoo, Sawirigadi I Togo Montondu Lasalimu, Putiri Satarina, Wa Ndiu Diu,  Bangu Ijo Te Bangu Malei, Apokia Okaluku Akomata, Owi Karea-Rea, Lowu-Lowu Morikana, Lancudu bale, Tawana Kaluku Membali Ikane, Gununa Samboka-Mboka I Kaedupa, Kada Ngiana Gununa Sabampolulu Te Gununa Nepa-Nepa, Kaminaana Puuna Konau, Landoke Te Lakolo-Kolopua.

Kalau Anda tertarik dengan buku Sastra Lisan Wolio tersebut, dapat dijumpai di Perpustakaan Daerah. Buku tidak diperdagangkan karena terbitan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Buku bersampul kuning setebal 85 halaman. Buku memuat informasi data penelitian, informan dalam penelitian, beberapa kata pengantar dan daftar table hasil penelitian.

Disusun: Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 23 Juni 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

DONGENG WOLIO: Kera dan Kura-Kura

JURNAL APERO FUBLIC.- Suatu waktu hujan turun sangat lebat sehingga air sungai meluap dan banjir. Bermupakatlah kera dan kura-kura untuk memungut rampe (apa-apa yang hanyut oleh air diwaktu banjir). Tiba di sungai terlihatlah batang pisang yang hanyut terapung. Batang pisang di ambil lalu dibagilah antara kura-kura dan kera. Kera berpikir kalau ujung pisanglah yang akan berbuah. Maka dia mengambil ujung pisang batang pisang bersama dedaunannya. Sementara kura-kura diberikan batang pisang beserta akarnya. Keduanya kemudian pulang dan menanam batang pisang itu.

“Bagaimana keadaan tanaman pisangmu.” Tanya kura-kura suatu hari saat kera bermain ke ladangnya.

“Tumbuh-tumbuh layu.” Jawab kera. Demikianlah setiap hari kera bertanya pada kura-kura. Saat ditanya oleh kura-kura kera selalu menjawab “tumbuh-tumbuh layu” tapi yang sebenarnya terjadi tanaman kera sudah layu dan mati. Sementara pisang kura-kura sudah bertunas dan mulai berbuah. Waktu berlalu, masalah buah pisang kura-kura. Karena dia tidak dapat memanjat, maka meminta kura-kura memanjat buah pisangnya.

Kera sudah diatas pohon pisang. Dia mulai memetik buah dan memakan buah pisang satu demi satu. Kura-kura hanya melihat dan menunggu kera menjatuhkan untuknya.

“Berikan padaku juga, kera.” Pinta kura-kura.

“Nanti, jangan dulu. Aku makan dulu.” Jawab kera seenaknya. Kura-kura terus mendesak agar kera memberinya buah pisang. Namun kera tidak memperdulikan, yang dia jatuhnya hanyalah kulit-kulit pisang saja. Kura pun marah, karena haknya tidak diberikan dan dirampas. Maka dia pergi mengambil bamboo-bambu runcing dan dia pasang disekeliling pohon pisang dibalik rumput-rumput. Kera tidak menyadari karena dia asik makan dan makan.

“Hai kera, kalau kau melompat turun. Melompatlah di tempat yang ada rumputnya. Kalau tidak kau akan digonggong anjing raja.” Kata kura-kura dan dia pergi menjauh, karena kera tidak mau memberinya buah pisang.

Setelah beberapa waktu, habislah buah pisang kura-kura oleh kera. Dia begitu senang dan bangga sudah makan pisang banyak. Kemudian dia turun dari pohon pisang. Teringat kata-kata kura-kura tadi dia melompat ke semak dan rumput. Tanpa ampun akhirnya kera tertusuk oleh  ranjau bilah bamboo yang dipasang kura-kura tadi. Kera akhirnya mati dan kura-kura buru datang menampung darahnya dengan potongan bumbung bambu.

“Siapa mau beli. Siapa mau beli gula merah ini.” Kata kura-kura sambil berjalan menjajakan jualannya. Tiba di dekat rumah raja, dan dimintalah untuk membeli gula yang dijual kura-kura. Saat raja hendak membayar, kura-kura menolak dan dia meminta gong untuk tukarnya. Raja setuju dan dia memberikan gong pada kura-kura. Kura-kura pergi dan memukul gong sambil menawarkan jualan gula meranya.

“Dung. Dung. Dung.” Suara gong dipukul kura-kura.

“Makan-makan tulang sesamamu. Minum-minum darah sesamamu,” Nyanyian kura-kura sambil berjualan. Beberapa waktu kemudian kura-kura kembali mendekati rumah raja. Raja yang merasa di tipu oleh kura-kura. Raja kemudian memerintahkan pelayan untuk memanggil kura-kura. Tiba di depan raja, kura-kura mengakui kalau yang dia jual bukan gula merah tapi darah kera. Oleh karena itu, kura-kura dituduh telah membunuh. Maka hukuman seorang pembunuh akan di penggal kepalanya.

“Baiklah, saya terima keputusan hukuman dari baginda raja. Tapi syaratnya, kepala saya yang jatuh haruslah jatuh dipangkuan raja.” Kata kura-kura.

Demikianlah, hukuman untuk kura-kura dilaksanakan di muka umum. Hadir sekalian pembesar istana, seperti hulubalang, mangkubumi, para menteri. Algojo sudah siap dengan pedang terhunus dan siap menjalankan tugas. Leher kura-kura dijulurkan di atas paha raja agar saat terlepas setelah di pancung jatu ke pangkuan raja.

“Heeaaaaaa.” Pedang diayunkan algojo dengan kuat. Saat mata pedang mendekati lehernya, kura-kura tiba-tiba menarik lehernya kedalam cangkangnya. Sehingga mata pedang membacok paha raja. Membuat raja terluka parah dan darah mengucur deras. Raja pun mati kehabisan darah.

Demikianlah cerita kera dan kura-kura. Dongeng ini menarik sekali, karena memiliki makna dalam pada kehidupan. Kera melambangkan orang-orang serakah dan tamak yang memakan harta masyarakat biasa. Raja menjadi simbol pemerintahan di suatu negeri. Kura-kura mencari keadilan pada sang penguasa. Namun justru dirinya yang disalahkan membunuh. Hal yang lumrah terjadi di dunia politik. Orang serakah dan pemimpin yang tidak bijaksana akan berakhir dengan permasalahan-permasalahan.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Rama Saputra
Palembang, 23 Juli 2022.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Sumber: M. Arif Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

SASTRA LISAN WOLIO: ASAL USUL UBI KAREA-REA

JURNAL SASTRA APERO FUBLIC.- Di kisahkan seorang istri yang sangat keras kepala. Dia memiliki sifat yang keras dan egois. Apabila melakukan kesalahan dan ditegur atau dinasihati suaminya dia semakin keras dan semakin jadi. Selalu ada saja alas an dan cara beserta kata-katanya untuk membenarkan dirinya.

Pada suatu hari terjadilah pertengkaran antara suami istri itu. Seperti biasa dalam pertengkaran istri orang itu selalu marah dan meluapkan emosinya dengan membanting-banting sesuatu. Setelah itu dia belum puas dan kemudian duduk sambil marah membanting-banting pantatnya ke tanah.

Walau istrinya sudah berbuat demikian suaminya yang juga sudah tidak sabar lagi menghadapi sikap egois istrinya terus saja memarahi istrinya. Sementara istrinya semakin jadi, dia terus menerus membanting pantatnya ke tanah. Semakin lama semakin kuat dan kuat.

Tanpa sadar dan akhirnya tubuh istri orang itu terus terbenam ke dalam tanah sampai ke kepalanya. Kemudian dari kepala dan sekitarnya muncul tumbuhan merambat. Saat orang-orang membantu menggali istri orang itu. Diketemukanlah umbi-umbi ubi karea-rea.

Sejak saat itu, ubi karea-rea ditanam dan digali orang. Menurut orang-orang karena wajah istri orang itu marah karena marah. Maka kulit ubi karea-rea juga berwarnah merah. Demikianlah pengajaran untuk istri yang keras kepala.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Joni Apero.
Tata foto. Dadang Saputra.
Palembang, 21 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: 1985.

Sy. Apero Fublic

NASKAH KLASIK: Serat Cariyos Dewi Padi

JURNAL SASTRA APERO FUBLIC.- Mitos Dewi Sri dalam serat Cariyos Dewi Sri memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan naskah-naskah Dewi Sri yang lainnya. Dalam naskah ini sangat kuat nuasa ke-Islamannya. Dimana mitos Dewi Sri selalu bernuasa kebudayaan Hindhu. Naskah ditulis dengan bahan lontar, tersimpan di museum Sonobudoyo Yogyakarta (1998).

Dalam kebudayaan Jawa, Dewi Sri merupaka tokoh mitos yang cukup terkenal. Selain dikenal sebagai Dewi Padi dan pelindung pertanian, dia juga dikenal dengan dewi kekayaan, dewi kesuburan, dan kemakmuran. Selain itu juga berpengaruh pada ketenaran, kesuksesan, dan dapat memberi umur panjang. Berikutcuplikan naskah klasik Dewi Sri, dalam dua bahasa. Bahasa asli naskah dan bahasa Indonesia.


Pupuh I Asmaradana:

1.16. …………., enenggene sireki, kocapa mangke Hyang Sukma, ingkang ngerksa kawulane, ingkang aran Dewi Sri Sedana, arsa tinurunena, maring alam donya iku, …ambekta raja berana.

1.17. Kalawan wiji puniki, ingkang arsa tinurunena, maring alam donya mangkoa … wiji saking ing suwarga, wohe kuldi punika, wiki rajaki puniku, isine kuldi punika.

1.18. Isine Kuldi puniki, kang dadi rajaki ikat kulite binuwang reko, maring sagara punika, dadi ulam sedaya, sekathahe warnanipu, mulane kena shinahar.

1.19. Titahe kuldi puniki ….. kang manjing ……. Menungsa dadi rata ta mangko, kang putih warnane ika, ingkang abang punika, rah arane puniku, retune nyawa sedaya.

1.20. Ingkang kuning ta puniki, retune cahya sedaya, ingkang ijo warnane mangko, retune sukma sedaya, ingkang ….. punika, retune wulu lan rambut, …………… netra.

1.21. Nanggena mangko sireki, kocapa Dewi Sri Sedana, sampun tumurunta mangko, maring alam donya ika, sarwi …… donya ika, lampahe Dewi Sri iku, lawan wiji making syarga.

1.22. Dewi sampun lumaris, prakta maring negara sabrang, kang jinujuk ta mangko, Negara cepamu ……., Dewi Sri lan Sedana, sampun, ta sira malebu, maring daleme Suwangdana.

1.23. Syang Prabu ngandika aris, lah wong ayu dika katurun, …. Di pinangkane mangko, ngajeng pundi kang sineja, lah mara sira matura, lan sinamba ……, ian pun si wisma dika.

1.24. Devi, Sri umatur aris, inggih ….. gusti wisma kawula, tiyang saking syarga mangko, kautus maring Hyang Sukma, milane kawula lumampah, maring alam donya puniku, kawula medhi Syang Nata.

1.25. Mugi wantena paring gusti, sekul …….. punika, kelawa toya …., kawula yektos kaluwen, gene kawula luma ……, mugi wanten paring Sang Prabu, paring ing badan kawula.

1.26. Ngandika Sri Bupati, …. Wong ayu nedha ngapura, sekul kula warnane mangko, sekul jagung ta punika, …..dikatan arsa, dhahar sekul ta puniku, mulane nedha ngapura.


Pupuh I Asmaradana:

1.16. Diamkanlah dia. Tersebutlah sekarang Hyang Sukma, Yang melindungi hambahnya. Yang bernama Dewi Sri Sedana akan diturunkan ke dunia membawa harta benda.

1.17. Beserta beni yang nanti akan diturunkan ke dunia, (yaitu), benih dari surga (yang berasal)dari buah kuldi. Isi buah kuldi itulah (yang akan menjadi) beni rezeki.

1.18. Isi kuldi yang menjadi rezeki itu, kulitnya dibuang, ke samudra menjadi segenap jenis ikan. Oleh karenanya (ikan) dapat dimakan.

1.19. Diciptakan kuldi itu merasuk ke badan manusia. Yang berwarna putih merata ke seluruh tubuh. Yang berwarna merah dinamakan darah, merajai segenap nyawa.

1.20. Yang kuning merajai segenap cahaya. Yang berwarna hijau merajai segenap sukma. Yang berwarna hitam merajai bulu dan rambut serta merasuk ke biji mata.

1.21. Diamkanlah dia sekarang. Tersebutlah Dewi Sri Sedana sudah turun, ke dunia. Perjalanan Dewi Sri seraya membawa harta dan benih dari surge.

1.22. Dewi (Sri) sudah berjalan sampai dinegeri seberang, langsung menuju negeri Campamulya. Dewi Sri Sedana sudah masuk ke rumah Suwangdana.

1.23. Sang Prabu berkata pelan. “Nah wanita cantik, engkau ku persilahkan. Dari mana asalnya dan akan menuju ke mana. Katakanlah namamu dan di mana rumahmu.”

1.24. Dewi Sri berkata pelan. “Baiklah tuan-tuan rumah hamba, hamba berasal dari surga. Maka hamba berjalan ke dunia ini, karena di utus oleh Hyang Sukma, Hamba mohon (pada) Sang Raja.

1.25. Semoga tuan, berkenan memberi sekepal nasi dan seteguk air. Hambah sangat kelaparan karena perjalanan ini. Semoga ada pemberian, Sang Prabu untukku.

1.26. Berkatalah Sri Bupati. “Aduhai wanita cantik (saya) mohon maaf. Nasi saya pada saat ini berupa nasi jagung. Barangkali engkau tidak mau makan nasi tersebut. Oleh karena itu (saya) mohon maaf.


Dalam naskah serat Dewi Padi memuat tiga macam teks, pertama teks suatu suluk, teks cerita Dewi Sri, dan teks ajaran Islam. Namun dalam buku Cariyos Dewi Sri hanya dibahas bagian yang memuat cerita Dewi Sri. Tentu hal tersebut informasi bagus untuk kalangan akademisi untuk melanjutkan dan mengkaji lagi naskah klasik Serat Dewi Sri.

Buku berjudul Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta tahun 1998. Buku setebal 127 halaman terdiri dari tulisan alih aksara bahasa asli dan terjemahan ke bahasa Indonesia. Dapt menemukan buku di perpustakaan daerah atau Perpustakaan Nasional di Jakarta. Dikaji oleh Dra. Suyami, Dra. Dwi Ratna Nurhajarini dan Dra. Renggo Astuti dan disunting oleh Sri Mintosih, B.A.

Disusun: Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 21 Juli 2022.
Sumber: Dra. Suyami, Dkk. Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri. Jakarta: Pialamas Permai. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Sy. Apero Fublic