Humaniora

Humaniora
Publish Your Articles in the Journal Apero Fublic of Humaniora

Bangun Hijau dan Bangun Merah (Wolio)

Bangun Hijau dan Bangun Merah (Wolio)
Share

JAF. HUMANIORA.- Alkisah, konon ada seorang gadis remaja bernama Bangun Hijau yang tinggal bersama ayahnya karena ibunya sudah meninggal. Bangun Hijau memiliki teman bernama Bangun Merah yang tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.

“Alangkah baiknya seandainya orang tua kita dinikahkan saja. Agar lebih akrab persahabatan kita dan kekal selamanya.” Kata Bangau Merah suatu hari. Kata-kata Bangun Merah disampaikan oleh Bangun Hijau pada ayahnya.

“Ayah, alangkah baiknya kalau ayah menjadi suami ibu Bangau Merah.” Kata Bangun Hijau.

“Ayah belum mau menikah, sebab ayah masing ingin mengurusmu. Kalau kau sudah mempunyai ibu tiri, nanti kau menderita Upik.” Kata ayah Bangun Hijau. Perkataan ayahnya dia sampaikan pada sahabatnya saat bermain.

“Masa ibuku akan menyengsarakan engkau, ia akan menyayangimu. Kembalilah beri tahu ayahmu seperti kataku ini.” Ujar Bangun Merah.

Kembalilah pulang Bangun Hijau memberi tahu ayahnya menyampaikan perkataan Bangun Merah. Dia memohon sungguh-sungguh agar ayahnya mau menikahi ibu Bangun Merah. Akhirnya ayah Bangun Hijau menikahi ibu Bangun Merah. Setelah ayahnya menikah barulah Bangun Hijau merasakan penderitaannya sebagaimana yang ayahnya katakan. Penderitaanya karena sebab ulah ibu Bangun Merah si ibu tirinya.

Sementara Bangun Merah bertembah senang hidupnya, dia selalu bermain dengan teman-temannya yang lain. Sementara Bangun Hijau bekerja di dapur, mengambil air, mengambil kayu bakar dan lainnya. Mengalami penderitaan itu barulah timbul penyesalan, namun sudah terlambat.

Suatu ketika Bangun Hijau pergi ke sungai. Tiba di sungai dia menangkap seekor ikan gabus. Kemudian dia pelihara pada sebuah kolam kecil di dekat sungai itu. Setiap kali dia pergi ke sungai, dia selalu memberi ikan gabus peliharaanya dengan sisa-sisa makanan. Saat memberi makan ikan gabusnya, dia selalu menyanyi-nyanyi.

“Si gabus-gabus gala, mari ambil bekalmu.” Bunyi nyanian Bangun Hijau. Setelah puas bermain dengan ikannya. Dia pulang membawa pasu airnya, tiba di rumah dia pun memasaknya. Begitulah pekerjaan Bangun Hijau setiap harinya, dia lakukan silih berganti dengan mengambil kayu bakar. Setiap kali tiba di rumah, ayah, ibu tiri dan saudara tirinya sudah selesai makan. Sisa-sisa makannan dia bawa kemudian kolam dan diberikan pada ikan gabus peliharaanya. Tidak lama kemudian tersebar kabar di kampungnya kalau Bangun Hijau memelihara ikan gabus yang sangat besar.

Suatu hari Bangun Hijau pergi mengambil kayu bakar ke hutan. Ayah dan ibunya pergi ke kolam di dekat sungai dimana ikan peliharaan Bangun Hijau. Ayahnya membawa kapak dan ibu tirinya membawa wadah Loyang besar untuk wadah. Setiba di dekat kolam, ayah Bangun Hijau bernyanyi juga sebagaimana Bangun Hijau memanggil ikan gabus peliharaanya. Beberapa saat kemudian ikan gabus yang sangat besar mengapung di permukaan kolam. Dengan cepat ayah Bangun Hijau mengayunkan kapak dan menancap tepat di kepala ikan gabus itu. Ikan gabus peliharaan Bangun Hijau kemudian diambil dan diolah, lalu dimasukkan kedalam wadah Loyang. Setibah di rumah mereka memasaknya, dan memakan ikan gabus itu. Bangun Merah tidak di sisakan, sementara tulang-tulangnya mereka sembunyikan di dalam abu perapian dapur. Disembunyikan agar Bangun Hijau tidak tahu.

Bangun Hijau pulang dari mengambil kayu bakar. Setelah meletakkan kayu bakar dia segerah pergi ke kolam tempat dia memelihara ikan gabusnya, untuk memberi makan. Namun, sampai lelah dia menyanyi ikan gabus tidak muncul-muncul. Sehingga dia pulang kerumah dan menangis. Beberapa waktu kemudian terdengarlah kabar kalau yang mengambil ikannya adalah ayahnya sendiri.

Waktu berlalu, Bangun Hijau terus melakukan pekerjaanya setiap hari. Bangun Merah juga tetap bersenang-senang setiap hari. Hari itu, pekerjaan telah dia selesaikan semua. Tinggal memasak untuk makan malam. Saat membersihkan tungku perapian tempat memasak. Bangun Hijau menemukan tulang ikan tertanam di dalam abu dapur.

“Ini pasti tulang ikanku.” Kata hati Bangun Hijau. Keesokan harinya dia pergi ke atas sebuah bukit untuk menanam tulang ikannya. Pulangnya dia membawa kayu bakar. Setelah berlalu tujuh hari tujuh malam, Bangun Hijau merasa rindu dengan ikannya. Dia datang menjenguk kubur tulang ikannya. Beberapa minggu kemudian dia kembali datang menjenguk kubur tulang ikannya.

Namun hal aneh terjadi, saat mendekati tempat dia menanam tulang ikan gabusnya. Dia melihat sebuah istana yang indah. Dia berjalan dan masuk istana, lalu menjumpai mahligai yang indah. Di sana dia menjumpai seorang pemuda yang sangat tampan. Dia kiranya anak seorang raja di istana itu. Bangun Hijau kemudian diperistri oleh pangeran itu. Maka dia tinggal menetep di istana pangeran itu. Hidup bahagia dan dilayani terus oleh dayang setiap hari.

Beberapa waktu berlalu, kabar tentang istana dan Bangun Hijau sampai juga ke ayah, ibu tiri dan saudara tirinya Bangun Merah. Mendengar berita itu, mereka ingin menemui Bangun Hijau. Sekarang hidup bahagia dan menjadi istri anak raja. Akhirnya ayah, ibu tiri dan Bangun Merah menemukan istana dimana kediaman Bangun Hijau. Namun sayang, saat mereka sudah dekat pintu gapura tiba-tiba istana terangkat ke langit dan menghilang. Hal demikian membuat ayah, ibu tiri dan Bangun Merah bersedih dan menyesal. Kesedihan dan penyesalan mereka yang telah berbuat jahat pada Bangun Hijau terlalu besar. Sehingga kahirnya mereka meninggal dunia karena penyesalan.

Rewrite: Tim Apero Fublic
Editor. Arip Muhtiar, S.Hum
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 23 Juli 2022.
Sumber: M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Sy. Apero Fublic

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel