DONGENG WOLIO: Kera dan Kura-Kura

“Bagaimana
keadaan tanaman pisangmu.” Tanya kura-kura suatu hari saat kera bermain ke
ladangnya.
“Tumbuh-tumbuh
layu.” Jawab kera. Demikianlah setiap hari kera bertanya pada kura-kura. Saat
ditanya oleh kura-kura kera selalu menjawab “tumbuh-tumbuh layu” tapi yang
sebenarnya terjadi tanaman kera sudah layu dan mati. Sementara pisang kura-kura
sudah bertunas dan mulai berbuah. Waktu berlalu, masalah buah pisang kura-kura.
Karena dia tidak dapat memanjat, maka meminta kura-kura memanjat buah
pisangnya.
Kera
sudah diatas pohon pisang. Dia mulai memetik buah dan memakan buah pisang satu
demi satu. Kura-kura hanya melihat dan menunggu kera menjatuhkan untuknya.
“Berikan
padaku juga, kera.” Pinta kura-kura.
“Nanti,
jangan dulu. Aku makan dulu.” Jawab kera seenaknya. Kura-kura terus mendesak
agar kera memberinya buah pisang. Namun kera tidak memperdulikan, yang dia
jatuhnya hanyalah kulit-kulit pisang saja. Kura pun marah, karena haknya tidak
diberikan dan dirampas. Maka dia pergi mengambil bamboo-bambu runcing dan dia
pasang disekeliling pohon pisang dibalik rumput-rumput. Kera tidak menyadari
karena dia asik makan dan makan.
“Hai
kera, kalau kau melompat turun. Melompatlah di tempat yang ada rumputnya. Kalau
tidak kau akan digonggong anjing raja.” Kata kura-kura dan dia pergi menjauh,
karena kera tidak mau memberinya buah pisang.
Setelah
beberapa waktu, habislah buah pisang kura-kura oleh kera. Dia begitu senang dan
bangga sudah makan pisang banyak. Kemudian dia turun dari pohon pisang.
Teringat kata-kata kura-kura tadi dia melompat ke semak dan rumput. Tanpa ampun
akhirnya kera tertusuk oleh ranjau bilah
bamboo yang dipasang kura-kura tadi. Kera akhirnya mati dan kura-kura buru
datang menampung darahnya dengan potongan bumbung bambu.
“Siapa
mau beli. Siapa mau beli gula merah ini.” Kata kura-kura sambil berjalan
menjajakan jualannya. Tiba di dekat rumah raja, dan dimintalah untuk membeli
gula yang dijual kura-kura. Saat raja hendak membayar, kura-kura menolak dan
dia meminta gong untuk tukarnya. Raja setuju dan dia memberikan gong pada
kura-kura. Kura-kura pergi dan memukul gong sambil menawarkan jualan gula
meranya.
“Dung.
Dung. Dung.” Suara gong dipukul kura-kura.
“Makan-makan
tulang sesamamu. Minum-minum darah sesamamu,” Nyanyian kura-kura sambil
berjualan. Beberapa waktu kemudian kura-kura kembali mendekati rumah raja. Raja
yang merasa di tipu oleh kura-kura. Raja kemudian memerintahkan pelayan untuk
memanggil kura-kura. Tiba di depan raja, kura-kura mengakui kalau yang dia jual
bukan gula merah tapi darah kera. Oleh karena itu, kura-kura dituduh telah
membunuh. Maka hukuman seorang pembunuh akan di penggal kepalanya.
“Baiklah,
saya terima keputusan hukuman dari baginda raja. Tapi syaratnya, kepala saya
yang jatuh haruslah jatuh dipangkuan raja.” Kata kura-kura.
Demikianlah,
hukuman untuk kura-kura dilaksanakan di muka umum. Hadir sekalian pembesar
istana, seperti hulubalang, mangkubumi, para menteri. Algojo sudah siap dengan
pedang terhunus dan siap menjalankan tugas. Leher kura-kura dijulurkan di atas
paha raja agar saat terlepas setelah di pancung jatu ke pangkuan raja.
“Heeaaaaaa.”
Pedang diayunkan algojo dengan kuat. Saat mata pedang mendekati lehernya,
kura-kura tiba-tiba menarik lehernya kedalam cangkangnya. Sehingga mata pedang
membacok paha raja. Membuat raja terluka parah dan darah mengucur deras. Raja
pun mati kehabisan darah.
Demikianlah cerita kera dan kura-kura. Dongeng ini menarik sekali, karena memiliki makna dalam pada kehidupan. Kera melambangkan orang-orang serakah dan tamak yang memakan harta masyarakat biasa. Raja menjadi simbol pemerintahan di suatu negeri. Kura-kura mencari keadilan pada sang penguasa. Namun justru dirinya yang disalahkan membunuh. Hal yang lumrah terjadi di dunia politik. Orang serakah dan pemimpin yang tidak bijaksana akan berakhir dengan permasalahan-permasalahan.
Rewrite. Tim
Apero Fublic
Editor.
Rama Saputra
Palembang,
23 Juli 2022.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Sumber:
M. Arif Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985.
Sy. Apero Fublic
0 Response
Posting Komentar