Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic (JAF) merupakan jurnal tentang humaniora membahas, budaya, sastra, sejarah, arkeologi, antropologi, hukum, psikologi, filologi, teologi, arkeologi, seni, filsafat, dan linguistik.

Penerbit

Penerbit Buku PT. Media Apero Fublic: Menerbitkan buku novel. komik. buku anak. umum. ajar. penelitian. buku instansi. ensiklopedia. majalah. koran. jurnal. tabloid. dan lain-lain.

Apero Book

Apero Book adalah toko buku yang menjual semua jenis buku (tulis dan baca) serta semua jenis ATK. Toko Online dan Ofline.

Apero Popularity

Apero Popularity adalah layanan iklan usaha, bisnis, dan figur. Membantu jalan karir dan provesi anda menuju kepopuleran. Tak Apero Tak Populer.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis asli Sumatera Selatan. Menyajikan informasi seputar Sumatera Selatan.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic (BAF) Tulisan segar dengan ide-ide baru, dan pemikiran baru. Ungkapkan semua isi kepala Anda.

Apero Fublic

Apero Fublic (AF) merupakan merek usaha bidang jurnalistik dari PT. Media Apero Fublic.

PT. Media Apero Fublic

Perusahaan Publikasi dan Informasi.

Tabloid Apero Fublic

Tabloid Apero Fublic (TAF) merupakan majalah informasi Muslimah.

Jumat, 25 Desember 2020

Hikayat Awang Permai

Jurnal Sastra Apero Fublic.- Tersebutlah zaman dahulu kalah sebuah negeri Melayu di Antah Beranta. Hiduplah sepasang suami istri yang sederhana, pengantin baru. Mereka hanya dapat makan sehari-hari untuk menyambung hidup. Seperti ayam yang mengais baru dapat makan. Pencaharian mereka dari menjual sayur-mayur di pasar. Beberapa waktu kemudian istrinya hamil, dan mendekati kelahiran anak mereka.

Suatu malam hujan turun dengan deras, air menetes dari atap rumah mereka yang bocor. Istrinya terbangun dan menyadari keadaan dirinya. “Oh, Kakanda rasanya adinda sudah mendekati waktu melahirkan. Tapi ada satu keinginan Adinda yang belum terwujud. Selama ini, sudah lama Adinda mengidamkannya. Malu mengungkapkan keingin ini pada Kakanda.” Kata istrinya.

“Apa yang Adinda inginkan itu.” Tanya Suaminya. “Adinda ingin makan buah mangga yang tumbuh di halaman istana sultan negeri kita. Jawab istrinya. “Oh, Adinda bagaimana caranya Kakanda mengambil buah itu. Letaknya jauh di kota dan penjagaan istana sangat ketat.” Jawab suaminya. Akan tetapi istrinya terus mendesak terus. Sehingga suaminya dengan berat hati pergi ke kota, untuk mengambil buah mangga di halaman istana sultan.

Dengan memanjat pagar istana yang tinggi. Dia berhasil masuk kedalam istana. Kebetulan malam itu hujan lebat. Sehingga penjaga tidak begitu ketat dan kebanyakan pengawal berteduh. Menjumpai pohon mangga, dia menemukan sebuah yang masak. Memetiknya, dan dia bungkus rapi dan diikat kuat-kuat. Pada masa itu, apabila ketahuan mencuri buah mangga di halaman sultan hukumannya, mati.

Sesampai di rumah, dia memberikan pada istrinya. Keduanya makan buah mangga berdua, rasanya enak sekali buah mangga itu. Karena itu, terpikirlah kalau dia mau menanam biji buah mangga itu. Beberapa bulan kemudian istrinya melahirkan, anak laki-laki. Anak mereka memiliki keajaiban dimana anak mereka langsung dapat berbicara.

“Wahai orang tuaku, namakanlah aku Awang Permai. Jangan pula ayah dan bunda terkejut jika besok rumah kita sudah berubah menjadi indah, berubah bentuk dan isinya. Ayah dan bunda juga menjadi orang besar.” Kata anak mereka yang baru dilahirkan. Benar saja besok keadaan rumah mereka sudah berubah. Ayahnya menjadi sultan, dan ibunya permaisuri. Anak berubah menjadi Raja Muda atau Pangeran Mahkota. Beberapa waktu kemudian, kembali ibu Awang Permai melahirkan anak perempuan, bernama Putri Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, datanglah seorang tua menghadap sultan, ayah Awang Permai. “Ampun Patik Tuanku, Patik datang kemari hendak melihat dan menujumkan putra dan putri tuanku. Seperti yang lazim dilakukan oleh pada anak-anak raja.” Ujar orang tua itu.

“Baiklah, aku beri waktu tiga hari. Kumpulkan segera semua ahli nujum di negeri ini.” Jawab sultan. Setelah tiga hari berkumpullah semua ahli nujum di negeri Awang Permai. Namun, orang tua yang pertama menghadap ternyata adalah anak buah seorang raja di negeri lain. Dia diperintahkan untuk mengaku menjadi ahli nujum dan menjalankan sebuah misi.

Beberapa waktu kemudian para ahli nujum mendapat kesimpulan dari terawangan mereka. Berkatalah orang tua yang mengaku ahli nujum pertama datang.

“Ampun Tuanku. Menurut penglihatan kami dua orang anak baginda harus disingkirkan karena akan membawa celaka kepada taunku.” Katanya dengan sembah sujud. Sultan atau ayah Awang Permai tidak percaya sedikit pun.

Begitu juga dengan para mentri dan punggawa istana. Namun, karena semua ahli nujum di negerinya sudah berkata sama akan ramalan itu. Sultan akhirnya percaya dan mengikuti kata para ahli nujum.

Akhirnya, Awang Permai dan Mayang Mengurai dibawa ke hutan, dan ditinggalkan disana. Mereka berangkat pada malam hari, dan dikawal Datuk Panglima. Sebenarnya Datuk Panglima tidak sampai hati meninggalkan kakak beradik yang masih anak-anak. Untuk bekal makan mereka sementara, diberikan tujuh buah ketupat.

Kira-kira pukul tiga malam berkatalah Mayang Mengurai. “Adinda lapar, Kanda. Oleh Awang Permai diberikan ketupat sebelah. Lalu membujuk adiknya jangan menangis. Saat mereka haus, mereka pergi dan Awang Permai menggendong adiknya. Beberapa saat berjalan keduanya menemukan sebuah telaga di hutan itu. Mereka gembira dan minum sepuasnya.

Tidak jauh dari mereka minum, ternyata ada dua ekor singa. Keduanya berpikir akan menerkam mereka. Yang dapat mereka lakukan hanya pasrah pada tuhan. Tapi dua ekor singa itu datang ke hadapan mereka dan duduk meniarap di tanah. Tanda keduanya tidak akan menerkam mereka.

Belum hilang rasa terkejut dan heran Awang Permai dan Mayang Mengurai. Dari dalam kolam muncul seekor naga yang mau menolong mereka. “Hai, Awang Permai masuklah kau kedalam mulutku ini. Di dalamnya ada sebuah permata cincin, ambillah dan gunakan kalau perlu. Ingatlah, permata ini harus dipakai turun-temurun. ” Kata sang Naga.

Setelah diambil, benar cincin pas di jari Awang Permai dan Jari adiknya. Di kemudian hari, saat diwariskan cincin juga pas dengan jari-jari keturunannya. Awang Permai memiliki cincin pemberian ibunya. Kemudian dia berikan pada adiknya. Cincin pemberian naga dia pakai. Tujuh buah ketupat habis, mereka sekarang makam buah-buahan pemberian dua singa.

Suatu hari, datanglah seekor burung murai. Adiknya ingin makan burung. Awang Permai lalu membidik burung murai itu, dan jatuh. Awang Permai pergi untuk mencari api. Dia bertemu dengan seorang yang tinggal di hutan. Tetapi orang itu menuduh Awang Permai mencuri tanamannya. Tidak jauh dari mereka berjumpa, terdapat sebuah sungai. Orang itu kemudian memukul Awang Permai. Dia jatuh pingsan dan berguling ke dalam sungai, hanyut.

Awang Permai ditemukan oleh seorang gadis bernama, Mah Dewa. Dia seorang putri raja yang diculik raksasa. Dia memercikkan air pada wajah Awang Permai. Akhirnya Awang Permai sadar dari pingsannya. Setelah itu, Awang Permai dibawa Mah Dewa ke rumah raksasa.

Tiga hari kemudian, si Raksasa pulang ke rumahnya. Dia curiga kalau ada orang baru di rumahnya. Itu tercium dari bau manusia selain Mah Dewa. Mah Dewa berusaha mengalihkan perhatian raksasa itu. Sehingga Awang Permai aman bersembunyi di sebuah peti.

Waktu berlalu dengan cepat, sehingga Awang Permai sekarang sudah berumur 17 tahun, sedangkan Mah Dewa 15 tahun. Keduanya berusaha bagai mana mengalahkan Raksasa itu. Dengan taktik hebat akhirnya Raksasa itu, mati.

Keduanya pergi ke arah pantai, lalu berjalan menyusuri pantai. Saat berjumpa dengan sebuah kapal, mereka meminta pertolongan. Nahkoda kapal berhenti, saat melihat Mah Dewa yang cantik dia pun tertarik. Timbul niatnya mau mempersunting Mah Dewa. Nahkoda bertanya Awang Permai, siapa dia Mah Dewa. Awang Permai mengakui Mah Dewa sebagai adik angkatnya.

Nahkoda yang tertarik pada Mah Dewa berusaha menyingkirkan Awang Permai. Nanti, setelah Mah Dewa cukup dewasa akan dia nikahi. Di tengah lautan, Nahkoda kapal kesultanan memerintahkan anak buahnya melemparkan Awang Permai ke lautan. Beberapa saat kemudian Awang Permai ditelan ikan hiu. Ikan Hiu itu kemudian terdampar di sungai, di dekat rumah Nenek Kabayan. Nenek Kabayan pergi ke tepian hendak mandi.

“Nenek Kabayan, turiskan perutku dengan daun ilalang sehelai. Nanti akan kau dapati anak seorang raja yang bertuah. Nenek Kabayan menuruti permintaan ikan hiu itu. Benar, dia mendapati Awang Permai di dalam perut hiu. Awang Permai akhirnya tinggal di rumah Kenek Kabayan. Nenek Kabayan seorang perajin perangkai bunga. Hasil bunga rangkaiannya sudah terkenal sampai ke kota dan istana sultan.

*****

Sementara itu, adik Awang Permai yang dulu ditinggal di hutan saat dia pingsan dan jatu kesungai. Mayang Mengurai yang menunggu dan mencari Awang Permai kemana-mana tidak bertemu dan tidak kunjung kembali, hanya dapat menangis. Tangisan Mayang Mengurai terdengar oleh seorang putra raja yang sedang berburu. Oleh putra raja itu, Mayang Mengurai dibawa ke istana. Raja dan ratu pun sangat menyayangi Mayang Mengurai. Sekarang Mayang Mengurai sudah besar, dan dia menjadi menantu raja.

*****

Suatu hari Nenek Kabayan bertanya pada Awang Permai. “Awang Permai, siapakah kau sebenarnya. Apakah benar kau anak seorang raja.” Tanya Nenek Kabayan seraya mengunya siri. Awang menjawab. “Tidak Nek, saya anak orang biasa.”

“Besok ada kapal yang merapat di pelabuhan. Dalam penyambutan sudah biasa mengalungkan bunga pada Nahkoda kapal.” Kata Nenek Kabayan. Dia juga menceritakan memang sering orang-orang memesan rangkaian bunga padanya. Tapi rangkaian bunga yang dipesan belum dibuat. Maka Awang Permai diminta membatu merangkai bunga agar cepat selesai.

Saat itu, datang lalat hijau besar. Awang Permai menyarankan Nenek Kabayan mengikuti lingkaran yang dibuat oleh lalat hijau itu. Setelah selesai jadilah rangkaian bunga yang sangat indah. Keesokan harinya, Nenek Kabayan pergi ke pelabuhan dan memberikan rangkaian bunga.

Sementara Awang Permai menyamar menjadi nelayan. Dia memancing dan mendapat ikan yang banyak. Nahkoda kapal membeli ikan pada Awang Permai. Tahulah Awang Permai kalau nahkoda itulah yang melemparkannya ke laut. Dia juga melihat seorang gadis di geladak kapal, Mah Dewa. Keesokan harinya kapal itu kembali berlayar.

*****

Suatu hari terkabarlah permaisuri sultan negeri Nenek Kabayan sakit keras. Permaisuri itu adalah mertua dari Mayang Mengurai adik Awang Permai. Kemudian diadakan sayembara menyembuhkan permaisuri dari penyakitnya. Siapa yang dapat menyembuhkan akan diberikan hadiah yang besar.

Banyak dukun dan tabib yang datang. Namun tidak satupun yang dapat mengobati. Dalam keadaan putus asah keluarga sultan. Awang Permai datang untuk ikut mengobati permaisuri. Beberapa saat kemudian, permaisuri mulai membaik dan sembuh dari sakitnya. Saat ditanya hadiah apa yang Awang Permai inginkan. Awang Permai tidak mau apa-apa, dia ikhlas menolong.

“Baiklah kalau begitu, Awang Permai. Tapi, saya minta sudilah kau tinggal di istana bersama Nenek Kabayan.” Pinta Sultan. Awang Permai akhirnya menerima tawaran sultan, dia juga merasa tidak enak menolak ketulusan sang sultan. Suatu hari, Awang Permai melihat putri cantik di taman istana. Awang Permai ada firasat kalau itu adalah adiknya. Dia meminta Nenek Kabayan menemani putri mandi dan melihat di punggungnya, apakah ada tanda. Benar sekali, memang terdapat tanda lahir di punggung tuan putri.

Awang Permai memiliki banyak kemampuan, termasuk ilmu silat. Sultan menyadari kehebatan Awang Permai, lalu dia mengangkatnya menjadi Panglima pasukannya. Waktu pernikahan Mayang Mengurai dengan Putra Mahkota yang menemukannya di hutan, tiba. Banyak tamu yang diundang, pembesar negeri, orang kaya, dan salah satunya nahkoda yang melemparkan Awang Permai ke laut beberapa waktu lalu.

Karena tidak ada wali Mayang Mengurai. Maka Kadi (hakim) kesultanan yang akan menikahkannya. Saat itu, Awang Permai berkata kalau dialah wali dari Mayang Mengurai. Sebab dia adalah kakak kandungnya. Namun, sultan dan semua orang tidak langsung percaya. Awang Permai mengeluarkan cincin pemberian naga dulu sewaktu di hutan. Dia meminta Tuan Putri mengeluarkan cincin permata delima.

Tuan Putri terkejut karena Awang Permai tahu dia memiliki cincin itu. Dia juga yakin kalau Awang Permai kakaknya. Awang Permai menerangkan kalau kedua cincin mereka dapat menyatu apabila dimasukkan kedalam air. Dia mengambil gelas berisi air dan meletakkan kedua cincin mereka. Saat melihat itu, semua menjadi yakin kalau Awang Permai dan Mayang Mengurai adalah kakak beradik kandung.

Bertemulah kakak beradik yang saling merindukan. Awang Permai menikahkan Mayang Mengurai. Setelah acara pernikahan selesai, berceritalah keduanya tentang kejadian yang menimpa mereka. Mulai dari dibuang ke hutan oleh orang tua mereka. Kemudian Awang Permai dipukul orang, pingsan dan sampai disandera di rumah Raksasa.

Awang Permai juga menceritakan pertemuan dengan Mah Dewa yang disandera Nahkoda kapal kesultanan. Bagaimana dia dilempar ke laut dan dibantu Nenek Kabayan. Mendengar cerita itu, menangis semua orang mendengarnya. Begitu juga Mayang Mengurai yang merasa telah ditinggal oleh kakaknya. Dia pernah berpikir kalau Awang Permai tidak sayang padanya.

Mendengar itu, sultan menjadi marah pada Nahkoda kapal kerajaan. Kemudian dia memerintahkan prajurit untuk menangkap Nahkoda jahat itu dan dihukum mati. Mah Dewa kemudian dibebaskan dari sanderaan Nahkoda. Berjumpalah Awang Permai dan Mah Dewa kembali. Kembali pernikahan diadakan di istana. Kadi kesultanan menikahkan keduanya. Akhirnya Awang Permai dan adiknya Mayang Mengurai hidup bahagia bersama keluarga baru mereka.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 16 Desember 2020.
Sumber. M. Jusuf Djamil, lahir di Stabat tahun 1931 berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic.

Rabu, 09 Desember 2020

Muslihat Busuk Kepala Labu

Jurnal Sastra Apero Fublic.- Alkisah zaman dahulu, pada masa kesultanan Islam di Nusantara. Hiduplah di Kesultanan Langkat seorang pemuda yang dijuluki warga daerahnya, Busuk Kepala Labu. Hidup miskin bersama orang tuanya. Pekerjaannya sebagai pembela kayu bakar dan dijual ke pasar.

Dijuluki dengan Busuk Kepala Labu karena pemuda itu sangat pandai berkelakar atau membual. Dia juga cerdik mengakali orang-orang. Walau demikian, dia tidak pernah berbuat berbuah tercelah dan melanggar hukum. Di daerah itu, terdapat pasar yang ramai dan pelabuhan kapal besar.

Suatu hari, Sultan membangun rumah di daerah tinggal, Busuk Kepala Labu. Suatu hari Sultan berjalan-jalan di desa Busuk Kepala Labu. Dia menemukan keadaan keluarga dan Busuk Kepala Labu yang sangat memprihatinkan. Penghasilan dari menjual kayu bakar tidak mencukupi, selain makan sehari-hari. Karena merasa kasihan dan ingin membantu kehidupan Busuk Kepala Labu. Baginda Sultan mempekerjakannya di rumah kediaman Sultan.

Setelah beberapa lama bekerja, putra dan putri sultan juga kasihan. Di kediaman sultan menetap putri bungsunya yang belum menikah. Dia bermaksud membatu Busuk Kepala Labu mendapatkan uang lebih. Suatu hari, dimintalah Busuk Kepala Labu membeli perbekalan alat menyirih.

Kemudian putri meracik sirih untuk dijual kembali kepada warga di pasar. Satu racikan sirih sehat itu, seharga satu sen sesuai apa yang diajarkan Putri Bungsu. Tapi, Busuk Kepala Labu menaikkan harga penjualan. Awalnya dua sen, kemudian tiga sen satu racikan.

Semua anak-anak sultan, teman-teman Putri Bungsu dan lainnya merasa heran. Padahal pembeli siri dagangan Busuk Kepala Labu orang-orang istana. Busuk Kepala Labu tidak mengerti dibantu agaknya, atau dia memang sengaja karena tahu orang-orang kaya itu yang menjadi pembeli. Suatu hari, daerah kesultanan itu kedatangan kunjungan putra-putri sultan daerah seberang. Saat membeli ikat sirih, mereka keheranan mengapa begitu mahal harganya.

“Mengapa kau begitu mahal menjual seikat racik siri ini.” Tanya Putra Sultan Negeri Seberang itu.

“Tidak, tahukah kalau ini siri racikan Putri Bungsu Sultan negeri ini. Itulah mengapa harganya mahal.” Kata Busuk Kepala Labu. Putra raja dan pengawalnya tidak percaya, maka dia bertanya pada penduduk kota. Penduduk kota memberi tahu agar jangan percaya pada Pemuda itu, karena dia seorang pembual. Tidak mungkin putri Sultan mau menikah dengannya.

Tapi gosip terlanjur menyebar dan tersampaikan ke Putri Bungsu.

Putri Bungsu bukan main marahnya. Kemudian dia mencari Busuk Kepala Labu dengan amarah yang meluap-luap. Mana mungkin dia mau menikah dengan orang seperti Busuk Kepala Labu. “Dasar tidak tahu terima kasih, dibantu malah membuat gosip.” Gerutu Putri Bungsu. Saat menjumpai Busuk Kepala Labu dia langsung marah dan mau memukulnya.

Menyadari kalau Putri Bungsu sangat marah. Busuk Kepala Labu melarikan diri, dan Putri Bungsu mengejar. Sampai akhirnya Busuk Kepala Labu tiba di kantor pengadilan agama Islam. Kemudian dia menemui kadi. “Ada apa kau ke kantor pengadilan ini, anak muda?.” Tanya Kadi Kesultanan. Masih dengan nafas sesak dia berkata.

“Tuan Kadi, Putri Bungsu baginda sultan mengejar saya memaksa menikah dengannya.” Kata Busuk Kepala Labu, pada Tuan Kadi. Tuan Kadi yang mengerti syariat Islam dan hukum adat. Tidak boleh bujang dan gadis berlarian berkejaran. Mungkin juga pikir Tuan Kadi sudah terjadi sesuatu diantara mereka. Maka Tuan Kadi memutuskan menikahkan Busuk Kepala Labu dan Putri Bungsu. Karena pengadilan memutuskan demikian, tidak ada lagi yang dapat memprotes termasuk baginda Sultan.

Pulanglah mereka berdua ke rumah kediaman Sultan. Tapi keduanya tidak sejalan karena Putri Bungsu tidak mencintai dan menyukai Busuk Kepala Labu. Busuk Kepala Labu kemudian berpikir bagaimana cara agar diterima tuan Putri. Suatu malam Busuk Kepala Labu tidak bisa tidur. Karena dia tidur di luar, banyak nyamuk. Dia merenung entah apa yang dia pikirkan.

“Tuttt.. Tuuttt...Tutttt. Tutttt... Tutttt... Tutttt,” Terdengar dua suara terompet kapal layar besar yang akan berlabu di pelabuhan. Busuk Kepala Labu kemudian berpikir keras tentang sesuatu. Kali ini, entah apa yang dia pikirkan.

Keesokan harinya, Busuk Kepala Labu pergi ke pelabuhan dengan berteriak gembira dan bahagia. Dari kediaman sultan dia berteriak-teriak kalau ada kerabatnya orang kaya datang di pelabuhan. Kata-katanya didengar oleh Putri Bungsu dan dayang-dayang. “Bang Ulung dan Bang Nga.

Sepanjang jalan dia berteriak-teriak memanggil Bang Ulung dan Bang Nga. Sesampai di pelabuhan dia berkata, ini kapal Bang Ulung. “Bang Ulung, apa kabarmu saudaraku. Lama tidak jumpa dan aku merindukanmu. Pemilik kapal yang tidak kenal dan tidak tahu menahu pada Busuk Kepala Labu menjadi kesal. Lalu dia meminta anak buahnya melemparkan ke luar kapal. Sehingga Busuk Kepala Labu jatuh ke laut.

Dengan basah kuyup dia kemudian naik ke kapal yang satunya. Kembali dia berteriak-teriak memanggil-manggil. “Bang Nga, apa kabar saudaraku.” Pemilik kapal itu juga kesal pada Busuk Kepala Labu yang diminta berhenti tidak berhenti. Bahkan Busuk Kepala Labu berani memeluk saudagar kaya pemilik kapal. Oleh pengawalnya, kembali dia dilemparkan keluar kapal dan jatuh ke laut.

Prajurit kerajaan mencari Busuk Kepala Labu. Lalu membawa dia ke istana, dimana Sultan dan pejabat sudah berada di istana untuk menjamu kedua saudagar kaya itu. Sultan menyatakan pada kedua saudagar kalau Busuk Kepala Labu adalah menantunya.

Dinikahkan oleh Kadi Kesultanan di pengadilan. Keduanya terkejut mendapati Busuk Kepala Labu. Mereka kaget takut perbuatan di adukan oleh Busuk Kepala Labu kepada sultan. Mereka pasti kena hukum apabila telah memperlakukan menantu raja tidak sopan.

“Bang Ulung dan Bang Nga, apa kabar?. Apa kalian tidak rindu dengan saudaramu ini.” Sapa Busuk Kepala Labu. Keduanya akhirnya mengalah dan mengikuti kehendak Busuk Kepala Labu. “Kabar baik saudaraku, bagaimana keadaan kamu. Kami sangat bersyukur sekarang saudara kami menjadi menantu sultan.” Kata keduanya. Seisi ruangan, Sultan, Pejabat Istana, dan Putri Bungsu menjadi terkejut. Tidak menyangka kalau Busuk Kepala Labu adalah saudara saudagar kaya dan bangsawan dari negeri seberang.

“Bagaimana, Apakah peninggalan Pakcik dibagi rata dengan saudara-saudara.” Tanya Busuk Kepala Labu. Keduanya terpaksa menjawab, karena sudah mengaku keluarga. Kalau sandiwara ketahuan sultan, mereka bisa di penggal berani mempermainkan sultan.

“Iya, semua mendapat bagian masing-masing.” Jawab yang satunya.

“Abang Nga, apakah lahan perkebunan lada, gambir, dan tambang timah orang tua kita dulu masih berjalan dengan baik.” Tanya Busuk Kepala Labu pada saudagar satunya. Saudagar itu, kaget bukan main mendapatkan pertanyaan seperti itu yang tidak-tidak. Tapi dia terpaksa menjawab dengan sandiwara juga. Takut Sultan tersinggung dan akan mendapat kesulitan membuat menantu sultan marah. “Alhamdulilah, saudaraku. Semua usaha orang tua kita masih menghasilkan dan bertambah maju.” Jawab saudagar itu.

“Baiklah kalau begitu, Alhamdulillah. Kalau kalian berdua tidak keberatan dengan harta berlimpah itu. Berilah aku kekayaan di tanah rantau ini. Agar aku hidup lebih layak di negeri rantau.” Kata Busuk Kepala Labu. Kedua saudagar itu kaget bukan main, matanya melotot. Tapi mereka sedang berurusan dengan keluarga istana. Hal yang sangat merepotkan apabila mereka marah. Maka keduanya mengiakan dan berjanji memberikan harta yang banyak.

“Alhamdullilah, kalian sesama keluarga sudah bertemu. Kami merasa bahagia mendapatkan menantu keluarga bangsawan dan saudagar kaya. Mari, kita makan terlebih dahulu dan setelah baru berbicara lagi.” Kata Sultan. Semua makan dengan lahap dan kekenyangan. Putri Bungsu dan pejabat istana merasa takjub pada Busuk Kepala Labu. Tidak di sangka pemuda miskin itu adalah keluarga bangsawan.

Sebelum pulang, kedua saudagar itu memberikan banyak uang, emas, dan pakaian yang indah dan bagus-bagus. Mereka terpaksa dan meminta maaf pada Busuk Kepala Labu atas perbuatan mereka di kapal. Sehingga Busuk Kepala Labu dapat membeli rumah bagus dan besar, berpakaian bagus, uang banyak dan dia membangun usaha juga.

Busuk Kepala Labu kemudian terkenal menjadi orang kaya dan anak bangsawan. Akhirnya Putri Bungsu menerima Busuk Kepala Labu dengan rela. Mereka tinggal di rumah mereka yang besar dan indah. Mereka hidup bahagia dan rukun selamanya.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 9 Desember 2020.
Sumber: Informan Mastur, lahir di Desa Hinai Kanan tahun 1920, berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisa Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
 
Sy. Apero Fublic

Selasa, 24 November 2020

Legenda Syeh Jangkung: Jawa Tengah

Jurnal Apero Fublic.- Pada zaman dahulu di tepi sungai di daerah Kota Kudus bermukimlah seorang Kyai bernama Ki Gede Keringan, bersama istri dan anak perempuannya, bernama Ni Branjung. Kehidupan Ki Gede Keringan tidak kekurangan suatu apa pun segala keperluan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan bekerja bercocok tanaman di sawah dan hasil kebun duriannya. Istrinya pun sangat setia mendampingi Ki Gede Keringan dalam penghidupannya sehari-hari. Begitu juga anaknya Ni Brunjung juga berbakti pada kedua orang taanya.

Diam-diam Ki Gede Keringan dan istrinya menyimpan suatu keinginan. Keduanya memimpikan mendapat seorang anak laki-laki. Sudah lama sekali keinginan itu tersimpan di dalam hati mereka. Sehingga keduanya tidak pernah lelalh berdoa dan berusaha. Setiap hari setelah sholat keduanya berdoa dan berzikir memuji kebesaran Allah SWT.

Doa yang sungguh-sungguh itu terkabulkan akhirnya. Suatu malam Ki Gede Keringan bermimpi bertemu dengan Sunan Kalijaga. Salah satu dari Wali Sembilan penyebar Islam di Tanah Jawa. Anak tersebut adalah putra Sunan Muryo dengan istrinya Dewi Samaran. Sunan Kalijaga berpesan agar anak itu dijaga baik-baik.

Waktu terbangun dari tidur, benarlah apa yang terjadi di dalam mimpinya. Seorang bayi laki-laki dengan tangis yang keras sekali terdengar di dalam rumahnya. Di gendongnya bayi itu, lalu membangunkan istrinya. Istrinya melihat Ki Gede Keringan menggendong bayi dibalut kain kesemekan. Ki Gede kemudian menceritakan mimpinya, barulah istrinya mengerti. Kelak kain tersebut menjadi senjata bayi itu, ketika dia sudah dewasa nanti.

Dengan penuh kasih sayang, suami istri itu membesarkan bayi itu. Mereka beri nama, Saridin. Rasa syukur juga mereka panjatkan pada Allah SWT. Saridin cepat tumbuh besar dan menjadi teman bermain kakaknya, Ni Branjung. Keduanya menjadi saudara yang akrab dan saling mengasihi. Keduanya didik dengan baik tentang ilmu agama Islam.

Bagi Saridin sendiri semua ilmu yang diturunkan padanya dapat dipelajari dengan mudah. Saridin berkembang menjadi pemuda yang cerdas dalam segala hal. Selain itu, Saridin menjadi orang yang sakti dan kebal senjata. Seiring waktu berjalan dengan cepat, dalam usia lanjut Ki Gede Keringan meninggal dunia, tidak berapa lama disusul istrinya juga.

Ni Branjungan dan Saridin oleh orang tuanya diwarisi berupa pohon durian. Keduanya setuju untuk membagi uang hasil penjualan panen buah durian tersebut. Hasil kebun durian cukup untuk biaya hidup mereka. Sehingga tenang kehidupan Ni Branjung dan Saridin tidak pernah terjadi sengketa dan perselisihan.

Ketenangan keduanya mulai berubah, saat suami Ni Branjung mulai memperlihatkan keserakahannya. Suami Ni Branjung tidak suka apabila hasil penjualan durian dibagi sama rata dengan Saridin. Dia ingin menguasai semua warisan mertuanya tanpa memberi sedikit pun pada Saridin.

Mulai setiap hari dia membujuk Ni Branjung untuk menipu Saridin. Agar tidak mendapat bagian dari hasil penjualan durian. Pada awalnya Ni Branjung tidak setuju, tapi karena dibujuk setiap hari, menurut juga akhirnya.

Ni Branjung mengusulkan pada Saridin. Durian yang jatuh pada malam hari adalah miliknya. Sedangkan yang jatuh di siang hari milik Saridin. Saridin setuju, walau dia tahu durian tidak begitu banyak jatuh di siang hari. Saridin dapat menduga, yang punya akal buruk pastilah suami Ni Branjung. Memang sejak pernikahan Ni Branjung, suaminya menampakkan keserakahan. Tapi Saridin tetap menjaga hubungan baik dengan kakaknya, Ni Branjung. Sehingga dia setuju dengan usul itu.

Pada malam hari, Saridin bersemadi dan berdoa pada Allah SWT. Dia memohon agar durian tidak jatuh di malam hari, tapi hanya jatuh di malam hari. Allah mengabulkan permintaannya. Dengan demikian durian-durian jatuh di siang hari. Menjadi milik Saridin sesuai perjanjian. Melihat kejadian itu, suami Ni Branjung tidak senang.

Kemudian kembali suami Ni Branjung membujuk istrinya untuk menukar perjanjian. Kemudian Ni Branjung membicarakan pada Saridin. Untuk menukar waktu jatah durian lagi. Yang jatuh siang milik Ni Branjung dan yang jatuh malam milik Saridin, dia setuju.

Sekali lagi Saridin bersemadi dimalam hari, berdoa pada Allah dan doanya dikabulkan. Kembali doa terkabulkan, dan durian kembali jatuh di malam hari. Suami Ni Branjung menjadi sangat kecewa dan menjadi penasaran. Dia berpikir tukar waktu bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan semua durian. Maka dia cari lagi cara untuk mendapatkan semua durian.

Setelah berpikir sejenak, suami Ni Branjung mendapatkan ide. Dia ingin menakuti-nakuti Saridin pada malam hari dengan memakai pakaian menyerupai harimau. Pastilah Saridin takut memungut durian di malam hari. Karena Saridin pasti akan berlari ketakutan.

Seperti biasa, malam harinya Saridin pergi untuk memungut durian. Senjata sakti berupa kain kasemekan tidak lupa dia bawa. Saat sedang memungut buah durian berserakan, dia mendengar suara harimau mengaum di bawa salah satu pohon durian. Tanpa pikir panjang Saridin melempar senjata kain kesemekan ke arah harimau. Harimau itu, tewas seketika terkena senjata Saridin.

Keesokan harinya, gemparlah tetangga Ni Branjung. Karena suami Ni Branjung telah tewas, yang celakanya dibunuh oleh Saridin. Ni Branjung sangat sedih, tapi dia juga mengerti. Kalau suaminya yang salah dengan menyamar menjadi harimau untuk menakuti Saridin. Seandainya Saridin tahu kalau itu perbuatan suaminya, pasti Saridin tidak akan melakukannya. Saridin tidak sengaja, sehingga Ni Branjung mengiklaskan dan itu adalah kehendak Allah.

Pada awalnya cerita kematian suami Ni Branjung hanya diketahui tetangganya. Lama kelamaan diketahui seluruh desa. Kemudian sampailah cerita kematian itu ke Bupati Pesantenan, Pati. Bupati mendengar kalau Saridin telah membunuh orang. Maka dia memanggil Saridin menghadap, untuk menjelaskan perkara itu. Hukum harus di tegakkan seadil-adilnya. Sidang perkara Saridin dilakukan, dan hasil putusan hakim Saridin dihukum mati.

Saridin menolak hukuman, dia merasa tidak membunuh manusia. Dia membunuh harimau yang mengganggunya. Tapi Saridin tetap mengikuti atas hukuman gantung. Saat dibawa ke tiang gantungan, saridin tidak takut dan dia biasa saja, bahkan tersenyum.

Rakyat, Bupati dan para pembesar hadir untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung Saridin. Saat hukuman gantung dilaksanakan, anehnya Saridin tidak merasa sakit sedikit pun. Tidak mati seperti manusia biasanya.

Mengetahui itu, Bupati mengakui kesaktian Saridin. Dia tidak dapat dihukun gantung. Kemudian dia diturunkan dari tiang gantungan. Bupati mencari akal untuk menghukum Saridin. Lalu Saridin dia persilahkan di rumah besar berjeriji besi. Saridin tidak betah terkurung di dalam rumah besar itu. Lalu dia hancurkan salah satu jeruji besi dengan senjata saktinya, kain kesemekan. Lalu dia pergi meninggalkan rumah itu.

Saridin tidak langsung pulang ke rumah. Tapi dia menuju pesantren Sunan Kudus  dan diterima menjadi murid dengan senang hati oleh Sunan Kudus. Saridin sering memperlihatkan kesaktiannya, seperti mengambil air dengan keranjang. Sunan Kudus marah, sebagai seorang murid tidak diperbolehkan bersifat sombong. Saridin tidak berubah atas nasihat Sunan Kudus. Bahkan semakin menjadi-jadi.

Saridin kemudian bersembunyi di lobang jamban. Ketika Nyi Sunan Kudus pergi buang air besar. Tertawalah Saridin sambil keluar berkubang kotoran manusia. Sunan Kudus murka, maka dia kejar Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Saridin berlari terus dan terus sampailah dia di sebuah sungai, lalu menceburkan diri.

Saat Sunan Kudus tiba di sana. Saridin keluar dari sungai dan melarikan diri. Secara aneh tempat itu tercium bau busuk (bacin dalam bahasa Jawa). Tempat itu, kemudian hari menjadi sebuah desa yang bernama Desa Bacin. Saridin berlari ke arah Barat. Sunan Kudus mengejar dan tiba di suatu tempat.

Tanpa sengaja Sunan Kudus dan Pengawalnya menginjak-injak pekarangan yang baru dibuat, dan rusak. Tempat itulah kemudian dikenal sekarang dengan nama, Karanganyar. Nama Karanganyar berasal dari kata pekarangan yang baru dibuat.

Sunan Kudus kembali mengejar Saridin ke arah selatan. Saridin berlari dan sampai di suatu tanggul dan dia beristirahat. Di tanggul itu, Saridin menyerang Sunan Kudus dengan cara mendatangkan angin deras. Tapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus. Banyak pengawal Sunan Kudus yang terjatuh dan tercerai berai. Tempat itu kemudian terkenal dengan nama, Tanggul Angin.

Saridin kemudian melarikan diri dan tiba di suatu tempat ia bersembunyi diatas pohon Cangkringan yang tinggi. Tidak berapa lama Sunan Kudus datang dan dia melihat. Saridin kemudian turun dan melarikan diri lagi. Tempat itu kemudian dinamakan Desa Cangkringan. Di ambil dari nama pohon Cangkringan.

Saridin terus melarikan diri, dengan tubuh masih berbau kotoran manusia. Sampailah dia di sebuah pasar lalu masuk ke dalam kerumunan orang di pasar. Orang-orang di dalam pasar menjadi bubar karena melihat Saridin dalam keadaan seperti itu, busuk. Sunan Kudus melihat orang di pasar yang buyar. Lalu berkata orang di pasar buyar. Kemudian nama pasar itu menjadi, Pasar Buyaran asal kata buyar.

Melihat Sunan Kudus sudah datang lagi. Saridin kembali melarikan diri. Badan Saridin yang besar dan tinggi dapat terlihat oleh Sunan Kudus diantara kerumunan orang-orang. Sunan Kudus tidak lagi mengejar Saridin. Dia hanya berdoa agar saridin menjadi orang yang baik dan selalu dijalan kebenaran. Sunan Kudus kemudian menjuluki Saridin dengan, Syeh Jangkung. Karena badannya tinggi besar atau jangkung dan pandai segala ilmu.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra
Sumber: Cerita Rakyat Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Sy. Apero Fublic.

Minggu, 22 November 2020

Legenda Imam Awang: Langkat.

Jurnal Apero Fublic.- Alkisah tersebutlah cerita Imam Awang. Dia merantau bersama tiga anaknya ke Kampung Tapak Kuda di daerah Langkat. Imam sendiri seorang laki-laki setengah baya dan tiga anaknya, dua laki-laki satu perempuan. Anak laki-laki bernama Abdurrasyid dan Hasim, dan perempuan bernama Halimah.

Imam Awang berasal dari Kedah di tanah Semenanjung Melayu. Dengan menumpang sebuah perahu (sagor) menyeberanglah dia ke pulau Sumatera. Imam Awang pergi dari tanah kelahirannya di Kedah karena ingin melupakan musibah yang menimpa keluarganya. Istri Imam Awang meninggal dunia, merupakan kesedihan besar bagi dirinya dan ketiga anaknya. Itulah kisah mengapa dia sampai ke Kampung Tapak Kuda di Langkat.

Sesampai di Kampung Tapak Kuda, datanglah Imam Awang ke rumah Penghulu. Karena hari sudah sore, dan tidak tahu kemana untuk bermalam bersama anak-anaknya. Maka dia menumpang bermalam di rumah Pak Penghulu. Dengan senang hati, Penghulu menerima keluarga Imam Awang.

Dari Kampung Tapak Kuda, Imam Awang melanjutkan perjalanan ke hulu. Sesampai di daerah Bubun, dia melihat banyak sampan besar tertambat di bagan. Orang pun sangat banyak di sana, sangat ramai sepertinya sudah terjadi sesuatu di sana.

Imam Awang merasa tertarik, kemudian dia bertanya pada salah satu warga. “Apa yang terjadi, sehingga orang begitu ramai?.” Tanya Imam Awang. “Sultan dan Keluarga sedang berada di kampung kita ini, karena daerah Langkat sudah dimasuki musuh.” Jawab warga itu.  Dia melanjutkan kata-katanya. “Sultan Langkat akan menguasai Kampung Pusung.” Karena Negeri sedang berperang dinasihatinya Imam Awang agar berhati-hati. Jangan banyak bercerita karena mungkin bisa membahayakan diri.

Imam Awang mengucapkan terima kasih, lalu dia melanjutkan perjalanan ke hulu. Sampailah dia ke Kampung Hinai. Di suatu tempat, ditepi sungai dia melihat banyak orang berkumpul. Karena mengingat nasihat warga di kampung Bubun, maka Imam Awang terus saja mengayu perahu. Tidak banyak berbicara atau tidak bertanya-tanya. Akan tetapi banyak orang memanggilnya dan meminta mereka berhenti. Imam Awang menepi sungai, lalu berhenti dan naik ke daratan setelah menambatkan perahunya.

Di sebuah rumah besar banyak orang berkumpul. Ada yang bercerita biasa, ada juga yang berkata-kata dengan wajah serius sekali. Di sisi lain sekitar itu, ada sekelompok anak muda dengan kesibukan lain. Mereka sedang mengasah senjata tajam, seperti parang, lembing, tombak. Imam Awang dan tiga anaknya dibawa orang naik ke rumah.

Dia melihat banyak orang berbadan tegap dan tinggi besar. Ada seorang yang paling gagah perkasa diantaranya. Wajahnya penuh jambang dan janggut. Rupanya dialah Datuk Kampung Hinai, yang dijuluki Datuk Janggut. Kepada Datuk Hinai itulah Imam Awang dan ketiga anaknya di hadapkan.

“Hai, orang yang baru datang, siapakah namamu, dari mana dan hendak kemana gerangan kalian?.” Tanya Datuk Janggut pada Imam Awang. Lalu Imam Awang menjawab. Dijawab semua pertanyaan itu oleh Imam Awang dengan penuh hormat dan sopan. Kemudian dia meminta diperbolehkan menjadi penduduk Kampung Hinai.

Datuk Janggut mengizinkan Imam Awang menjadi penduduk Kampung Hinai. Tetapi dengan syarat, Imam Awang bersedia membantu Kampung Hinai karena sedang terlibat perang dengan musuh. Akhirnya disetujui syarat itu, dan tugas Imam Awang mengajari penduduk ilmu keislaman. Sambil turut serta menjaga Kampung Hinai. Berhubungan keadaan tidak aman.

Sebagai guru agama Imam Awang mendapat banyak murid. Akan tetapi dia masih belum puas dengan keadaannya. Dia ingin pindah lagi dari sana menuju ke hulu sungai. Berjalanlah dia pergi ke hulu sungai, bersama tiga anaknya. Karena hari baru selesai hujan dan jalan licin. Di sebuah tempat Imam Awang tergelincir dan terjatuh kedalam sawah penduduk. Kebetulan pemilik sawah berada disekitar itu. Melihat padinya banyak yang rusak, patah-patah tertimpa tubuh Imam Awang. Membuat si pemilik sawah marah.

Imam Awang meminta maaf dan orang itu tidak mau memaafkan, sehingga terjadi keributan. Di bawalah Imam Awang ke hadapan beberapa orang. Mereka bersepakat mempersalahkan Imam Awang. Kemudian beberapa orang mulai memukul dan menerjang. Imam Awang masih sabar, tetapi perlakuan mereka semakin menjadi-jadi. Sehingga Imam Awang menjadi naik darah. Kemarahannya dia hantamkan pada sebatang pohon pinang. Sehingga semua buahnya jatuh berguguran.

Melihat itu, semua orang yang mengeroyok sadar kalau yang mereka hadapi bukan orang sembarangan. Mereka akhirnya meminta maaf dan pemilik padi juga meminta maaf. Imam Awang memaafkan semuanya dan untuk pemilik padi dia doakan agar tumbuh lagi dengan subur. Beberapa hari kemudian padi yang rusak itu, tumbuh kembali dengan subur. Setelah itu, Imam Awang menetap di Kampung Nangka. Pekerjaan sama, menjadi guru agama Islam seperti di Kampung Hinai.

*****

Datanglah musim menugal padi di ladang. Sebelum dilaksanakan dilakukan dengan membuat bubur Tik-tik. Dinamakan demikian karena proses membuatnya melalui saringan tempurung kelapa yang dilubangi. Karena jatuhnya tepung beras berbunyi tik-tik. Akan tetapi nama tik-tik dihubungi dengan harapan di hati penduduk petani agar hujan turun dari langit yang juga tik-tik. Sehingga padi akan tumbuh subur.

Kepada penduduk diajarkan Imam Awang cara-cara yang harus dilakukan agar tanaman padi berhasil dan baik. Di ladang itu mula-mula dibuatnya sebuah perigi bersegi empat. Atau seluas satu meter berbentuk bujur sangkar. Ditengah galian yang seluas satu meter bujur sangkar, dibuat lukisan Tapak Nabi Sulaiman dan diletakkan tepung tawar.

Sesudah itu, dimulainyalah menugal sebanyak tujuh lubang dan diisinya padi. Lalu Imam Awang membacakannya jampi-jampi. Kemudian tanaman padi tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan banyak buah padi. Makin hormatlah orang pada Imam Awang.

Pada suatu ketika Negeri Stabat sedang berperang. Oleh karena itu, dua orang panglima Stabat mendatangi Imam Awang untuk mengajak berperang di pihak Stabat. Akan tetapi, maksud sebenarnya dari mereka untuk menyingkirkan Imam Awang dari Kampung Nangka yang pengaruhnya sudah sangat besar. Ajakan kedua Panglima Stabat itu Imam Awang tolak dengan lembut.

Beberapa waktu kemudian, datang lagi lima orang panglima Negeri Stabat. Diantaranya Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Mereka kembalai mengajak Imam Awang untuk berperang membantu mereka. Tapi kembali Imam Awang tolak dengan lembut dan baik-baik.

Tidak lama kemudian datang lagi, Panglima Wan Patah dan Aja Rangi. Imam Awang kembali menolak dan kedua panglima itu marah. Lalu menantang Imam Awang untuk bertanding ilmu silat. Permintaan keduanya dilayani. Pertama satu lawan satu, kemudian dua lawan satu tapi Imam Awang tetap menang. Wan Patah mencabut klewangnya dan Aja Rangi mencabut kerisnya. Tapi keduanya kembali kalah.

Imam Awang berhasil menawan keduanya dengan melipat tangan mereka ke belakang. “Ku patahkan tangan kalian, atau kalin berdamai baik-baik.” Kata Imam Awang. Keduanya kemudian cepat-cepat menyerah. Mereka menyatakan ingin berguru pada Imam Awang. Tapi dengan syarat kata Imam Awang. Pertama mereka tidak boleh berperang lagi di pihak Stabat. Kedua, mereka harus menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan perang.

Belajarlah keduanya dengan Imam Awang ilmu silat. Setelah selesai keduanya menepati janji mereka dulu. Mereka mempengaruhi semua orang Negeri Stabat untuk tidak lagi berperang. Akan tetapi usaha mereka kurang berhasil karena tidak semua orang dapat dipengaruhi.

Bertahun-tahun di Kampung Nangka warganya jadi taat beragama. Pengaruh Imam Awang yang taat dan menjadi teladan warga Kampung Nangka. Imam Awang menikahi dua orang wanita di Kampung Nangka, bernama Mas dan Kwang. Anak-anak dari kedua istrinya juga banyak semuanya tinggal di Kampung Nangka. Sedangkan anak-anaknya yang dia bawa dari Kedah, tinggal di Kampung Hinai, beranak dan bercucu.

Kuburan Imam Awang dijumpai di Kampung Nangka di tepi sungai. Kuburan Imam Awang dianggap warga kuburan keramat. Banyak orang datang memohon sesuatu kesana. Seiring waktu, dengan adanya dakwa dan penerangan agama dilanjutkan berkembangnya sekolah-sekolah. Warga semakin pintar dan mengerti hukum syirik dan syariat Islam. Sehingga perhatian orang tidak lagi tertuju pada Kuburan Imam Awang. Sekarang kuburan Imam Awang sudah tidak terawat dengan baik.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 23 November 2020.
Sumber. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987. Informan cerita bernama M. Ridwan, lahir di Binjai tahun 1926 seorang guru SMP, berbahasa Melayu.

Sy. Apero Fublic.

Hikayat Wa Lancar

Apero Fublic.- Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama, Wa Lancar. Wa Lancar tinggal bersama ibunya, sedangkan ayah sudah tiada. Kehidupan mereka sangat sederhana, mata pencaharian ibunya dari menjual kayu bakar di pasar.

Lancar tidak belajar seperti anak-anak lainnya, seusianya. Melihat teman-temannya belajar, timbul hasrat Wa Lancar mau belajar. Wa Lancar meminta restu ibunya untuk belajar. Dengan berat hati ibu Wa Lancar mengizinkan dia  pergi belajar. Pergilah Wa Lancar menemui Syeh yang ternama di daerahnya.

“Ada apa kau datang, bujang.” Tanya Syeh itu. Wa Lancar dengan memohon meminta diangkat menjadi murid syeh itu. Dia tidak dapat membayar, untuk itu dia mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Namun bertahun-tahun Wa Lancar tidak pernah belajar seperti murid-murid lain.

Wa Lancar hanya belajar dari murid-murid Syeh itu. Wa Lancar terus bersabar dan terus hanya belajar dari murid-murid syeh tanpa setahu Syeh itu. Karena kesabarannya terbatas bertanyalah dia pada syeh itu. Karena Wa Lancar datang untuk belajar bukan hanya bekerja di rumah syeh itu, tanpa di gaji.

Wa Lancar kemudian menjelaskan pada syeh itu kalau dia mau belajar seperti anak-anak lainnya. Kemudian syeh memberinya pelajaran dengan sebuah kalimat. “Kalau sudah lapar, jangan makan.” Setelah memberikan kalimat itu syeh menyatakan kalau Wa Lancar sudah tamat mengaji. Wa Lancar tidak mengerti dengan maksud kata-kata itu. Rasa herannya ditekannya didalam hatinya. Kata-kata syeh itu, kemudian dia ingat baik-baik. Kemudian Wa Lancar pergi meninggalkan rumah syeh itu.

Kemudian Wa Lancar pergi menemui seorang syeh yang lain. Dia bermaksud untuk belajar dengan syeh itu. Kembali Wa Lancar melakukan aktivitas seperti di rumah syeh yang pertama. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah syeh itu, bertahun-tahun.

Tapi Wa Lancar belum juga di angkat menjadi murid dan belajar seperti anak-anak lain. Diam-diam Wa Lancar belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Beberapa tahun kemudian Wa Lancar menghadap syeh dan menegaskan kalau dia ingin belajar seperti murid-murid lainnya.

Ketika Wa Lancar datang menghadap dan meminta pelajaran ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Syeh itu kemudian berkata. “Kalau lelah berjalan, berhentilah. Wa Lancar tidak mengerti dengan perkataan itu. Tapi dia akhirnya pergi juga meninggalkan rumah syeh itu. Dia kembali pergi mencari guru untuk belajar. Saat dia menemukan seorang syeh di daerah lain, dia juga datang menghadap.

Wa Lancar kemudian kembali bekerja di rumah syeh itu, tanpa gaji. Dia hanya ingin belajar ilmu pengetahuan. Bertahun-tahun lamanya namun dia belum juga mendapat pelajaran. Sebagaimana saat dia berada di rumah syeh sebelumnya. Wa Lancar hanya belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Tidak pernah diangkat murid atau diberikan pelajaran.

Wa Lancar kembali menghadap dan menegaskan dia meminta diberi pelajaran. Syeh itu kemudian berkata. “Ambil batu, ambil pisau, asah tajam-tajam.” Kembali keheranan Wa Lancar juga pergi pulang ke rumah ibunya. Wa Lancar mengingat kata-kata syeh terakhir itu, juga. Waktu berlalu Wa Lancar terpikir untuk mengabdikan pengetahuannya di tengah masyarakat.

Pergilah Wa Lancar ke sebuah Kampung. Dia menuju sebuah masjid untuk beribadah. Memutuskan tinggal di masjid untuk sementara. Terlebih dahulu Wa Lancar meminta izin pada pemuka kampung itu. Selain ibadah, Wa Lancar juga membersihkan masjid.

Karena ketekunan dan ketaatan Wa Lancar membuat warga kampung tertarik. Mereka meminta untuk mengajar ilmu agama di masjid. Wa Lancar tidak menolak karena memang itu yang dia rencanakan. Wa Lancar mengajar, waktu demi waktu muridnya bertambah banyak. Dia pun terkenal sebagai seorang ulama yang berilmu. Sampai juga berita itu pada syeh tempat dia mau belajar dulu, tapi tidak diterima-terima.

Kadi kerajaan menjadi iri atas kemajuan mengajar Wa Lancar. Banyak murid Kadi kerajaan pindah tempat belajar ke Wa Lancar. Kepindahan itu membuat kadi kehilangan sebagian pemasukannya. Kemudian Kadi mengadukan Wa Lancar kepada Sultan dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat.

Pengaduan itu, menyebabkan Wa Lancar di hukum. Dia dihukum menikahi putri sultan yang sudah menikah sebanyak 17 kali. Tujuh belas suami putri sultan itu meninggal dunia sehari setelah ijab kabul. Walau takut terpaksa Wa Lancar menikahi putri sultan itu.

Pertama-tama Wa Lancar dan temannya dijamu di istana. Ketika itu, perut Wa Lancar terasa begitu lapar. Wa Lancar pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Kalau sudah lapar, jangan makan. Dengan segera Wa Lancar tidak makan. Beruntung Wa Lancar tidak makan. Sebab ternyata hidangan telah diracuni. Sehingga dia tidak mati, sementara temannya meninggal setelah makan.

Melihat Wa Lancar selamat, kembali rencana pembunuhan dilakukan. Kemungkinan Kadi kerajaan yang menjadi otak pembunuhan Wa Lancar. Keesokan harinya Wa Lancar diperintahkan ke suatu tempat. Di kawal oleh seorang prajurit. Karena perjalanan jauh membuat Wa Lancar menjadi lelah.

Dia pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Lelah berjalan, berhentilah. Dia pun berhenti dan pengawal itu terus berjalan. Tidak seberapa lama pengawal itu menjerit dan mati. Ternyata tempat yang diperintahkan itu, telah dipasang perangkap membunuh.

Setelah melewati dua aksi pembunuhan, tibalah Wa Lancar untuk masuk kamar putri yang sudah dia nikahi. Karena tuan putri sedang tidur dan keadaan sepi. Wa Lancar kemudian duduk berdiam diri di salah satu sudut kamar.

Saat itu, dia teringat pesan syeh yang ketiga yang dia datangi. “Ambil batu, ambil pisau, lalu asahlah.” Maka dari pada melamun Wa Lancar melakukan apa yang dia ingat. Pisau tajam, ketika itu, tiba-tiba datang lipan putih yang hendak menggigit Wa Lancar. Lansung saja, Wa Lancar menikam lipan putih sampai mati. Lipan itulah yang selama ini menewaskan suami-suami tuan putri karena mereka terlalu ceroboh dan terburu nafsu.

Akhirnya sang Kadi kerajaan yang dianggap membawa ajaran sesat. Sedangkan Wa Lancar setelah diuji pihak kerajaan tidak terdapat tanda mengajarkan ajaran sesat. Kemudian pernikahan Wa Lancar dirayakan karena tuan putri telah lepas dari lipan putih, penunggu badannya.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 22 November 2020.
Sumber: Informan Amir Bintang, lahir di Tanjung Pura 1927 bergama Islam dan berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic.

Jumat, 20 November 2020

Sastra Klasik Prototipe Bahasa Indonesi Modern: GURINDAM DUA BELAS

Jurnal Apero Fublic.- Gurindam Dua belas adalah sastra klasik yang ditulis oleh Raja Ali Haji seorang bangsawan Melayu di Kesultanan Riau Lingga. Gurindam Dua Belas yang selesai ditulis oleh Raja Ali Haji pada tahun 1846 Masehi, saat dia berusia 38 tahun.

Oleh Hasan Junus digolongkan sebagai puisi didaktik (sya’ir al-irsyadi) karena berisikan nasihat dan petunjuk yang diridhoi Allah. Raja Ali Haji menyampaikan inti dari hukum Al-Quran dan Hadis melalui sastra syair seperti Gurindam Dua Belas ini. Menggunakan cara orang-orang sufi yang sarat dengan makna tersirat.

Gurindam sama halnya dengan genre puisi. Gurindam dalam kebudayaan Melayu digunakan juga untuk menyebut lagu-lagu ratap atau orang akan berpisah. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji selalu disampaikan dengan cara disenandungkan atau dilagukan.

GURINDAM DUA BELAS
 
Ini Gurindam Pasal yang Pertama
 
Barang siapa tiada memegang agama.
Sekali-sekali tidak boleh dibilang nama.
 
Barang siapa mengenal yang empat.
Maka yaitulah orang yang ma’rifat.
 
Barang siapa mengenal Allah.
Suruh dan teganya tiada ia menyalah.
 
Barang siapa mengenal diri.
Maka telah mengenal Tuhan yang bahari.
 
Barang siapa mengenal dunia.
Tahulah ia barang yang terperdaya.
 
Barang siapa mengenal akhirat.
Tahulah ia dunia mudharat.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kedua.
 
Barang siapa mengenal yang tersebut.
Tahulah ia makna takut.
 
Barang siapa meninggalkan sembahyang.
Seperti rumah tiada bertiang.
 
Barang siapa meninggalkan puasa.
Tidaklah mendapat dua temasa.
 
Barang siapa meninggalkan zakat.
Tiadalah hartanya beroleh berkat.
 
Barang siapa meninggalkan haji.
Tiadalah ia menyempurnakan janji.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Ketiga
 
Apabila terpelihara mata.
Sedikitlah cita-cita.
 
Apabila terpelihara kuping.
Kabar yang jahat tiada damping.
 
Apabila terpelihara lidah.
Niscaya dapat daripadanya faedah.
 
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan.
Daripada segala berat dan ringan.
 
Apabila perut terlalu penuh.
Keluarlah fi’il yang tidak senono.
 
Anggota tengah hendaklah ingat.
Di situlah banyak orang yang hilang semangat.
 
Hendaklah peliharakan kaki.
Daripada berjalan yang membawa rugi.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keempat
 
Hati itu kerajaan di dalam tubuh.
Jikalau zalim segala anggota pun roboh.
 
Apabila dengki sudah bertanah.
Datanglah daripadanya anak panah.
 
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir.
Di situlah banyak orang tergelincir.
 
Pekerjaan marah jangan dibela.
Nanti hilang akal di kepala.
 
Jika sedikit pun berbuat bohong.
Boleh diumpahkan mulutnya di pekung.
 
Tanda orang yang amat celaka.
Aib dirinya tiada ia sangka.
 
Bakhil jangan diberi singgah.
Itulah perompak yang amat gagah.
 
Barang siapa yang sudah besar.
Janganlah kelakuannya membuat kasar.
 
Barang siapa perkataan kotor.
Mulutnya itu umpama ketor.
 
Dimana tahu salah diri.
Jika tidak orang lain yang berperi.
 
Pekerjaan takabur jangan direpih.
Sebelum mati didapat juga sepih.

*****
 
Ini Gurindam Pasal Yang Kelima
 
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa.
Lihat kepada budi dan bahasa.
 
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia.
Sangat memeliharakan yang sia-sia.
 
Jika hendak mengenal orang mulia.
Lihatlah kepada kelakuan dia.
 
Jika hendak mengenal orang yang berilmu.
Bertanya belajar tiadalah jemu.
 
Jika hendak mengenal orang yang berakal.
Di dalam dunia mengambil bekal.
 
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai.
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keenam
 
Cahari olehmu akan sahabat.
Yang boleh dijadikan obat.
 
Cahari olehmu akan guru.
Yang boleh tahukan tiap seteru.
 
Cahari olehmu akan istri.
Yang boleh menyerahkan diri.
 
Cahari olehmu akan kawan.
Pilih segala orang yang setiawan.
 
Cahari olehmu akan andi.
Yang ada baik sedikit budi.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Ketujuh
 
Apabila banyak berkata-kata.
Disitulah jalan masuk dusta.
 
Apabila banyak berlebih-lebihan suka.
Itulah tanda hampiran duka.
 
Apabila kita kurang siasat.
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
 
Apabila anak tidak dilatih.
Jika besar bapaknya letih.
 
Apabila banyak mencela orang.
Itulah tandanya dirinya kurang.
 
Apabila orang banyak tidur.
Sia-sialah sahajalah umur.
 
Apabila mendengar akan kabar.
Menerimanya itu hendaklah sabar.
 
Apabila mendengar akan aduan.
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
 
Apabila perkataan lemah-lembut.
Lekaslah semua orang mengikut.
 
Apabila perkataan yang amat kasar.
Lekaslah orang sekalian gusar.
 
Apabila pekerjaan yang amat benar.
Tidak boleh orang berbuat honar.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kedelapan
 
Barang siapa yang khianat akan dirinya.
Apalagi kepada lainnya.
 
Kepada dirinya dia aniaya.
Orang itu jangan engkau percaya.
 
Lidah yang suka membenarkan dirinya.
Daripada yang lain dapat kesalahannya.
 
Daripada memuji diri hendaklah sabar.
Biar daripada orang datangnya kabar.
 
Orang suka menampakkan jasa.
Setengahnya syirik mengaku kuasa.
 
Kejahatan diri sembunyikan.
Kebajikan diri diamkan.
 
Ke’aiban orang jangan dibuka.
Ke’aiban diri hendaklah sangka.
*****
Ini Gurindam Pasal Yang Kesembilan.
 
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan.
Bukannya manusia yaitulah syaitan.
 
Kejahatan seorang perempuan tua.
Itulah iblis punya punggawa.
 
Kepada segalah hamba-hamba raja.
Di situlah syaitan tempat manja.
 
Kebanyakan orang yang muda-muda.
Di situlah syaitan tempat bergoda.
 
Perkeumpulan laki-laki dan perempuan.
Di situlah syaitan punya jamuan.
 
Adapun orang tua yang hemat.
Syaitan tak suka membuat sahabat.
 
Jika orang muda kuat berguru.
Dengan syaitan jadi seteru.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Kesepuluh.
 
Dengan bapa jangan durhaka.
Supaya Allah tidak murka.
 
Dengan ibu hendaklah hormat.
Supaya badan dapat selamat.
 
Dengan anak jangan lalai.
Supaya boleh naik ke tengah balai.
 
Dengan istri dan gundik janganlah alpa.
Supaya kemaluan jangan menerpa.
 
Dengan kawan hendaklah adil.
Supaya tangannya jadi kapil.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang kesebelas.
 
Hendaklah berjasa.
Kepada yang sebangsa.
 
Hendaklah jadi kepala.
Buang perangai yang cela.
 
Hendaklah memegang amanat.
Buanglah khianat.
 
Hendak marah.
Dahulukan hujah.
 
Hendak dimalui.
Jangan melalui.
 
Hendaklah ramai.
Murahkan perangai.

*****
 
Ini Gurindam Pasal yang Keduabelas.
 
Raja mufakat dengan menteri.
Seperti kebun berpagarkan duri.
 
Betul hati kepada raja.
Tandalah jadi sembarang kerja.
 
Hukum adil atas rakyat.
Tanda raja beroleh ‘inayat.
 
Kasihkan orang yang berilmu.
Tanda rahmat atas dirimu.
 
Hormat akan orang yang pandai.
Tanda mengenal kasa dan cindai.
 
Ingatkan dirinya mati.
Itulah asal berbuat bakti.
 
Akhirat itu terlalulah nyata.
Kepada hati yang tidak buta.

*******

Gurindam Dua Belas sastra klasik dari Melayu Riau. Menjadi kesastraan acuan dalam membangun Bahasa Indonesia sekarang. Tata bahasa Gurindam Dua Belas menjadi rujukan penulisan kosa kata dalam Bahasa Indonesia.

Gurindam Dua Belas menjadi sangat terkenal karena tata bahasanya sudah sempurna. Dari berkembangnya kesastraan Melayu di Riau Kolonial Belanda melakukan penelitian bahasa Melayu.

Bahasa Melayu tersebut dinamakan Bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Tulis. Bahasa Melayu tersebar diseluruh Indonesia yang digunakan di pasar-pasar dan komunikasi antar penduduk Nusantara sejak zaman Kedatuan Sriwijaya atau jauh lebih dari zaman Sriwijaya.

Bahasa Melayu tersebar dengan berbagai dialog dinamakan bahasa Melayu Rendah. Bahasa Melayu Rendah dapat juga diartikan bahasa Indonesia yang belum dibakukan. Contoh: Ape, apE, Apo, Opo, bahasa Melayu Rendah, kemudian ditetapkan menjadi Apa yaitu bahasa Melayu Tinggi atau bahasa tulis.

Rewrite: Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 21 November 2020.
Sumber: Ahmad Dahlan. Sejarah Melayu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014.

Sy. Apero Fublic.