Humaniora

Humaniora
Publish Your Articles in the Journal Apero Fublic of Humaniora

Budaya Kuno Sastra Tutur Masyarakat Toraja: Padarangan

Budaya Kuno Sastra Tutur Masyarakat Toraja: Padarangan
Share

JAF. HUMANIORA.- Pada zaman dahulu, ada seorang yang bernama Padarangan. Dia mempunyai seorang budak bernama Pongtattulliq. Suatu hari, Padarangan diikuti budaknya pergi menggembalakan kerbaunya. Beberapa saat kemudian tibalah mereka dan kerbau gembalaan di pinggir sebuah sungai. Padarangan dan Pongtattulliq mencuci muka di tepian sungai, sedangkan kerbau-kerbaunya minum air sungai. Saat itu, ada sebutir buah jeruk hanyut di tengah sungai. Keduanya melihat buah jeruk besar dan segar itu.

“Biarlah saya mengambil buah jeruk hanyut itu.” Kata Pongtattulliq. Setelah itu, dia berusaha berenang ke tengah sungai. Namun tidak dapat mendapatkan buah jeruk itu. Sebab air sungai deras dan dalam. Padarangan memutuskan untuk membantu, dan dia berenang ke tengah sungai. Berkat usahanya akhirnya buah jeruk itu di dapat oleh Padarangan. Setelah di dapat, mereka naik ke darat dan berbagi untuk memakan buah jeruk itu. Oleh Padarangan buah jeruk dia belah dua, karena mereka berdua.

Namun, ketika sudah di belah dua keduanya kecewa. Sudah berharap memakan buah jeruk yang manis. Tetapi isi dari buah jeruk itu, adalah gulungan rambut sehelai. Keduanya membentangkan rambut itu. Ternyata sangat panjang, seukuran tujuh depa. Padarangan meminta Pongtatulliq menemaninya pergi ke hulu sungai untuk mencari tahu siapa yang mempunyai rambut itu.

“Ibu-ibu, siapakah kiranya yang memiliki rambut panjang sekali.?” Tanya Padarangan bertanya pada beberapa orang ibu-ibu yang sedang mandi mencuci di tepian mandi.

“Orang yang berambut panjang, adalah Riuqdatu.” Kata ibu-ibu itu.

Setiap kali mereka bertanya selalu dijawab dengan, Riuqdatu. Beberapa waktu kemudian maka bertanyalah Padarangan pada sekelompok gadis desa yang sedang mandi mencuci. Mereka juga menjawab pemilik rambut, Riuqdatu.

“Oh, baiklah kalau begitu. Dimanakah rumah Riuqdatu itu?.” Tanyanya.

“Masih jauh, ke arah sebelah utara.” Jawab salah satu mereka. Setelah mengucap terima kasih, Padarangan pergi ke arah utara diikuti budaknya. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di sebuah perkampungan. Padarangan menghampiri seorang lelaki tua. Orang tua itu menunjuk ke arah rumah Riuqdatu  dan berjalanlah Padarangan ke rumah Riuqdatu.

“Dimana rumah Riuqdatu?.” Tanyanya.

“Itu rumahnya. Orangnya, ada di serambi depan.” Jawab lelaki tua itu.

“Terimakasih Uwa.” Kata Padarangan.

Padarangan memasuki halaman rumah, sambil berkata pada Pongtattulliq. Dia meminta Pongtattulliq pulang untuk mengambil gendang pusakanya. Tanpa banyak bertanya segerahlah Pongtattulliq pulang. Sementara Padarangan menuju rumah Riuqdatu. Sebelum masuk dia menyapa sopan santun. Riuqdatu mempersilakan masuk, Padarangan pun menuju serambi. Mereka berkenalan dan saling berbasa-basi.

“Ada gerangan apa kiranya kakanda jauh-jauh kerumah saya?.” Tanya Riuqdatu.

“Baiklah, saya menemukan sehelai rambut yang panjangnya tujuh depa di dalam sebutir buah jeruk yang hanyut di sungai. Menurut keterangan orang-orang itu rambutmu.

“Benar sekali, kakanda.” Jawab Riuqdatu.

“Oleh sebab itu, Aku berniat melamarmu menjadi istriku.” Kata Padarangan.

“Baiklah, apa boleh buat. Aku bersedia menjadi istrimu.” Jawab Riuqdatu. Sorenya Pongtattulliq mengantar gendang pusaka yang diminta Padarangan, setelah itu dia pulang. Oleh Riuqdatu gendang dia simpan di dalam kamarnya. Ajaibnya, apabila orang melihat kedalam gendang tampak kosong, walau Padarangan ada di dalamnya.

Maka mulai saat itu, Riuqdatu dan Padarangan menjadi suami istri. Tapi pernikahan Riuqdatu tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Padarangan bersembunyi di dalam gendang pusakanya. Kemudian, beberapa waktu kemudian Riuqdatu mengandung. Mengetahui anak perempuan mereka mengandung, orang tua Riuqdatu mengira kalau dihamilih oleh budak mereka.

Mendengar Riuqdatu hamil, warga desanya jadi marah dan kedua orang tuanya kecewa. Karena mereka tidak tahu kalau Riuqdatu sudah menikah dengan Padarangan. Sebagai hukuman Riuqdatu akan dibakar hidup-hidup. Orang-orang mengumpulkan kayu bakar yang cukup banyak. Setelah terkumpul, api mulai dinyalakan. Riuqdatu menjadi gelisah dan takut, maka dia menuangkan rasa dengan bernyanyi.

Padarangan dalam gendang.
Kekasihmu akan meninggalkanmu.
Liang kubur sudah menanti.
Bersamaan besarnya kobaran api.” Begitulah lagu Riuqdatu berulang-ulang.

Riuqdatu diikat lalu dibawa ke dekat kobaran api. Semua memandang penuh rasa kecewa pada Riuqdatu. Riuqdatu tidak berdaya, hanya menangislah yang dia dapat. Beberapa saat dirinya akan di lempar kedalam kobaran api. Tiba-tiba melompatlah Padarangan keluar dari dalam gendang pusaka dan muncul dihadapan orang banyak.

“Hai kalian semuanya, sebab apakah sehingga istriku mau kalian bakar?.” Tanya Padarangan.

“Syukurlah kalau kau suaminya. Kami akan menghukum bakar wanita yang hamil tanpa suami.” Kata tetua desa.

Warga desa baru mengetahui kalau Riuqdatu dan Padarangan sudah menjadi suami istri. Mereka tidak jadi menghukum Riuqdatu. Masyarakat dan para bangsawan yang ada di desa mengucapkan selamat pada mereka. Semua berdoa agar keduanya bahagia dan dikaruniahi anak-anak yang baik untuk melanjutkan generasi berikutnya.

Rewrite: Tim Apero Fublic.
Editor. Totong Mahipal.
Tatafoto. Rama Saputra.
Palembang, 23 November 2021.
Sumber: Muhammad Sikki, Dkk. Struktur Sastra Lisan Toraja (Transkripsi dan Terjemahan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.

Sy. Apero Fublic

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel