HUKUM: Pemaknaan Hikayat Si Pencuri Yang Belajar Shalat
Kehidupannya
begitu-begitu saja, apa bilah uang habis dia pergilah mencuri. Bertahun-tahun
lamanya yang dia lakukan hanya demikian saja. Timbul rasa bosan dalam
kehidupannya yang hanya mencuri saja. Kini timbul di dalam hatinya untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. “Ingin sekali rasanya aku shalat.”
Kata hatinya. Keinginannya itu dia ceritakan pada istrinya.
“Istriku,
sekarang Aku ingin sekali beribadah, mengerjakan perintah Allah, shalat. Tapi
aku tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana caranya shalat.” Katanya pada sang
istrinya. Istrinya juga tidak mengerti, dia menyarankan agar suaminya pergi belajar
ilmu agama. Akhirnya si Pencuri mantap untuk memutuskan pergi belajar ilmu
agama. Keesokan harinya istrinya menyiapkan bekal untuk bekal perjalanannya.
Setelah pamit dengan istrinya, dia pergi.
Zaman dahulu
pemukiman tidak seperti sekarang, sedikit sekali. Yang lebih banyak adalah
hutan rimba yang lebat. Si Pencuri berjalan keluar masuk rimba, tanpa tujuan
yang pasti. Dia hanya menurutkan langkah kakinya saja. Lama sudah berjalan
berminggu-minggu lamanya. Suatu hari dia menemukan sebuah bukit cukup tinggi.
Di atas bukit terdapat sebuah gubuk tua. Yang dihuni oleh seorang lelaki tua.
Sesampai di depan gubuk reyot itu dia mengucapkan salam.
“Assalamualaikum.”
Ucap si Pencuri.
“Waalaikumsalam.”
Terdengar jawaban dari dalam gubuk, dari suaranya yang berat tentu sudah sangat
tua. Dia mempersilahkan si Pencuri untuk masuk dan menjamunya. Dalam
perbincangan itu, mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing.
Setelah saling mengenal dan mengetahui keadaan satu sama lain. Si Pencuri juga
menceritkan kalau pekerjaan dan keahliannya adalah mencuri. Bertanyalah sang
kakek penghuni gubuk itu.
“Apa tujuanmu
Nak, sampai engkau berjalan sejauh ini?.” Tanya si Kakek tua.
“Begini
Tengku, saya berjalan sejauh ini karena ada keinginan yang besar dari hatiku.”
Ujar si Pencuri.
“Keinginan
apa, Nak?.” Tanya si Kakek.
“Saya ingin
belajar ilmu agama, Tengku.” Jawabnya malu. Sebab sudah setua itu dia tidak
pernah belajar ilmu agama.
“Tentang ?.”
“Belajar ilmu
agama terutama, belajar shalat. Sejak dari kecil saya belum pernah shalat.
Sebelum ajal menjemput saya ingin di sisa usia saya untuk mengerjakan shalat.”
Jelas si Pencuri.
“Oh, begitu.
Kalau begitu belajarlah padaku. Tidak ada kata terlambat dalam belajar.” Kata
orang tua itu. Si Pencuri akhirnya belajar dengan tekun. Selama berbulan-bulan
dia akhirnya bisa mengerjakan shalat. Dari rukun, bacaan, niat, cara gerakan
shalat sudah dia kuasai. Suatu hari berkatalah si Pencuri pada gurunya.
“Tengku, saya
ini Cuma satu masalahnya.” Kata si Pencuri terputus.
“Apa masalahmu.”
Tanya orang tua.
“Hal yang
semacam tidak bisa saya tinggalkan.” Kata si Pencuri agak tertunduk.
“Oh, itu
pekerjaan kamu?.” Kata orang tua itu, dia mengerti pekerjaannya sebagai
pencuri.
“Iya.” Jawab
si Pencuri singkat.
“Tidak ada,
lakukanlah pekerjaan kamu itu. Cuma jangan lupa amanahku saja.” Kata gurunya.
“Apa kiranya
amanah, Tengku?.” Tanya si Pencuri.
“Sekarang kamu
sudah belajar ilmu shalat dan sudah bisa melaksanakan shalat. Jadi, apa bilah
waktu shalat tiba. Jangan kamu hiraukan yang lain. Harus mengerjakan shalat
segera.” Kata si orang tua.
“Oh, baiklah
kalau begitu, insya Allah.” Jawab si Pencuri. Pagi besoknya si Pencuri pamit
untuk pulang. Beberapa waktu lamanya berjalan dia pun akhirnya tiba di rumahnya
kembali. Dengan bahagia dan rasa rindu pada istrinya dia mengucap salam di
depan pintu rumahnya. Setelah makan dan minum, berbincang-bincanglah suami
istri yang sudah lama berpisah itu.
“Abang, sudah
lama sekali perginya. Sehingga uang belanja kita sudah habis.” Kata istrinya.
“Jangan gusar,
nanti saya akan mencari uang seperti biasanya.” Jawab si Pencuri. Setelah badan tidak lagi letih, dia kemudian
pergi ke pasar. Dia melihat sebuah rumah orang kaya. Di dalam hatinya dia
berkata, “Disinilah aku akan mencuri nanti malam.” Setelah mengamati dia
kemudian pulang, dan hari pun malam. Terdengar azan shalat isyah dia
mengerjakan shalat isyah. Kemudian membaca doa dan ayat-ayat yang dia baca.
Rencana mencurinya agak lewat tengah malam. Dia berjalan menuju rumah incarannya,
tiba disana waktu sudah pajar.
Dia mendekati
pintu dapur, kebetulan juga pintu dapur oleh pemiliknya lupa menguncinya.
Sebelum masuk rumah si Pencuri membaca mantra mencurinya agar tidak ketahuan.
Saat berjalan semua kunci-kunci yang ada di dalam rumah terbuka. Dia melihat
pemilik rumah tertidur dengan pulas. Dia menemukan peti emas, dan peti uang
emas dan perak. Dengan susah payah dia menggotong peti emas dan peti uang ke
luar rumah. Namun tiba-tiba terdengar kokok ayam jantan pertanda hari sudah
subuh. Diikuti dengan suara beduk dan azan di masjid tapi tidak terdengar.
Karena dulu belum ada pengeras suara. Namun kokok ayam disubuh sangat ramai
bersahut-sahutan.
“Yah, sudah
waktunya shalat subuh.” Gerutu si Pencuri. Dia teringat pesan gurunya agar
jangan sekali-sekali melalaikan shalat. Oleh sebab itu, si Pencuri kemudian
berdiri lalu berwudhu dan mengambil tikar. Lalu dia azan di dalam rumah orang
itu. Pemilik rumah walau suara azan sangat keras belum juga bangun. Pada bagian
“Assalatukhairum minannaum” barulah
seisi rumah itu terbangun. Saat bangkit dan keluar kamar mereka.
“Yaaa Allah,
mengapa pintu rumah kita terbuka. Orang asing ini azan di dalam rumah kita.
Ahh, pasti rumah kita sudah dimasuki pencuri.” Kata suami pemilik rumah itu.
Istri dan anggota keluarga yang lain juga sangat kaget. Mereka serentak melihat-lihat
keluar rumah. Sementara si Pencuri selesai azan langsung shalat subuh. Di luar
rumah mereka menemukan peti emas dan peti uang mereka tergeletak. Di lihat
isinya masih seperti semulah tidak ada yang kurang.
“Ya Allah. Sangat
beruntung kita, karena Tuan Syeikh itu masuk ke rumah kita untuk shalat.
Bersamaan dengan pencuri keluar membawa harta kita. Karena terpergok Tuan
Syeikh itu, lalu para pencuri itu berlari meninggalkan peti emas dan peti uang
kita.” Kata dan pikir pemilik rumah. Sementara si Pencuri terus shalat dengan
khusuk dan tenang. Tidak ada rasa takut saat pemilik rumah sudah bangun semua
dan menungguinya sedang shalat subuh. Setelah mengucap salam, sedikit berbicara
si Pencuri pamit untuk pulang pada pemilik rumah itu.
“Tuan Syeikh,
mohon jangan pulang terlebih dahulu. Istri saya sudah mulai memasak dan membuat
kopi. Marilah bertamu di rumah kami pagi ini.” Kata Pemilik rumah.
“Oh, baiklah
kalau begitu.” Kata si Pencuri yang agak gugup. Setelah menunggu beberapa saat,
kopi dan makanan siap. Mereka makan bersama-sama dengan hangat dan penuh
keakraban selayaknya sudah kenal lama. Setelah makan, kembali si Pencuri pamit
untuk pulang. Kembali pemilik rumah berkata pada si Pencuri yang dia anggap seorang
alim ulama atau Syeikh.
“Begini
Syeikh, barang kali subuh tadi ada pencuri yang masuk ke rumah. Karena peti
emas dan peti uang kami sudah terletak di luar rumah. Mungkin saat Tengku datang untuk shalat tadi,
membuat para pencuri pergi takut ketahuan oleh Tengku.” Kata Pemilik rumah,
didengarkan oleh istri dan anggota keluarganya yang lain.
“Ya,
begitulah.” Jawab si Pencuri. Seraya manggut-manggut.
“Oleh karena
itu, saya dan istri saya mau mengucapkan terima kasih. Kalau tidak ada Tengku
mungkin kami sudah hidup melarat karena harta kami habis. Oleh karena itu, kami
ingin membagi dua harta kami, untuk Tengku setengahnya.” Jelas pemilik rumah.
“Alhamdulillah
kalau begitu, apakah kalian ikhlas.” Jawab si Pencuri. Pemilik rumah berkata
ikhlas, dan sisa uang mereka dapat mereka modal kembali dan isnyaa Allah mereka
akan mendapatkan rezeki kembali. Maka pulanglah si Pencuri membawa setengah
dari uang pemilik rumah.
“Oh, begitu makna apa yang dikatakan oleh guruku. Maka, mulai saat ini Aku tidak akan mencuri lagi.” Pikirnya sepanjang jalan. Dengan uang itu si Pencuri dapat belanja beberapa tahun dan dia mulai merintis usaha lain. Dia bertobat dan tidak mau mencuri lagi.
Rewrite: Tim Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 20
Juni 2021.
Sumber:
Wildan, Abdullah Faridan, Sa’adiah, Mohammad Harun. Struktur Sastra Lisan
Tamiang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Sy. Apero Fublic
0 Response
Posting Komentar