Humaniora

Humaniora
Publish Your Articles in the Journal Apero Fublic of Humaniora

ANTROPOLOGI: Kajian Sastra Lisan Tamiang (Aceh Tamiang)

ANTROPOLOGI: Kajian Sastra Lisan Tamiang (Aceh Tamiang)
Share

JAF. HUMANIORA.- Tamiang adalah daerah yang terletak di Provinsi Aceh. Pada waktu penelitian Tamiang masih dalam Kabupaten Aceh Timur dengan jumlah penduduk sekitar 606.393 jiwa menurut sensus tahun 1992. Penduduk Tamiang dikenal dengan masyarakat yang berbahasa Melayu Tamiang sebagai bahasa ibu. Warga Tamiang tersebar di Kecamatan Bendahara, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Seruway, Kecamatan Bandar Baru, dan Kecamatan Tamiang Hulu.

Sekarang Tamiang sudah menjadi sebuah kabupaten baru bernama Aceh Tamiang di Provinsi Aceh, di mekarkan dari Kabupaten Aceh Timur. Terletak di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang di Karang Baru. Dasar hukum UURI Nomor 4 Tahun 2002, dengan tanggal peresmian kabupaten Aceh Tamiang 10 April 2002. Tahun 2017 jumlah penduduk diperkirakan sekitar 287.733 jiwa dengan mayoritas beragama Islam.

Dalam masyarakat Tamiang adanya posisi seorang Atok atau kakek dan Andong atau nenek yang memegang peran dalam menyampaikan cerita-cerita lisan. Apabilah disamakan pada masyarakat Melayu di Sumatera Selatan dimana Kakek dan Nenek yang sering menyampaikan cerita yang dikenal dengan andai-andai. Atok atau Andong juga menyampaikan cerita saat berkumpul bersama, saat ada keramaian dan menjelang tidur. Lingkup cerita meliputi anak-anak, remaja dan dewasa (laki-laki dan perempuan). Fungsi sebagai hiburan dan nasihat.

Seperti cerita yang berjudul Kesetiean Mpuan Same Lakinye yang memberikan nasihat bagaimana kesetiaan seorang istri pada suaminya. Juga bagaimana dengan kebijaksanaannya dalam menghadapi suaminya. Cerita ini, berkisah tentang seorang janda tua Khadi atau hakim di sebuah kesultanan.

Dia dinikahi oleh seorang penggembala kambing yang sangat bodoh. Karena khawatir diketahui sultan dia menikah dengan penggembala bodoh. Kemudian dia meminta suami barunya pergi mencari ilmu. Kebijaksanaan sang istri membuahkan hasil, suaminya yang bodoh kemudian menjadi berilmu dan pintar. Suatu waktu suaminya juga akhirnya menjadi kadhi atau hakim di kesultanan itu.

Sastra lisan Tamiang yang dijadikan bahan penelitian Balai Bahasa diantaranya, Cemburu Bute, Mat Lanca, Antu Tempiah, Pencuri, Kesetiean Mpuan Same Lakinye, Si Buyong, dan Si Tua ngan Si Celake. Semua cerita ditulis dalam dua teks, teks bahasa Tamiang dan diikuti teks berbahasa Indonesia. Dalam lakon cerita terdapat banyak pelajaran dan hiburan.

Seperti kisah Hantu Tempias dimana jalan ceritanya memberikan hiburan dan cenderung cerita baru. Cerita baru dimana tidak ada kesamaan dengan cerita pada kawasan sastra klasik di Nusantara lainnya. Dalam cerita masyarakat Tamiang ini sudah mengandung unsur-unsur agama Islam atau budaya yang dipengaruhi Islam.

Buku Struktur Sastra Lisan Tamiang disusun oleh Wildan, Abdullah Faridan, Sa’adiah, dan Mohammad Harun. Diterbitan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta tahun 1998. Buku setebal 148 halaman yang terdiri dari beberapa bagian, diantaranya kata pengantar, latarbelakang masalah, monografi singkat daerah Tamiang, pembahasan sastra lisan, dan jalan cerita yang ditulis dalam dua bahasa, bahasa Tamiang dan Bahasa Indonesia. Apa bilah Anda tertarik untuk mempelajari sastra lisan Tamiang. Dapat menjumpai buku di Perpustakaan Daerah atau Pusat.

Oleh. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 20 Juni 2021.
Sumber: Wildan, Dkk. Struktur Sastra Lisan Tamiang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Sy. Apero Fublic

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel