ANTROPOLOGI: Kajian Sastra Lisan Tamiang (Aceh Tamiang)
Sekarang Tamiang
sudah menjadi sebuah kabupaten baru bernama Aceh Tamiang di Provinsi Aceh, di
mekarkan dari Kabupaten Aceh Timur. Terletak di perbatasan Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara. Ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang di Karang Baru. Dasar hukum
UURI Nomor 4 Tahun 2002, dengan tanggal peresmian kabupaten Aceh Tamiang 10
April 2002. Tahun 2017 jumlah penduduk diperkirakan sekitar 287.733 jiwa dengan
mayoritas beragama Islam.
Dalam
masyarakat Tamiang adanya posisi seorang Atok
atau kakek dan Andong atau nenek yang
memegang peran dalam menyampaikan cerita-cerita lisan. Apabilah disamakan pada
masyarakat Melayu di Sumatera Selatan dimana Kakek dan Nenek yang sering
menyampaikan cerita yang dikenal dengan andai-andai. Atok atau Andong juga
menyampaikan cerita saat berkumpul bersama, saat ada keramaian dan menjelang
tidur. Lingkup cerita meliputi anak-anak, remaja dan dewasa (laki-laki dan
perempuan). Fungsi sebagai hiburan dan nasihat.
Seperti cerita
yang berjudul Kesetiean Mpuan Same Lakinye yang memberikan nasihat bagaimana
kesetiaan seorang istri pada suaminya. Juga bagaimana dengan kebijaksanaannya
dalam menghadapi suaminya. Cerita ini, berkisah tentang seorang janda tua Khadi
atau hakim di sebuah kesultanan.
Dia dinikahi
oleh seorang penggembala kambing yang sangat bodoh. Karena khawatir diketahui
sultan dia menikah dengan penggembala bodoh. Kemudian dia meminta suami barunya
pergi mencari ilmu. Kebijaksanaan sang istri membuahkan hasil, suaminya yang
bodoh kemudian menjadi berilmu dan pintar. Suatu waktu suaminya juga akhirnya
menjadi kadhi atau hakim di kesultanan itu.
Sastra lisan
Tamiang yang dijadikan bahan penelitian Balai Bahasa diantaranya, Cemburu Bute,
Mat Lanca, Antu Tempiah, Pencuri, Kesetiean Mpuan Same Lakinye, Si Buyong, dan Si
Tua ngan Si Celake. Semua cerita ditulis dalam dua teks, teks bahasa Tamiang
dan diikuti teks berbahasa Indonesia. Dalam lakon cerita terdapat banyak
pelajaran dan hiburan.
Seperti kisah
Hantu Tempias dimana jalan ceritanya memberikan hiburan dan cenderung cerita
baru. Cerita baru dimana tidak ada kesamaan dengan cerita pada kawasan sastra
klasik di Nusantara lainnya. Dalam cerita masyarakat Tamiang ini sudah
mengandung unsur-unsur agama Islam atau budaya yang dipengaruhi Islam.
Buku Struktur Sastra Lisan Tamiang disusun oleh Wildan, Abdullah Faridan, Sa’adiah, dan Mohammad Harun. Diterbitan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta tahun 1998. Buku setebal 148 halaman yang terdiri dari beberapa bagian, diantaranya kata pengantar, latarbelakang masalah, monografi singkat daerah Tamiang, pembahasan sastra lisan, dan jalan cerita yang ditulis dalam dua bahasa, bahasa Tamiang dan Bahasa Indonesia. Apa bilah Anda tertarik untuk mempelajari sastra lisan Tamiang. Dapat menjumpai buku di Perpustakaan Daerah atau Pusat.
Oleh. Tim Apero Fublic
Editor. Desti,
S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 20
Juni 2021.
Sumber:
Wildan, Dkk. Struktur Sastra Lisan
Tamiang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Sy. Apero Fublic
0 Response
Posting Komentar