Legenda Batu Larung. Provinsi Jambi
Selasa, 07 April 2020
Comment
JAF. HUMANIORA.- Legenda Batu Larung
berasal dari masyarakat Sungai Tenang. Kalau sekarang secara umum terletak di
Desa Kotobaru dan Desa Gedang. Wilayah ini masuk Provinsi Jambi dengan bahasa
Melayu Merangin. Dalam tulisan legenda ini telah diberikan sedikit alur
penyelaras agar cerita tidak kaku dan memenuhi ilustrasi pembaca. Sehingga
terjadi sedikit perbedaan cerita dengan cerita tutur masyarakat setempat.
Sebelum
terbentuknya Batu Larung terjadi sebuah kisah tidak senonoh dua orang manusia.
Di ceritakan pada zaman dahulu ada sebuah Talang di sekitar Sungai Tenang.
Berawal di suatu hari dimana keadaan Talang yang sedang sepi. Seorang wanita
sedang menumbuk padi di lesung, samping rumahnya.
Kemudian datang seorang laki-laki yang ketika itu mendekati si perempuan yang sedang menumbuk padi. Terdengar suara alu dan lesung beradu. Ayam jantan berkokok dan burung-burung berterbangngan di pepohonan. Suasana lengang dan hening, mungkin para warga sedang ke ladang masing-masing. Sebab zaman dahulu masyarakat hidup dari berladang dan berburu.
Kemudian datang seorang laki-laki yang ketika itu mendekati si perempuan yang sedang menumbuk padi. Terdengar suara alu dan lesung beradu. Ayam jantan berkokok dan burung-burung berterbangngan di pepohonan. Suasana lengang dan hening, mungkin para warga sedang ke ladang masing-masing. Sebab zaman dahulu masyarakat hidup dari berladang dan berburu.
Terjadi
percakapan antara si laki-laki den perempuan yang sedang menumbuk padi. Zaman
itu, teknologi penggiling padi dari kayu belum ditemukan (isar). Pada zaman
yang agak maju teknologi penggiling padi isar sudah ditemukan. Entah apa yang
keduanya bicarakan sehingga mereka pergi ke sisi pemukiman sepi. Di balik
semak-semak dan diteduhi rerindangan daun pohon. Keduanya melihat kesana kemari
memastikan tidak ada orang disekitar itu. Setelah itu, keduanya berzina dengan
bernafsu.
Karena hawa nafsu yang membungkus tubuh mereka. Membuat keduanya lupa diri dan tidak
menyadari seorang laki-laki gagah berjalan dilebatnya hutan menuju ke arah
mereka sedang berzina. Ada dua orang laki-laki sedang menjenguk jerat. Mereka
juga berjalan menuju arah dimana kedua orang itu berzina atau berbuat tidak
senonoh. Kedua laki-laki pencari burung itu mendengar suara erangan wanita dan
laki-laki.
Mereka mengintip dan melihat orang sedang berhubungan intim atau
berzina. Keduanya bermaksud menggerebek orang berzina itu. Tapi tiba-tiba
muncul seorang laki-laki gagah. Dia memakai baju lengan panjang, celana panjang,
ada kain melingkar songket di pinggangnya, memakai ikat tanjak songket, ada
buntalan pakaian di bahunya. Pedang menggantung dengan terompah kayu yang
bertali kulit. Sepertinya dia seorang pengembara.
“Hoyyy,
Binatang. Macam anjing kalian berdua ini. Berzina di hutan siang hari tak ada
malu pun. Merusak adat orang Melayu dan mengotor Talang.” Bentak si pengembara
itu.
“Hai, jangan
nak ikut campur urusan orang. Siapa kau ini, Hah. Bukan orang Talang kami pun.”
Kata laki-laki pezina itu sambil sibuk memasang pakaiannya. Begitu pun dengan
si wanita pezina itu tampak sibuk mengenakan pakaiannya. Kedua pezina itu
kemudian menyerang si pengembara. Mereka bermaksud menghilangkan saksi
perbuatan dosa mereka. Orang zaman dahulu semuanya pandai bermain silat. Namun
mereka sepertinya bukan tandingan si pengembara. Beberapa kali serang mereka
gagal dan keduanya yang kena hajar. Jerit dan pekik pertarungan terdengar. Saat
kedua pezina itu telah terkapar tidak berdaya. Darah menetes dari bibir mereka
dan mereka bertanya siapa si pengembara sebenarnya.
“Kau ini,
siapa?
“Aku,
Serunting dari Batanghari Sembilan.
“Serunting
Sakti si Pahit Lidah.” Kedua pezina itu berguman. Keduanya takut dan terkejut.
Kemudian keduanya berlari meninggalakan Serunting Sakti atau si Pahit Lidah.
Saat mereka berlari itulah. Si Pahit Lidah tampak menggeleng-geleng kepala lalu
berkata.
“Manusia-manusia
busuk, keras kepala macam batu. Berzina di hutan tak ada malu, seperti batu.
Tak senonoh jadi manusia lebih bagus jadi batu. Kata si Pahit Lidah sambil
melangkah pergi meninggalkan Talang warga itu. Dua orang pencari burung
menyaksikan semua kejadian itu. Mereka menyaksikan pertarungan si Pahit Lidah
dan dua pezina. Mereka pun mencari dua pezina yang berlari tadi.
Namun yang
mereka temukan hanya dua batu besar. Yang memberi penguatan bahwa batu itu
adalah jelmaan kedua pezina itu. Mereka menemukan pakaian keduanya di samping
batu itu. Mereka juga tahu ucapan si Pahit Lidah telah menjadi nyata. Kedua
orang itulah yang menceritakan kejadian pada orang banyak. Lalu dituturkan
terus turun-temurun sampai sekarang.
Kedua batu
jelmaan dua pezina itu dinamakan penduduk dengan Batu Larung ada Batu Larung
Jantan dan Batu Larung Betino (Betina). Pada masyarakat Melayu istilah betino
dan jantan untuk penyebutan jenis kelamin binatang atau hewan yang
mengindikasikan perbuatan kedua orang pezina tersebut seperti perbuatan
binatang.
Batu Larung Betino berdiri tegak dengan adanya bagian menonjol seperti tonjolan payudara. Sedangkan Batu Larung Jantan tergeletak melintang seperti orang berbaring. Menurut kabar, pezina laki-laki itu sedang berlari terjatu dan saat itulah kata-kata ajaib si Pahit Lidah datang mengutuknya dan dia berubah menjadi batu.
Batu Larung Betino berdiri tegak dengan adanya bagian menonjol seperti tonjolan payudara. Sedangkan Batu Larung Jantan tergeletak melintang seperti orang berbaring. Menurut kabar, pezina laki-laki itu sedang berlari terjatu dan saat itulah kata-kata ajaib si Pahit Lidah datang mengutuknya dan dia berubah menjadi batu.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti.
S. Sos.
Palembang, 8
Aperil 2020.
Sumber dan diadaptasi dari.
Jurnal Arkeologi Siddhayatra.Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai
Arkeologi Palembang. 2015. (h.150).
Sy. Apero Fublic
0 Response
Posting Komentar