Humaniora

Humaniora
Publish Your Articles in the Journal Apero Fublic of Humaniora

Legenda Batu Larung. Provinsi Jambi

Legenda Batu Larung. Provinsi Jambi
Share
JAF. HUMANIORA.- Legenda Batu Larung berasal dari masyarakat Sungai Tenang. Kalau sekarang secara umum terletak di Desa Kotobaru dan Desa Gedang. Wilayah ini masuk Provinsi Jambi dengan bahasa Melayu Merangin. Dalam tulisan legenda ini telah diberikan sedikit alur penyelaras agar cerita tidak kaku dan memenuhi ilustrasi pembaca. Sehingga terjadi sedikit perbedaan cerita dengan cerita tutur masyarakat setempat.

Sebelum terbentuknya Batu Larung terjadi sebuah kisah tidak senonoh dua orang manusia. Di ceritakan pada zaman dahulu ada sebuah Talang di sekitar Sungai Tenang. Berawal di suatu hari dimana keadaan Talang yang sedang sepi. Seorang wanita sedang menumbuk padi di lesung, samping rumahnya.

Kemudian datang seorang laki-laki yang ketika itu mendekati si perempuan yang sedang menumbuk padi. Terdengar suara alu dan lesung beradu. Ayam jantan berkokok dan burung-burung berterbangngan di pepohonan. Suasana lengang dan hening, mungkin para warga sedang ke ladang masing-masing. Sebab zaman dahulu masyarakat hidup dari berladang dan berburu.

Terjadi percakapan antara si laki-laki den perempuan yang sedang menumbuk padi. Zaman itu, teknologi penggiling padi dari kayu belum ditemukan (isar). Pada zaman yang agak maju teknologi penggiling padi isar sudah ditemukan. Entah apa yang keduanya bicarakan sehingga mereka pergi ke sisi pemukiman sepi. Di balik semak-semak dan diteduhi rerindangan daun pohon. Keduanya melihat kesana kemari memastikan tidak ada orang disekitar itu. Setelah itu, keduanya berzina dengan bernafsu.

Karena hawa nafsu yang membungkus tubuh mereka. Membuat keduanya lupa diri dan tidak menyadari seorang laki-laki gagah berjalan dilebatnya hutan menuju ke arah mereka sedang berzina. Ada dua orang laki-laki sedang menjenguk jerat. Mereka juga berjalan menuju arah dimana kedua orang itu berzina atau berbuat tidak senonoh. Kedua laki-laki pencari burung itu mendengar suara erangan wanita dan laki-laki.

Mereka mengintip dan melihat orang sedang berhubungan intim atau berzina. Keduanya bermaksud menggerebek orang berzina itu. Tapi tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah. Dia memakai baju lengan panjang, celana panjang, ada kain melingkar songket di pinggangnya, memakai ikat tanjak songket, ada buntalan pakaian di bahunya. Pedang menggantung dengan terompah kayu yang bertali kulit. Sepertinya dia seorang pengembara.

“Hoyyy, Binatang. Macam anjing kalian berdua ini. Berzina di hutan siang hari tak ada malu pun. Merusak adat orang Melayu dan mengotor Talang.” Bentak si pengembara itu.

“Hai, jangan nak ikut campur urusan orang. Siapa kau ini, Hah. Bukan orang Talang kami pun.” Kata laki-laki pezina itu sambil sibuk memasang pakaiannya. Begitu pun dengan si wanita pezina itu tampak sibuk mengenakan pakaiannya. Kedua pezina itu kemudian menyerang si pengembara. Mereka bermaksud menghilangkan saksi perbuatan dosa mereka. Orang zaman dahulu semuanya pandai bermain silat. Namun mereka sepertinya bukan tandingan si pengembara. Beberapa kali serang mereka gagal dan keduanya yang kena hajar. Jerit dan pekik pertarungan terdengar. Saat kedua pezina itu telah terkapar tidak berdaya. Darah menetes dari bibir mereka dan mereka bertanya siapa si pengembara sebenarnya.
“Kau ini, siapa?
“Aku, Serunting dari Batanghari Sembilan.
“Serunting Sakti si Pahit Lidah.” Kedua pezina itu berguman. Keduanya takut dan terkejut. Kemudian keduanya berlari meninggalakan Serunting Sakti atau si Pahit Lidah. Saat mereka berlari itulah. Si Pahit Lidah tampak menggeleng-geleng kepala lalu berkata.

“Manusia-manusia busuk, keras kepala macam batu. Berzina di hutan tak ada malu, seperti batu. Tak senonoh jadi manusia lebih bagus jadi batu. Kata si Pahit Lidah sambil melangkah pergi meninggalkan Talang warga itu. Dua orang pencari burung menyaksikan semua kejadian itu. Mereka menyaksikan pertarungan si Pahit Lidah dan dua pezina. Mereka pun mencari dua pezina yang berlari tadi.

Namun yang mereka temukan hanya dua batu besar. Yang memberi penguatan bahwa batu itu adalah jelmaan kedua pezina itu. Mereka menemukan pakaian keduanya di samping batu itu. Mereka juga tahu ucapan si Pahit Lidah telah menjadi nyata. Kedua orang itulah yang menceritakan kejadian pada orang banyak. Lalu dituturkan terus turun-temurun sampai sekarang.

Kedua batu jelmaan dua pezina itu dinamakan penduduk dengan Batu Larung ada Batu Larung Jantan dan Batu Larung Betino (Betina). Pada masyarakat Melayu istilah betino dan jantan untuk penyebutan jenis kelamin binatang atau hewan yang mengindikasikan perbuatan kedua orang pezina tersebut seperti perbuatan binatang.

Batu Larung Betino berdiri tegak dengan adanya bagian menonjol seperti tonjolan payudara. Sedangkan Batu Larung Jantan tergeletak melintang seperti orang berbaring. Menurut kabar, pezina laki-laki itu sedang berlari terjatu dan saat itulah kata-kata ajaib si Pahit Lidah datang mengutuknya dan dia berubah menjadi batu.

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 8 Aperil 2020.
Sumber dan diadaptasi dari. Jurnal Arkeologi Siddhayatra.Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Arkeologi Palembang. 2015. (h.150).
Sy. Apero Fublic

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel